Kamis, Juni 05, 2008

Korupsi




Mendesain ‘Program Anti Virus’ Korupsi:
Refleksi Maulid Nabi SAW 1429 H
*) Oleh: Mohammad Mufid


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar
(QS: 8: 27-28)


Bagi sebagian pemilik komputer atau laptop, jengkel pada virus adalah makanan sehari-hari. Misalnya, ketika kita sedang konsentrasi di depan komputer, tiba-tiba beragam virus menyerang. Entah virus itu dari mana. Alhasil, file-file penting hilang dalam sekejap. Meskipun banyak yang mendesain bermacam anti virus, ternyata belum terbukti ampuh memberantas virus. Apalagi, ternyata, ada saja orang-orang atau pihak yang sengaja bereksperimen dengan membuat virus-virus terbaru.
Ilustrasi ini limit dengan kasus korupsi yang merajalelala di negara kita saat ini. Mulai dari struktur kenegaraan yang paling tinggi, paling suci, dan paling terhormat hingga paling kotor, rendah, dan paling hina. Mulai dari penegak hukum hingga tukang parkir di jalanan. Bahkan baru-baru ini kita dikejutkan dengan tertangkapnya oknum penegak hukum yang terlibat kasus korupsi dalam bentuk suap-menyuap. Korupsi ibarat virus atau bakteri pathogen yang terus berkembangbiak merusak kehidupan kita. Pemerintah dituntut ekstra keras untuk mendesain program Anti Virus Korupsi yang ideal untuk memberantasnya.
Beberapa di antara programnya ada dalam TAP MPR XVI tahun 1998, UU No 28 th 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 20 th 2001 tentang perubahan atau UU No 31 th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), UU No 30 th 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), PP No 71 th 2000 tentang Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta instruksi presiden RI No 5 th 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Namun, sekian banyak program itu juga belum menunjukkan hasil optimal. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2003 (Corruption Perception Index) yang diterbitkan oleh Transparency International (TI) mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 122 dengan skor 1,9 (Arya Maheka; 2006). Kriteria ini didasarkan pada skala 1-10 (skala 1 berarti negara terkorup, dan skala 10 adalah negara paling bersih dari kasus korupsi). Selanjutnya pada level Asia, menurut buku panduan Gerakan Moral Nasional Pemberantasan Korupsi (GMNPK), berdasarkan survey dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah konsultan dari Hongkong, menyebutkan bahwa pada tahun 2003 Indonesia menduduki negara terkorup di wilayah Asia.
Keprihatinan ini bertambah dengan laporan dari Corruption Perception Index (CPI) tahun 2006 yang dirilis oleh Transparency International (TI) pada 4 November 2006, yang memposisikan Indonesia pada peringkat 7 negara terkorup dari 163 negara. Posisi ini naik 1 peringkat dari tahun 2005 yang menempati posisi 6 negara terkorup dari 159 negara (Republika,4/12/06). Sudah sedemikian parahkah kondisi negara ini? Sebagai mayoritas penduduk yang taat beragama, di manakah nilai-nilai agama yang menuntun hidup kita?


Korupsi Menurut Islam
Bentuk korupsi dalam Islam tercermin dalam perilaku ghulul (penggelapan) dan risywah (suap). Ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan (QS:3:161). Menurut Imam Qotadah dan Rabi' bin Anas, ayat ini turun ketika perang Badar. Saat itu, salah satu harta rampasan perang (ghonimah) berupa permadani (qathifah) hilang begitu saja. Kondisi ini membuat sebagian para sahabat curiga kepada Nabi Muhammad SAW telah menggelapkannya, sehingga turunlah ayat tersebut (Jurnal Millah: 2006). Saat ini, yang termasuk bentuk ghulul ialah penggelapan dana publik/material untuk kepentingan pribadi, penggelapan barang bukti, dan sebagainya.
Sedangkan risywah atau suap secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna ’upah’, ’hadiah,’ atau ’pemberian’ atau ’komisi’. Secara istilah, menurut Ibnu Abidin, suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya (Abdullah bin Abdul Muhsin: 2001). Secara luas, suap bukan hanya terkait persoalan hukum, tetapi dapat terjadi di lembaga formal maupun non formal.
Berkaitan dengan sanksi, Islam memberikan ganjaran bagi para koruptor berupa sanksi di dunia maupun akhirat. Sanksi dunia terbagi menjadi tiga aspek. Pertama, sanksi hukum (pengucilan, denda, penjara, potong tangan). Kedua, sanksi sosial (tidak diterima kesaksiannya, seperti pembuktian hukum di pengadilan, kesaksian dalam itsbat awal Ramadhan/Syawwal, saksi pernikahan). Ketiga, sanksi moral (dilaknat oleh Allah SWT serta jenazahnya tidak disalatkan).
Mengenai sanksi terakhir ini, argumentasinya didasarkan pada kisah Nabi (HR. Abu Daud), bahwa beliau enggan menshalati jenazah sahabat yang wafat pada perang Khaibar, karena diketahui sahabat tersebut menggelapkan harta rampasan perang berupa perhiasan dari orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham. Hadits tersebut dijadikan dasar dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Asrama Haji Pondok Gede pada tanggal 25-28 Juli 2002 untuk menghimbau agar para ulama tidak mensalati jenazah koruptor (Moh. Masyhuri Na’im: 2006).
Namun, sanksi bagi para koruptor tidak langsung begitu saja diterapkan. Semua memerlukan verifikasi, bukti dan mekanisme proses penentuan hukuman yang disebut dengan ta’zir, dimulai dari yang terberat (hukuman mati/potong tangan) hingga yang paling ringan (pengucilan, pemecatan, dan penjara) sesuai dengan tingkatan berat ringannya tindakan dan dampak korupsi yang ditimbulkannya (Fiqh Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah: 2006).
Selanjutnya, sanksi di akhirat antara lain menghalangi pelakunya masuk surga, karena harta yang dikonsumsi termasuk suht. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW (HR. Ad-Darimi): Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari suht (harta haram). Selain itu, pelaku korupsi akan menyebabkan masuk neraka. Hukuman ini didasarkan pada hadits Nabi SAW: Setiap daging yang ditumbuhkan oleh as-suht, maka neraka lebih pantas baginya. Ditanyakan: ‘Wahai rasul, apa suht itu? Rasulullah SAW menjawab: ‘Risywah dalam hukum” (HR. Bukhari).
Demikianlah ancaman bagi para koruptor. Seandainya para koruptor dapat lolos dari jeratan hukum/pengadilan dan sanksi di dunia, yakinlah mereka tidak akan pernah bisa lolos dari pengadilan Alllah SWT di akhirat kelak.


Jihad Melawan Korupsi
Jihad secara bahasa artinya 'mencurahkan segala kemampuan' (Al Munawwir: 1984). Secara istilah, jihad ialah mencurahkan segala potensi yang dimiliki untuk menegakkan agama Allah SWT (Yunahar Ilyas: 2006). Saat ini, seharusnya istilah 'mati syahid' bukan hanya diberikan pada mereka yang berjihad melalui medan pertempuran, tetapi diperuntukkan juga bagi para pejuang yang memiliki komitmen tinggi untuk memberantas korupsi. Hal ini sangatlah penting diperhatikan, mengingat dampak korupsi yang begitu dahsyat dan melebihi kerugian di medan pertempuran secara fisik. Lebih dari itu, korupsi berimbas pada demoralisasi, dehumanisasi, kemiskinan, dan lumpuhnya sistem hukum/peradilan.
Urgensi perang melawan korupsi didasarkan atas semangat doktrin agama yang mengutuk segala bentuk korupsi. Ketika program virus anti korupsi yang didesain pemerintah, seperti lembaga/undang-undang maupun inpres dibuat lumpuh oleh ganasnya zombie korupsi, maka saat itulah momentum yang tepat untuk mengikrarkan bersama bahwa korupsi adalah common enemy (musuh bersama) yang harus diberantas bersama melalui langkah konkret berupa perang suci (holy war).
Pertanyaan kemudian, bagaimana cara berjihad melawan korupsi? Rasulullah SAW telah memberikan sinyalemen kepada kita tentang pentingnya 'jihad akbar' melawan hawa nafsu. Hal ini berawal dari pernyataan langsung ketika Nabi SAW bersama para sahabatnya yang baru pulang meraih kemenangan pada salah satu pertempuran di medan perang: kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.
Pernyataan Nabi SAW di atas, mengindikasikan bahwa hawa nafsu yang liar lebih berbahaya dibandingkan perang secara fisik. Bahkan, senjata dan alat perang yang dapat menewaskan ratusan ribu manusia dalam hitungan detik, masih dikategorikan 'jihad kecil'. Begitu beratnya berjihad mengendalikan hawa nafsu, sampai-sampai Rasulullah SAW mewasiatkan agar setiap manusia berhati-hati mengontrol hawa nafsu. Hawa nafsu yang tidak dapat dikontrol dengan baik, akan membawa sifat negatif (egois, rakus, haus akan harta, pangkat dan jabatan) yang berujung pada usaha serba instan. Itulah korupsi yang dilarang agama. Korupsi jauh lebih berbahaya daripada pertempuran di medan laga.


Program Anti Virus Korupsi
Dalam konteks perang suci atau jihad melawan korupsi melalui manajemen hawa nafsu tercermin dalam usaha konkret membentengi diri dengan sikap antikorupsi, yang terdiri dari empat aspek, yakni amanah, shiddiq, adil dan taqwa.
Pertama, Amanah berarti ‘dapat dipercaya’. Amanah seakar dengan kata iman, karena lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang maka semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya (Yunahar Ilyas, 2006). Jika iman seseorang lemah dan memegang jabatan strategis, berhati-hatilah, dia rawan terperosok pada lembah korupsi.
Kedua, Shiddiq berarti ‘benar,’ ‘sah,’ ‘tetap’ dan nyata’ (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor,2003). Sikap shiddiq meliputi benar hati, perkataan dan perbuatan. Lawan dari shiddiq ialah khianat. Khianat termasuk bibit korupsi karena terdapat unsur distorsi (pemutarbalikan fakta). Hal ini sangat jelas dilarang oleh Allah SWT sebagaimana yang diterangkan dalam QS. Al Anfal 27 di atas. Akhir-akhir ini, sikap shiddiq semakin jarang ditemukan, dengan indikasi semakin banyaknya tindak manipulasi laporan maupun mark up dana.
Ketiga, adil berarti ‘sikap tengah-tengah' (Al Munawwir, 1984). Seorang muslim harus mampu menempatkan sesuatu dengan prinsip keseimbangan (‘adl) sesuai dengan hak dan kewajiban. Implikasi dari sifat adil ini akan terlihat dalam aktifitas sehari-hari, misalnya tidak mau menghambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mau merugikan orang lain. Sikap inilah yang mampu menghindarkan dari perilaku korupsi karena korupsi pada dasarnya merupakan bentuk tindakan yang merampas hak-hak orang lain untuk kepentingan pribadi/golongan.
Keempat, Taqwa secara bahasa berarti ‘takut,’ ‘berhati-hati’ dan ‘waspada,’ sedangkan menurut istilah taqwa bermakna penjagaan diri dari sesuatu yang tidak baik (Muhammad Azhar, 2004). Taqwa berfungsi sebagai pelindung bagi seseorang agar tidak melakukan tindakan korupsi dengan melalui analisis indikator taqwa, yaitu menjalankan segala perintah Allah swt. dan menjauhi segala larangan Allah swt.
Keempat program virus anti korupsi ini harus mampu diinternalisasikan dalam setiap individu, dimulai dari hal yang sederhana. Misalnya, memegang teguh janji, menjaga barang titipan, memberikan keterangan secara transparan, tidak mencontek, guru/dosen memulai dan mengakhiri pelajaran sesuai dengan jadwal, tidak memanipulasi data laporan keuangan, memberikan uang saku kepada anak dengan adil tanpa sifat pilih kasih, tidak mengurangi barang dagangan di timbangan, dan lain sebagainya.
Selain itu, desain program anti virus korupsi tersebut perlu didukung dengan sikap zuhud dan wara’ yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Misalnya, pada suatu waktu beliau menjadi khatib jum’at dan datang terlambat. Kemudian beliau bergegas datang dan memakai jubah tambalan yang tidak kurang dari 21 tambalan, sedang di dalamnya kemeja yang masih basah karena baru dicuci. ”Maaf saya terlambat karena kemeja ini,” ucapnya kepada hadirin, ”Saya harus menunggu kering, karena saya tidak memiliki kemeja lainnya”. Di lain waktu, beliau juga terbiasa menggiring sendiri unta-unta baitul maal dari kandangnya ke padang gembala dan sebaliknya, lantaran begitu khawatir akan hilangnya harta rakyat tersebut (Zainal Arifin Thoha, 2004).
Suatu ketika, harta rampasan perang (ghonimah) yang melimpah tiba di Madinah. Hafshah, putri Umar bin Khattab dan janda Rasulullah mendekati sang ayah dan berbisik. "Aku kerabat terdekat ayah dan karenanya aku datang ke sini untuk meminta bagianku dari harta rampasan perang ini". Khalifah Umar menjawab, "Anakku, harta rampasan ini milik negara. Bagianmu ada pada harta kekayaanku, bukan pada harta rampasan perang. Tolong jangan mencoba membohongi ayah lagi". Kedua pipi Hafshah memerah menahan malu mendengar jawaban halus sang ayah. Lalu ia pun mundur teratur dari kerumunan massa. (Muhammad Azhar, 2004).
Masih banyak kisah teladan lain yang dapat dijadikan referensi dan spirit untuk mencegah tindakan korupsi. Melalui penanaman sikap tersebut, tanpa sadar kita telah berusaha memanage hawa nafsu, dan lambat laun akan berkembang sebagai antibodi yang berfungsi sebagai instrumen untuk menganalisis perilaku anti korupsi dan menolak segala bentuk korupsi dalam konteks yang lebih luas. Tentunya, desain program anti virus korupsi yang menitikberatkan pada managemen hawa nafsu adalah salah satu metode dari sekian banyak metode yang sudah ada. Artinya, harus didukung dengan perangkat lain, seperti hukum, agama, undang-undang, inpres maupun partisipasi masyarakat.


Ikhtitam
Para pembaca yang budiman, marilah bersama-sama niatkan diri untuk berjihad melawan korupsi dengan mengakses gratis program anti virus korupsi mulai sekarang juga. Semoga Allah SWT memihak kepada kita yang berjihad menegakkan agama-Nya. Dengan segala keterbatasan penulis, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat. Wallau'alam bishshowab.


*) Mohammad Mufid
Staff Pendidik Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta


Ketagihan Baca?......

Rabu, Mei 21, 2008

Jadi Pemimpin

Belajar Menjadi Pemimpin
*) Oleh: Nur Wahid

Apa dan Siapa itu pemimpin? Secara sederhana, kita dapat mengatakan bahwa pemimpin itu adalah orang yang memiliki kekuasaan. Bisa berupa pejabat di pemerintahan, penguasa, hingga pemimpin lokal di sebuah daerah tertentu.

Dari semua orang-orang tersebut, masihkah kita dapat bertemu dengan sosok “pemimpin” ideal? Sekalipun tidak ideal, masihkah kita dapat menemukan pemimpin yang real?

Pemimpin Ideal & Real

Pemimpin ideal adalah dia yang dapat menjalankan amanah dengan sepenuh tenaga untuk tidak tidak menyengsarakan dan menyia-nyiakan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan kata lain, pemimpin ideal adalah dia yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Ia memegang teguh prinsip dan kaidah etika-moral yang agung.

Sedangkan pemimpin real, adalah dia yang dapat melihat problem realistis khalayak yang dipimpinnya, lalu ia pun dapat menyelesaikan masalah-masalah itu. Misalnya, saat ia melihat harga sembako yang sangat mahal, maka ia pun paham kalau rakyat pasti susah. Karena itu, sebagai pemimpin real, ia pun berusaha untuk menyelesaikan itu semua.

Nah, apakah kita sudah menemukan pemimpin ideal dan real saat ini? Berdasarkan dua kriteria di atas, mungkin saat ini kita belum menemukannya. Karena saat ini sebagai orang yang dipimpin, mungkin sebagian besar kita yang tergolong wong cilik ini sangat tersulitkan oleh kebijakan dan realitas sosial-ekonomi-politik yang terjadi.

Inilah yang kemudian membuat kita “ragu” terhadap para sosok pemimpin negeri ini yang kita pilih secara sadar, dengan visi misi yang telah dijanjikan pada waktu kampanye. Bisa jadi, itu semua hanya sekedar janji yang sengaja diucapkan sebagai cara untuk meraih kekuasaan.

Kita tidak dapat menelusuri itu, walaupun dapat untuk apa? Toh masih saja demikian. Nyatanya, keadaan real sekarang menunjukkan peran seorang “pemimpin” masih jauh dari harapan. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik dan masa depan yang lebih baik lagi. Mudah-mudahan itu tidak hanya sekedar impian kita semata.

Setiap Orang Adalah Pemimpin

Kini banyak orang bertanya, apakah masih ada sosok seorang pemimpin yang benar-benar pemimpin yang mampu memahami rakyat yang dipimpinnya? Adakah potensi diri kita untuk menjadi seorang pemimpin? Pertanyaaan ini mungkin mudah dicari jawabannya, tetapi tidak mudah untuk memahami dan melaksanakannya.

Menjadi pemimpin bukan hanya sekedar sebagai wacana belaka, akan tetapi bentuk konkritnya harus nyata. Masyarakat membutuhkan jalan keluar untuk terus hidup. Inilah yang kemudian membuat kita mempertanyakan tentang kedirian seorang pemimpin negeri ini dalam memahami permasalahan rakyat yang dipimpinnya.

Semua orang punya potensi untuk menjadi apa saja, termasuk menjadi seorang pemimpin, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan dalam diri seseorang dapat menjadikan kekuatan untuk melakukan tindakan nyata tanpa banyak bicara.

Kita dapat memahami bahwa setiap orang dapat melakukan perubahan dalam kehidupan atau paling tidak terhadap dirinya sendiri dengan potensi-potensinya. Karena di dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki status dan peran yang dijalaninya. Bila seseorang mengetahui statusnya dan mengerti tentang peran yang harus dilakukan, dan akan berlanjut kepada fungsi sosialnya.

Bagaimana seseorang itu dapat menyadarinya peran, status, dan fungsi sosialnya? Salah satu jawabannya adalah bahwa setiap orang itu mesti harus menuju ke jalan untuk menjadi orang yang tercerahkan.

Menjadi orang yang tercerahkan itu dapat diperoleh melalui usaha sendiri maupun berkat atas kehendak Allah. Sebagai seorang khalifah di bumi ini, kita haruslah mampu melihat itu.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini merupakan cerminan dari potensi tersebut. Besar kecilnya potensi itu akan berakibat kepada sejauhmana manusia itu dapat menjadi khalifah. Tidak menutup kemungkinan kita dapat mengembangkan potensi diri, sebagai kekuatan mengahadapi kehidupan.

Dengan demikian kedirian manusia sebagai pemimpin sangat terkait dengan bagaimana menggunakan potensi yang ada. Barulah kemudian kita mampu menjadi seorang pemimpin bagi diri sendiri maupun dalam wilayah yang lebih besar.

Tapi ingat, ada konsekuensi yang harus kita terima, yaitu salah satunya adalah berupa tanggung jawab. Tanggung jawab disini tidak hanya berhenti pada bentuk laporan maupun pada masyarakat yang dipimpinnya (tanggung jawab horizontal), tapi juga kepada Tuhan (tanggung jawab vertikal).

Sebagai bagian terakhir dari tulisan ini, banyak yang harus kita lakukan untuk menjadi seorang pemimpin. Keinginan yang kuat untuk memenuhinya yang bersifat mendalam harus dicari keberadaannya dan setelah itu baru dilaksanakan sesuai dengan semangat sebagai khalifatullah. Meskipun sulit untuk mewujudkan itu, paling tidak ada usaha untuk melakukan usaha yang mengarah ke sana.

*) Oleh: Nur Wahid
Mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Senin, April 07, 2008

Pahala

Pahala yang Terus Mengalir

*) Oleh: Dwie Abu Taukhid

Ada empat perkara yang pahalanya terus mengalir walaupun orangnya telah meninggal dunia. Yaitu, orang yang meninggal selagi giatnya berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmu yang selalu mengalirkan pahala baginya, orang yang memberikan sedekah, maka pahalanya akan mengalir untuknya di mana saja sedekah itu berada, dan orang yang meninggalkan anak salih yang selalu berdoa untuknya.

(HR. Ahmad & Tirmidzi )

Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah permulaan dari sebuah kehidupan yang abadi. Kehidupan abadi adalah kebahagiaan. Salah besar jika ada yang mengatakan dan menganggap bahwa kematian itu adalah azab atau siksa. Kematian itu adalah nikmat. Sama seperti kehidupan. Hanya saja banyak di antara kita yang tidak menyadarinya.


Nikmat Kematian

Kematian adalah kenikmatan sejati. Kesejatiannya terletak dalam ketersembunyiannya sebagai sesuatu hal yang ditakuti semua orang di dunia ini. Padahal, ia adalah nikmat sejati. Karena hanya lewat kematian saja setiap orang bisa merasakan kehadiran Tuhan, dan hanya dalam kematian saja setiap orang bisa menjadi bijak mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya di dunia ini. Itulah kebahagiaan hakiki.

Untuk merengkuh kebahagiaan itu, setiap orang harus menggapainya dengan bekal yang banyak. Umumnya, bekal kehidupan dalam kematian itu adalah kebaikan yang kita perbuat di dunia ini, yaitu keimanan. Keimanan itu diwujudkan dalam pelaksanaan ibadah-ibadah yang membuat kita lebih bisa mendapatkan sesuatu hal ganjaran yang disebut pahala.

Setiap orang harus punya pahala. Karena pahala adalah tabungan kematian. Orang yang hanya bisa membuat dosa, adalah orang yang menandai kehidupannya dengan ketidakseimbangan. Mengapa ia hanya bisa menciptakan dosa? Seharusnya ia bisa menciptakan pahala. Bahkan syukur-syukur pahalanya tidak hanya banyak, akan tetapi juga mengalir kepada pembuatnya hingga ia mati berkalang tanah.

Hanya saja, perlu kita sadari bahwa konsep adanya pahala dan dosa di dalam Islam itu seringkali disalahpahami. Banyak orang beribadah hanya untuk mendapat pahala, bukan ridla Allah SWT. Sebenarnya pahala itu adalah adalah untuk mengajarkan kepada umat Islam dan manusia umumnya untuk terus berbuat baik dan menyembah Allah SWT.

Bukan pahalanya yang dijadikan fokus perhatian, akan tetapi, sejauhmana sang manusia mau tunduk di depan Allah SWT dengan mengerjakan perbuatan baik. Tidak menjadi soal apakah ada pahala atau tidak, walaupun Allah SWT berjanji akan memberikannya saat perbuatan baik itu dilakukan.

Ada juga di antara kita ada yang menganggap pahala itu untuk menancapkan gengsinya di depan sesama manusia. Ada yang menganggapnya sebagai modal material utama untuk mengkapling-kapling surga. Sehingga jika ada orang yang menurutnya tidak membuat pahala, misalnya ahli maksiat, ia anggap sebagai orang yang tidak berpahala. Karena itu, ia merasa bahwa karena pahalanya banyak, maka ia layak masuk surga.

Ada juga yang mengetahui betapa di dalam Islam itu banyak sekali amal yang pahalanya berlipat-lipat. Lalu secara sengaja ia menghitung-hitung pahala itu berdasarkan berapa kali ia beribadah, dan berapa kali ia beramal.

Hadits yang penulis kutip di atas memaparkan empat amal yang bisa tetap membuahkan pahala kendati pelakunya sudah meninggal dunia.


Pertama, Mati Syahid

Mati syahid adalah kematian yang dicapai seseorang ketika berjuang menegakkan agama Allah SWT. Begitu mulianya mati syahid ini sehingga setiap mukmin pasti mendambakannya. Allah SWT telah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 111: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan surga untuk mereka. Mereka berjuang di jalan Allah lalu membunuh atau terbunuh.

Saat ini, mati syahid kerap disalahmaknakan oleh sebagian kaum muslim yang begitu menggebu semangat beragamanya. Sebenarnya, yang harus dipahami dari konsep mati syahid ini adalah agar setiap muslim itu mengerti bahwa syahid itu maknanya adalah siap berkorban demi sesuatu yang baik, demi orang lain, dan kepentingan bersama.

Artinya, kejiwaan orang yang ingin mati syahid adalah kejiwaan orang-orang yang siap menjadi tumbal demi kepentingan bersama yang baik. Contohnya, orang yang rela mengorbankan dirinya untuk membersihkan tempat tinggal bersama yang kotor berhari-hari dan tidak ada yang mau membersihkannya. Ia melakukannya demi kepentingan semua yang tinggal di sana. Itulah orang yang telah ‘mati syahid’. Memang ia tidak mati, tapi ia telah memiliki jiwa dan karakter orang yang mati syahid.

Itulah ’mati syahid’. Mati syahid seperti ini adalah kemuliaan. Karena pelaksananya mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang lain tanpa merugikan orang lain. Berbeda dengan para pengebom yang mengaku ia syahid. Mereka tidak tahu bahwa perbuatan syahid mereka itu salah. Karena mereka telah merugikan orang lain, merusak tatanan, dan tidak mengindahkan hak hidup orang lain.


Kedua, Mengajarkan Ilmu

Ilmu merupakan salah satu kunci sekaligus bekal seseorang untuk meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ketika kita telah berilmu, kita wajib untuk megajarkannya kepada mereka yang belum berilmu. Sebab ilmu yang tidak diajarkan dan diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.

Bahkan Nabi Muhammad SAW memberikan isyarat kepada orang alim yang tidak mengajarkan ilmunya dengan siksa yang amat berat. Nabi SAW bersabda : seberat-berat siksaan atas manusia pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak memanfaatkan(mengajarkan) ilmunya.

Ilmu yang selalu diajarkan kepada orang lain akan menjadi berkah. Apalagi kalau ilmu itu berhasil membawa pemiliknya atau yang orang yang diajarkan, menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara.


Ketiga, Bersedekah

Allah SWT tidak melarang manusia untuk mencari dan mendapatkan harta duniawi sebanyak mungkin. Namun, harta yang banyak tersebut mempunyai beban untuk dikeluarkan demi kepentingan umat Islam. Sedekah sangat dianjurkan bagi umat Islam khususnya mereka yang dikaruniai oleh Allah SWT rizki yang melimpah.

Sedekah tidak hanya dengan harta benda saja namun bisa dengan berbuat baik dan beribadah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: Setiap ruas tulang manusia wajib bersedekah setiap hari, di mana matahari terbit. Selanjutnya beliau bersabda: Berlaku adil antara dua orang adalah sedekah, membantu seseorang (yang kesulitan menaikkan barang) pada hewan tunggangannya, lalu ia membantu menaikkannya ke atas punggung hewan tunggangannya atau mengangkatkan barang-barangnya adalah sedekah. Rasulullah saw. juga bersabda: Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang dikerahkan menuju salat adalah sedekah dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.


Keempat, Anak yang Saleh dan Salihah

Secara naluri semua manusia pasti menginginkan mendapat anak yang baik, yang salih dan salihah. Seorang penjahat pun tidak menginginkan anaknya menjadi penjahat. Apalagi seorang muslim pasti menginginkan anaknya menjadi seorang yang selalu mendoakan dan mengharumkan nama kedua orang tuanaya.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: jika anak adam meninggal dunia, semua amal ibadahnya terputus, kecuali tiga perkara, yaitu: amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih (salihah) yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.

Keempat perkara itu ibarat tabungan yang akan tetap mengucurkan pahala di saat pemiliknya meninggalkan dunia fana ini. Ia ibarat dana pensiunan yang selalu memberikan kebaikan kendati jasad pemiliknya sudah hancur lebur dimakan cacing, bakteri dan tanah. Semoga kita semua bisa memperoleh empat pahala yang terus mengalir ini. Amin.


*) Oleh: Dwie Abu Taukhid

Aktifis Resimen Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta dan staf pendidik TPA Masjid Jendral Sudirman




Ketagihan Baca?......