Rabu, Januari 02, 2008

Semua Tulisan

Salam. Semua tulisan di Blog ini adalah bentuk digital dari tulisan yang diterbitkan oleh Buletin Jumat "Jendral Sudirman" Yogyakarta. Jadi, kalau ada pembaca yang ingin mencetaknya, menyebarkannya, atau meng-copy-nya, kami persilahkan dengan selapang-lapangya. Boleh dicantumkan sumbernya, boleh juga tidak. Salam.


Ketagihan Baca?......

Selasa, Januari 01, 2008

Indahnya Ramadlan

Indahnya Ramadlan
Oleh: Umi Aflaha*

(Beberapa hari yang telah ditentukan itu adalah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(QS: 2: 185)

Berbahagialah kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW, karena Allah SWT telah memberikan kepada kita berbagai keistimewaan yang belum pernah diberikan kepada umat sebelumnya. Ini terbukti bahwa Allah tidak henti-hentinya memberikan anugerah-Nya kepada kita, setelah kita dilimpahi keistimewaan pada nishfu sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), kini kita dihadapkan pada bulan yang mulia, yaitu Ramadlan. Adapun keistimewaan Ramadlan yang paling mencolok adalah bahwa pada bulan ini untuk pertama kalinya al-Qur’an mulai diturunkan dan diterima nabi Muhammad SAW yang ketika itu sedang melakukan tahannuts (bermeditasi) di Gua Hira’ dan melakukan pembersihan diri.
Ini artinya, meski al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadlan, namun pada waktu itu belum ada kewajiban puasa. Sebab puasa baru diwajibkan pada tahun 2 H. Pesan yang ditegaskan di sini adalah kaitan hubungan antara keadaan Nabi Muhammad SAW ketika menerima al-Qur’an dan orang-orang yang sedang berpuasa. Artinya bahwa hanya orang-orang yang bersih jiwa atau ruhaninya saja yang akan bisa mengakses dan menerima al-Qur’an. Keadaan seperti inilah mengapa kemudian bulan Ramadlan ini dipilih sebagai bulan yang oleh ayat di atas disebut sebagai bulan yang di dalamnya telah diturunkan al-Qur’an. Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan juga sebagai isyarat bahwa sangat dianjurkan untuk lebih banyak membaca dan mempelajarinya pada bulan ini dengan harapan dapat memperoleh petunjuk darinya.
Banyak ulama menyebut Ramadlan sebagai syahru at-tarbiyah (bulan pembinaan, bulan pendidikan) yang diharapkan dapat meluluskan pesertanya untuk meraih gelar sebagai orang-orang yang bertaqwa atau al-muttaqin [QS: 2: 183]. Maka wajarlah, untuk mencapai gelar ini, frekuensi penyelenggaraan pengajian nampak begitu giat ditingkatkan, salat sunnah terasa seperti menjadi “diwajibkan”, pembacaan al-Quran dirutinkan dan dikhatamkan, wirid diperpanjang, sedekah diperbanyak, silaturahmi lebih dijalin erat, dan amal ibadah lainnya terus didirikan.

Taqwa dan Muttaqin
Apakah taqwa itu? Mengapa pula orang-oang yang bertaqwa disebut muttaqin? Taqwa dan muttaqin adalah kosakata dalam Bahasa Arab yang keduanya memiliki akar kata yang sama. M. Quraish Shihab (1999:127) menjelaskan bahwa taqwa memiliki dua sisi makna. Hemat penulis, dua sisi ini tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya ibarat dua sisi mata uang logam. Pertama, sisi duniawi. Makna taqwa pada sisi ini memiliki cakupan fokus perhatiannya pada ihwal penyesuaian diri manusia dengan sunnatullah (hukum alam, hukum sosial). Kedua, sisi ukhrawi. Makna taqwa pada sisi ini berbeda dengan sisi pertama. Taqwa diartikan sebagai proses perjalanan manusia dalam usaha untuk melaksanakan hukum syariat.
Marilah kita lihat realitas ketaqwaan yang berjalan di depan kita berdasarkan dua makna taqwa ini. Saat ini banyak orang yang lebih mementingkan sisi ukhrawi taqwa saja. Sehingga muncul anggapan khalayak luas bahwa di dalam bulan ramadlan ini, ketakwaan seseorang hanya dapat diperoleh cukup dengan berpuasa di siang hari, rajin salat tarawih di malam hari, dan membaca al-Quran setiap hari. Padahal makna taqwa dari sisi yang lain juga penting, yaitu gerak (transformasi) manusia untuk mengikuti hukum-hukum alam dan sosial sebagaimana yang telah ditetapkan Allah.
Contohnya yang paling penting saat ini adalah seperti melakukan perbaikan di segala bidang kehidupan yang lebih menyeluruh. Saat kita mendapati realitas kehidupan hukum kita begitu tidak adil, maka ketakwaan dapat diraih dengan upaya untuk melakukan perubahan hukum. Begitu juga dengan kehidupan ekonomi kita yang sedang terpuruk, kehidupan sosial-budaya yang parah, dan kehidupan keagamaan yang rusak. Bagi kita yang berada di lingkungan birokrasi pemerintahan, ketakwaan hanya mungkin dilakukan saat kita menolak untuk korupsi, membuat undang-undang yang tidak menyengsarakan rakyat, serta mendesain sistem ekonomi bangsa ini agar tidak menjurus ke arah sistem yang semakin memiskinkan orang miskin dan mengkonglomerasikan konglomerat.
Dengan kata lain, wujud ketaqwaan yang bersifat ukhrawi harus disertai pula dengan wujud ketaqwaan yang bersifat duniawi. Lalu bagaimana wujud taqwa duniawi khususnya di bulan Ramadlan ini? Sebagaimana tadi ditegaskan bahwa taqwa duniawi adalah melakukan gerak transformasi sosial, melakukan perubahan sesuai dengan perintah dan aturan yang telah ditetapkan Allah. Maka, bagaimana mungkin kemiskinan di negeri kita akan teratasi atau korupsi akan berhenti kalau hanya sebatas berdzikir dan berdo’a supaya orang-orang miskin mau bekerja keras atau para koruptor segera sadar.
M Amien Rais (1998: 52) pernah menegaskan bahwa kita harus selalu mengasah taqwa kita dalam kehidupan pribadi, keluarga, sosial-kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, akivitas puasa kita tidak hanya berhenti di masjid saja, teapi harus merembes dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita. Kita harus mulai bergerak menciptakan lapangan pekerjaan atau menggalakkan sedekah bagi orang-orang yang tidak mampu (ith’amul masakin). Bukannya membeli segala macam makanan untuk memenuhi keinginan perut ketika berbuka puasa, sedangkan saudara kita ada yang tidak mempunyai makanan untuk berbuka. Begitu pula untuk memberantas korupsi dengan menegakkan hukum seadil-adilnya, melakukan penyadaran tentang bahayanya korupsi bagi kehidupan masyarakat atau dengan menerapkan hukum mati bagi koruptor jika memungkinkan.
Jika dua sisi taqwa tersebut sudah bisa disatu-padukan, taqwa duniawi dan taqwa ukhrawi, maka indahnya Ramadlan tidak hanya bisa dirasakan di masjid-masjid tempat berkumandangnya dzikir dan doa. Indahnya Ramadlan juga akan bisa kita nikmati di setiap jengkal kehidupan, keluarga, masyarakat dan negara. Sudah saatnya kita merubah cara pandang puasa kita. Puasa tidak hanya cukup dengan menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, salat tarawih, dzikir dan membaca al-Qur’an. Tetapi puasa -sebagaimana makna taqwa- harus mengejawantah dan mewujud dalam bentuk reformasi sosial mewujudkan keadilan di muka bumi ini. Semoga di bulan Ramadlan 1428 H ini, kita dapat mencapai gelar muttaqin duniawi dan ukhrawi.

* Umi Aflaha
Direktur TPA Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta

Ketagihan Baca?......