Kamis, Juni 05, 2008

Korupsi




Mendesain ‘Program Anti Virus’ Korupsi:
Refleksi Maulid Nabi SAW 1429 H
*) Oleh: Mohammad Mufid


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar
(QS: 8: 27-28)


Bagi sebagian pemilik komputer atau laptop, jengkel pada virus adalah makanan sehari-hari. Misalnya, ketika kita sedang konsentrasi di depan komputer, tiba-tiba beragam virus menyerang. Entah virus itu dari mana. Alhasil, file-file penting hilang dalam sekejap. Meskipun banyak yang mendesain bermacam anti virus, ternyata belum terbukti ampuh memberantas virus. Apalagi, ternyata, ada saja orang-orang atau pihak yang sengaja bereksperimen dengan membuat virus-virus terbaru.
Ilustrasi ini limit dengan kasus korupsi yang merajalelala di negara kita saat ini. Mulai dari struktur kenegaraan yang paling tinggi, paling suci, dan paling terhormat hingga paling kotor, rendah, dan paling hina. Mulai dari penegak hukum hingga tukang parkir di jalanan. Bahkan baru-baru ini kita dikejutkan dengan tertangkapnya oknum penegak hukum yang terlibat kasus korupsi dalam bentuk suap-menyuap. Korupsi ibarat virus atau bakteri pathogen yang terus berkembangbiak merusak kehidupan kita. Pemerintah dituntut ekstra keras untuk mendesain program Anti Virus Korupsi yang ideal untuk memberantasnya.
Beberapa di antara programnya ada dalam TAP MPR XVI tahun 1998, UU No 28 th 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 20 th 2001 tentang perubahan atau UU No 31 th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), UU No 30 th 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), PP No 71 th 2000 tentang Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta instruksi presiden RI No 5 th 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Namun, sekian banyak program itu juga belum menunjukkan hasil optimal. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2003 (Corruption Perception Index) yang diterbitkan oleh Transparency International (TI) mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 122 dengan skor 1,9 (Arya Maheka; 2006). Kriteria ini didasarkan pada skala 1-10 (skala 1 berarti negara terkorup, dan skala 10 adalah negara paling bersih dari kasus korupsi). Selanjutnya pada level Asia, menurut buku panduan Gerakan Moral Nasional Pemberantasan Korupsi (GMNPK), berdasarkan survey dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah konsultan dari Hongkong, menyebutkan bahwa pada tahun 2003 Indonesia menduduki negara terkorup di wilayah Asia.
Keprihatinan ini bertambah dengan laporan dari Corruption Perception Index (CPI) tahun 2006 yang dirilis oleh Transparency International (TI) pada 4 November 2006, yang memposisikan Indonesia pada peringkat 7 negara terkorup dari 163 negara. Posisi ini naik 1 peringkat dari tahun 2005 yang menempati posisi 6 negara terkorup dari 159 negara (Republika,4/12/06). Sudah sedemikian parahkah kondisi negara ini? Sebagai mayoritas penduduk yang taat beragama, di manakah nilai-nilai agama yang menuntun hidup kita?


Korupsi Menurut Islam
Bentuk korupsi dalam Islam tercermin dalam perilaku ghulul (penggelapan) dan risywah (suap). Ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan (QS:3:161). Menurut Imam Qotadah dan Rabi' bin Anas, ayat ini turun ketika perang Badar. Saat itu, salah satu harta rampasan perang (ghonimah) berupa permadani (qathifah) hilang begitu saja. Kondisi ini membuat sebagian para sahabat curiga kepada Nabi Muhammad SAW telah menggelapkannya, sehingga turunlah ayat tersebut (Jurnal Millah: 2006). Saat ini, yang termasuk bentuk ghulul ialah penggelapan dana publik/material untuk kepentingan pribadi, penggelapan barang bukti, dan sebagainya.
Sedangkan risywah atau suap secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna ’upah’, ’hadiah,’ atau ’pemberian’ atau ’komisi’. Secara istilah, menurut Ibnu Abidin, suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya (Abdullah bin Abdul Muhsin: 2001). Secara luas, suap bukan hanya terkait persoalan hukum, tetapi dapat terjadi di lembaga formal maupun non formal.
Berkaitan dengan sanksi, Islam memberikan ganjaran bagi para koruptor berupa sanksi di dunia maupun akhirat. Sanksi dunia terbagi menjadi tiga aspek. Pertama, sanksi hukum (pengucilan, denda, penjara, potong tangan). Kedua, sanksi sosial (tidak diterima kesaksiannya, seperti pembuktian hukum di pengadilan, kesaksian dalam itsbat awal Ramadhan/Syawwal, saksi pernikahan). Ketiga, sanksi moral (dilaknat oleh Allah SWT serta jenazahnya tidak disalatkan).
Mengenai sanksi terakhir ini, argumentasinya didasarkan pada kisah Nabi (HR. Abu Daud), bahwa beliau enggan menshalati jenazah sahabat yang wafat pada perang Khaibar, karena diketahui sahabat tersebut menggelapkan harta rampasan perang berupa perhiasan dari orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham. Hadits tersebut dijadikan dasar dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Asrama Haji Pondok Gede pada tanggal 25-28 Juli 2002 untuk menghimbau agar para ulama tidak mensalati jenazah koruptor (Moh. Masyhuri Na’im: 2006).
Namun, sanksi bagi para koruptor tidak langsung begitu saja diterapkan. Semua memerlukan verifikasi, bukti dan mekanisme proses penentuan hukuman yang disebut dengan ta’zir, dimulai dari yang terberat (hukuman mati/potong tangan) hingga yang paling ringan (pengucilan, pemecatan, dan penjara) sesuai dengan tingkatan berat ringannya tindakan dan dampak korupsi yang ditimbulkannya (Fiqh Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah: 2006).
Selanjutnya, sanksi di akhirat antara lain menghalangi pelakunya masuk surga, karena harta yang dikonsumsi termasuk suht. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW (HR. Ad-Darimi): Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari suht (harta haram). Selain itu, pelaku korupsi akan menyebabkan masuk neraka. Hukuman ini didasarkan pada hadits Nabi SAW: Setiap daging yang ditumbuhkan oleh as-suht, maka neraka lebih pantas baginya. Ditanyakan: ‘Wahai rasul, apa suht itu? Rasulullah SAW menjawab: ‘Risywah dalam hukum” (HR. Bukhari).
Demikianlah ancaman bagi para koruptor. Seandainya para koruptor dapat lolos dari jeratan hukum/pengadilan dan sanksi di dunia, yakinlah mereka tidak akan pernah bisa lolos dari pengadilan Alllah SWT di akhirat kelak.


Jihad Melawan Korupsi
Jihad secara bahasa artinya 'mencurahkan segala kemampuan' (Al Munawwir: 1984). Secara istilah, jihad ialah mencurahkan segala potensi yang dimiliki untuk menegakkan agama Allah SWT (Yunahar Ilyas: 2006). Saat ini, seharusnya istilah 'mati syahid' bukan hanya diberikan pada mereka yang berjihad melalui medan pertempuran, tetapi diperuntukkan juga bagi para pejuang yang memiliki komitmen tinggi untuk memberantas korupsi. Hal ini sangatlah penting diperhatikan, mengingat dampak korupsi yang begitu dahsyat dan melebihi kerugian di medan pertempuran secara fisik. Lebih dari itu, korupsi berimbas pada demoralisasi, dehumanisasi, kemiskinan, dan lumpuhnya sistem hukum/peradilan.
Urgensi perang melawan korupsi didasarkan atas semangat doktrin agama yang mengutuk segala bentuk korupsi. Ketika program virus anti korupsi yang didesain pemerintah, seperti lembaga/undang-undang maupun inpres dibuat lumpuh oleh ganasnya zombie korupsi, maka saat itulah momentum yang tepat untuk mengikrarkan bersama bahwa korupsi adalah common enemy (musuh bersama) yang harus diberantas bersama melalui langkah konkret berupa perang suci (holy war).
Pertanyaan kemudian, bagaimana cara berjihad melawan korupsi? Rasulullah SAW telah memberikan sinyalemen kepada kita tentang pentingnya 'jihad akbar' melawan hawa nafsu. Hal ini berawal dari pernyataan langsung ketika Nabi SAW bersama para sahabatnya yang baru pulang meraih kemenangan pada salah satu pertempuran di medan perang: kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.
Pernyataan Nabi SAW di atas, mengindikasikan bahwa hawa nafsu yang liar lebih berbahaya dibandingkan perang secara fisik. Bahkan, senjata dan alat perang yang dapat menewaskan ratusan ribu manusia dalam hitungan detik, masih dikategorikan 'jihad kecil'. Begitu beratnya berjihad mengendalikan hawa nafsu, sampai-sampai Rasulullah SAW mewasiatkan agar setiap manusia berhati-hati mengontrol hawa nafsu. Hawa nafsu yang tidak dapat dikontrol dengan baik, akan membawa sifat negatif (egois, rakus, haus akan harta, pangkat dan jabatan) yang berujung pada usaha serba instan. Itulah korupsi yang dilarang agama. Korupsi jauh lebih berbahaya daripada pertempuran di medan laga.


Program Anti Virus Korupsi
Dalam konteks perang suci atau jihad melawan korupsi melalui manajemen hawa nafsu tercermin dalam usaha konkret membentengi diri dengan sikap antikorupsi, yang terdiri dari empat aspek, yakni amanah, shiddiq, adil dan taqwa.
Pertama, Amanah berarti ‘dapat dipercaya’. Amanah seakar dengan kata iman, karena lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang maka semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya (Yunahar Ilyas, 2006). Jika iman seseorang lemah dan memegang jabatan strategis, berhati-hatilah, dia rawan terperosok pada lembah korupsi.
Kedua, Shiddiq berarti ‘benar,’ ‘sah,’ ‘tetap’ dan nyata’ (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor,2003). Sikap shiddiq meliputi benar hati, perkataan dan perbuatan. Lawan dari shiddiq ialah khianat. Khianat termasuk bibit korupsi karena terdapat unsur distorsi (pemutarbalikan fakta). Hal ini sangat jelas dilarang oleh Allah SWT sebagaimana yang diterangkan dalam QS. Al Anfal 27 di atas. Akhir-akhir ini, sikap shiddiq semakin jarang ditemukan, dengan indikasi semakin banyaknya tindak manipulasi laporan maupun mark up dana.
Ketiga, adil berarti ‘sikap tengah-tengah' (Al Munawwir, 1984). Seorang muslim harus mampu menempatkan sesuatu dengan prinsip keseimbangan (‘adl) sesuai dengan hak dan kewajiban. Implikasi dari sifat adil ini akan terlihat dalam aktifitas sehari-hari, misalnya tidak mau menghambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mau merugikan orang lain. Sikap inilah yang mampu menghindarkan dari perilaku korupsi karena korupsi pada dasarnya merupakan bentuk tindakan yang merampas hak-hak orang lain untuk kepentingan pribadi/golongan.
Keempat, Taqwa secara bahasa berarti ‘takut,’ ‘berhati-hati’ dan ‘waspada,’ sedangkan menurut istilah taqwa bermakna penjagaan diri dari sesuatu yang tidak baik (Muhammad Azhar, 2004). Taqwa berfungsi sebagai pelindung bagi seseorang agar tidak melakukan tindakan korupsi dengan melalui analisis indikator taqwa, yaitu menjalankan segala perintah Allah swt. dan menjauhi segala larangan Allah swt.
Keempat program virus anti korupsi ini harus mampu diinternalisasikan dalam setiap individu, dimulai dari hal yang sederhana. Misalnya, memegang teguh janji, menjaga barang titipan, memberikan keterangan secara transparan, tidak mencontek, guru/dosen memulai dan mengakhiri pelajaran sesuai dengan jadwal, tidak memanipulasi data laporan keuangan, memberikan uang saku kepada anak dengan adil tanpa sifat pilih kasih, tidak mengurangi barang dagangan di timbangan, dan lain sebagainya.
Selain itu, desain program anti virus korupsi tersebut perlu didukung dengan sikap zuhud dan wara’ yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Misalnya, pada suatu waktu beliau menjadi khatib jum’at dan datang terlambat. Kemudian beliau bergegas datang dan memakai jubah tambalan yang tidak kurang dari 21 tambalan, sedang di dalamnya kemeja yang masih basah karena baru dicuci. ”Maaf saya terlambat karena kemeja ini,” ucapnya kepada hadirin, ”Saya harus menunggu kering, karena saya tidak memiliki kemeja lainnya”. Di lain waktu, beliau juga terbiasa menggiring sendiri unta-unta baitul maal dari kandangnya ke padang gembala dan sebaliknya, lantaran begitu khawatir akan hilangnya harta rakyat tersebut (Zainal Arifin Thoha, 2004).
Suatu ketika, harta rampasan perang (ghonimah) yang melimpah tiba di Madinah. Hafshah, putri Umar bin Khattab dan janda Rasulullah mendekati sang ayah dan berbisik. "Aku kerabat terdekat ayah dan karenanya aku datang ke sini untuk meminta bagianku dari harta rampasan perang ini". Khalifah Umar menjawab, "Anakku, harta rampasan ini milik negara. Bagianmu ada pada harta kekayaanku, bukan pada harta rampasan perang. Tolong jangan mencoba membohongi ayah lagi". Kedua pipi Hafshah memerah menahan malu mendengar jawaban halus sang ayah. Lalu ia pun mundur teratur dari kerumunan massa. (Muhammad Azhar, 2004).
Masih banyak kisah teladan lain yang dapat dijadikan referensi dan spirit untuk mencegah tindakan korupsi. Melalui penanaman sikap tersebut, tanpa sadar kita telah berusaha memanage hawa nafsu, dan lambat laun akan berkembang sebagai antibodi yang berfungsi sebagai instrumen untuk menganalisis perilaku anti korupsi dan menolak segala bentuk korupsi dalam konteks yang lebih luas. Tentunya, desain program anti virus korupsi yang menitikberatkan pada managemen hawa nafsu adalah salah satu metode dari sekian banyak metode yang sudah ada. Artinya, harus didukung dengan perangkat lain, seperti hukum, agama, undang-undang, inpres maupun partisipasi masyarakat.


Ikhtitam
Para pembaca yang budiman, marilah bersama-sama niatkan diri untuk berjihad melawan korupsi dengan mengakses gratis program anti virus korupsi mulai sekarang juga. Semoga Allah SWT memihak kepada kita yang berjihad menegakkan agama-Nya. Dengan segala keterbatasan penulis, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat. Wallau'alam bishshowab.


*) Mohammad Mufid
Staff Pendidik Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta


Ketagihan Baca?......

Rabu, Mei 21, 2008

Jadi Pemimpin

Belajar Menjadi Pemimpin
*) Oleh: Nur Wahid

Apa dan Siapa itu pemimpin? Secara sederhana, kita dapat mengatakan bahwa pemimpin itu adalah orang yang memiliki kekuasaan. Bisa berupa pejabat di pemerintahan, penguasa, hingga pemimpin lokal di sebuah daerah tertentu.

Dari semua orang-orang tersebut, masihkah kita dapat bertemu dengan sosok “pemimpin” ideal? Sekalipun tidak ideal, masihkah kita dapat menemukan pemimpin yang real?

Pemimpin Ideal & Real

Pemimpin ideal adalah dia yang dapat menjalankan amanah dengan sepenuh tenaga untuk tidak tidak menyengsarakan dan menyia-nyiakan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan kata lain, pemimpin ideal adalah dia yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Ia memegang teguh prinsip dan kaidah etika-moral yang agung.

Sedangkan pemimpin real, adalah dia yang dapat melihat problem realistis khalayak yang dipimpinnya, lalu ia pun dapat menyelesaikan masalah-masalah itu. Misalnya, saat ia melihat harga sembako yang sangat mahal, maka ia pun paham kalau rakyat pasti susah. Karena itu, sebagai pemimpin real, ia pun berusaha untuk menyelesaikan itu semua.

Nah, apakah kita sudah menemukan pemimpin ideal dan real saat ini? Berdasarkan dua kriteria di atas, mungkin saat ini kita belum menemukannya. Karena saat ini sebagai orang yang dipimpin, mungkin sebagian besar kita yang tergolong wong cilik ini sangat tersulitkan oleh kebijakan dan realitas sosial-ekonomi-politik yang terjadi.

Inilah yang kemudian membuat kita “ragu” terhadap para sosok pemimpin negeri ini yang kita pilih secara sadar, dengan visi misi yang telah dijanjikan pada waktu kampanye. Bisa jadi, itu semua hanya sekedar janji yang sengaja diucapkan sebagai cara untuk meraih kekuasaan.

Kita tidak dapat menelusuri itu, walaupun dapat untuk apa? Toh masih saja demikian. Nyatanya, keadaan real sekarang menunjukkan peran seorang “pemimpin” masih jauh dari harapan. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik dan masa depan yang lebih baik lagi. Mudah-mudahan itu tidak hanya sekedar impian kita semata.

Setiap Orang Adalah Pemimpin

Kini banyak orang bertanya, apakah masih ada sosok seorang pemimpin yang benar-benar pemimpin yang mampu memahami rakyat yang dipimpinnya? Adakah potensi diri kita untuk menjadi seorang pemimpin? Pertanyaaan ini mungkin mudah dicari jawabannya, tetapi tidak mudah untuk memahami dan melaksanakannya.

Menjadi pemimpin bukan hanya sekedar sebagai wacana belaka, akan tetapi bentuk konkritnya harus nyata. Masyarakat membutuhkan jalan keluar untuk terus hidup. Inilah yang kemudian membuat kita mempertanyakan tentang kedirian seorang pemimpin negeri ini dalam memahami permasalahan rakyat yang dipimpinnya.

Semua orang punya potensi untuk menjadi apa saja, termasuk menjadi seorang pemimpin, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan dalam diri seseorang dapat menjadikan kekuatan untuk melakukan tindakan nyata tanpa banyak bicara.

Kita dapat memahami bahwa setiap orang dapat melakukan perubahan dalam kehidupan atau paling tidak terhadap dirinya sendiri dengan potensi-potensinya. Karena di dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki status dan peran yang dijalaninya. Bila seseorang mengetahui statusnya dan mengerti tentang peran yang harus dilakukan, dan akan berlanjut kepada fungsi sosialnya.

Bagaimana seseorang itu dapat menyadarinya peran, status, dan fungsi sosialnya? Salah satu jawabannya adalah bahwa setiap orang itu mesti harus menuju ke jalan untuk menjadi orang yang tercerahkan.

Menjadi orang yang tercerahkan itu dapat diperoleh melalui usaha sendiri maupun berkat atas kehendak Allah. Sebagai seorang khalifah di bumi ini, kita haruslah mampu melihat itu.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini merupakan cerminan dari potensi tersebut. Besar kecilnya potensi itu akan berakibat kepada sejauhmana manusia itu dapat menjadi khalifah. Tidak menutup kemungkinan kita dapat mengembangkan potensi diri, sebagai kekuatan mengahadapi kehidupan.

Dengan demikian kedirian manusia sebagai pemimpin sangat terkait dengan bagaimana menggunakan potensi yang ada. Barulah kemudian kita mampu menjadi seorang pemimpin bagi diri sendiri maupun dalam wilayah yang lebih besar.

Tapi ingat, ada konsekuensi yang harus kita terima, yaitu salah satunya adalah berupa tanggung jawab. Tanggung jawab disini tidak hanya berhenti pada bentuk laporan maupun pada masyarakat yang dipimpinnya (tanggung jawab horizontal), tapi juga kepada Tuhan (tanggung jawab vertikal).

Sebagai bagian terakhir dari tulisan ini, banyak yang harus kita lakukan untuk menjadi seorang pemimpin. Keinginan yang kuat untuk memenuhinya yang bersifat mendalam harus dicari keberadaannya dan setelah itu baru dilaksanakan sesuai dengan semangat sebagai khalifatullah. Meskipun sulit untuk mewujudkan itu, paling tidak ada usaha untuk melakukan usaha yang mengarah ke sana.

*) Oleh: Nur Wahid
Mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Senin, April 07, 2008

Pahala

Pahala yang Terus Mengalir

*) Oleh: Dwie Abu Taukhid

Ada empat perkara yang pahalanya terus mengalir walaupun orangnya telah meninggal dunia. Yaitu, orang yang meninggal selagi giatnya berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmu yang selalu mengalirkan pahala baginya, orang yang memberikan sedekah, maka pahalanya akan mengalir untuknya di mana saja sedekah itu berada, dan orang yang meninggalkan anak salih yang selalu berdoa untuknya.

(HR. Ahmad & Tirmidzi )

Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah permulaan dari sebuah kehidupan yang abadi. Kehidupan abadi adalah kebahagiaan. Salah besar jika ada yang mengatakan dan menganggap bahwa kematian itu adalah azab atau siksa. Kematian itu adalah nikmat. Sama seperti kehidupan. Hanya saja banyak di antara kita yang tidak menyadarinya.


Nikmat Kematian

Kematian adalah kenikmatan sejati. Kesejatiannya terletak dalam ketersembunyiannya sebagai sesuatu hal yang ditakuti semua orang di dunia ini. Padahal, ia adalah nikmat sejati. Karena hanya lewat kematian saja setiap orang bisa merasakan kehadiran Tuhan, dan hanya dalam kematian saja setiap orang bisa menjadi bijak mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya di dunia ini. Itulah kebahagiaan hakiki.

Untuk merengkuh kebahagiaan itu, setiap orang harus menggapainya dengan bekal yang banyak. Umumnya, bekal kehidupan dalam kematian itu adalah kebaikan yang kita perbuat di dunia ini, yaitu keimanan. Keimanan itu diwujudkan dalam pelaksanaan ibadah-ibadah yang membuat kita lebih bisa mendapatkan sesuatu hal ganjaran yang disebut pahala.

Setiap orang harus punya pahala. Karena pahala adalah tabungan kematian. Orang yang hanya bisa membuat dosa, adalah orang yang menandai kehidupannya dengan ketidakseimbangan. Mengapa ia hanya bisa menciptakan dosa? Seharusnya ia bisa menciptakan pahala. Bahkan syukur-syukur pahalanya tidak hanya banyak, akan tetapi juga mengalir kepada pembuatnya hingga ia mati berkalang tanah.

Hanya saja, perlu kita sadari bahwa konsep adanya pahala dan dosa di dalam Islam itu seringkali disalahpahami. Banyak orang beribadah hanya untuk mendapat pahala, bukan ridla Allah SWT. Sebenarnya pahala itu adalah adalah untuk mengajarkan kepada umat Islam dan manusia umumnya untuk terus berbuat baik dan menyembah Allah SWT.

Bukan pahalanya yang dijadikan fokus perhatian, akan tetapi, sejauhmana sang manusia mau tunduk di depan Allah SWT dengan mengerjakan perbuatan baik. Tidak menjadi soal apakah ada pahala atau tidak, walaupun Allah SWT berjanji akan memberikannya saat perbuatan baik itu dilakukan.

Ada juga di antara kita ada yang menganggap pahala itu untuk menancapkan gengsinya di depan sesama manusia. Ada yang menganggapnya sebagai modal material utama untuk mengkapling-kapling surga. Sehingga jika ada orang yang menurutnya tidak membuat pahala, misalnya ahli maksiat, ia anggap sebagai orang yang tidak berpahala. Karena itu, ia merasa bahwa karena pahalanya banyak, maka ia layak masuk surga.

Ada juga yang mengetahui betapa di dalam Islam itu banyak sekali amal yang pahalanya berlipat-lipat. Lalu secara sengaja ia menghitung-hitung pahala itu berdasarkan berapa kali ia beribadah, dan berapa kali ia beramal.

Hadits yang penulis kutip di atas memaparkan empat amal yang bisa tetap membuahkan pahala kendati pelakunya sudah meninggal dunia.


Pertama, Mati Syahid

Mati syahid adalah kematian yang dicapai seseorang ketika berjuang menegakkan agama Allah SWT. Begitu mulianya mati syahid ini sehingga setiap mukmin pasti mendambakannya. Allah SWT telah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 111: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan surga untuk mereka. Mereka berjuang di jalan Allah lalu membunuh atau terbunuh.

Saat ini, mati syahid kerap disalahmaknakan oleh sebagian kaum muslim yang begitu menggebu semangat beragamanya. Sebenarnya, yang harus dipahami dari konsep mati syahid ini adalah agar setiap muslim itu mengerti bahwa syahid itu maknanya adalah siap berkorban demi sesuatu yang baik, demi orang lain, dan kepentingan bersama.

Artinya, kejiwaan orang yang ingin mati syahid adalah kejiwaan orang-orang yang siap menjadi tumbal demi kepentingan bersama yang baik. Contohnya, orang yang rela mengorbankan dirinya untuk membersihkan tempat tinggal bersama yang kotor berhari-hari dan tidak ada yang mau membersihkannya. Ia melakukannya demi kepentingan semua yang tinggal di sana. Itulah orang yang telah ‘mati syahid’. Memang ia tidak mati, tapi ia telah memiliki jiwa dan karakter orang yang mati syahid.

Itulah ’mati syahid’. Mati syahid seperti ini adalah kemuliaan. Karena pelaksananya mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang lain tanpa merugikan orang lain. Berbeda dengan para pengebom yang mengaku ia syahid. Mereka tidak tahu bahwa perbuatan syahid mereka itu salah. Karena mereka telah merugikan orang lain, merusak tatanan, dan tidak mengindahkan hak hidup orang lain.


Kedua, Mengajarkan Ilmu

Ilmu merupakan salah satu kunci sekaligus bekal seseorang untuk meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ketika kita telah berilmu, kita wajib untuk megajarkannya kepada mereka yang belum berilmu. Sebab ilmu yang tidak diajarkan dan diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.

Bahkan Nabi Muhammad SAW memberikan isyarat kepada orang alim yang tidak mengajarkan ilmunya dengan siksa yang amat berat. Nabi SAW bersabda : seberat-berat siksaan atas manusia pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak memanfaatkan(mengajarkan) ilmunya.

Ilmu yang selalu diajarkan kepada orang lain akan menjadi berkah. Apalagi kalau ilmu itu berhasil membawa pemiliknya atau yang orang yang diajarkan, menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara.


Ketiga, Bersedekah

Allah SWT tidak melarang manusia untuk mencari dan mendapatkan harta duniawi sebanyak mungkin. Namun, harta yang banyak tersebut mempunyai beban untuk dikeluarkan demi kepentingan umat Islam. Sedekah sangat dianjurkan bagi umat Islam khususnya mereka yang dikaruniai oleh Allah SWT rizki yang melimpah.

Sedekah tidak hanya dengan harta benda saja namun bisa dengan berbuat baik dan beribadah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: Setiap ruas tulang manusia wajib bersedekah setiap hari, di mana matahari terbit. Selanjutnya beliau bersabda: Berlaku adil antara dua orang adalah sedekah, membantu seseorang (yang kesulitan menaikkan barang) pada hewan tunggangannya, lalu ia membantu menaikkannya ke atas punggung hewan tunggangannya atau mengangkatkan barang-barangnya adalah sedekah. Rasulullah saw. juga bersabda: Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang dikerahkan menuju salat adalah sedekah dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.


Keempat, Anak yang Saleh dan Salihah

Secara naluri semua manusia pasti menginginkan mendapat anak yang baik, yang salih dan salihah. Seorang penjahat pun tidak menginginkan anaknya menjadi penjahat. Apalagi seorang muslim pasti menginginkan anaknya menjadi seorang yang selalu mendoakan dan mengharumkan nama kedua orang tuanaya.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: jika anak adam meninggal dunia, semua amal ibadahnya terputus, kecuali tiga perkara, yaitu: amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih (salihah) yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.

Keempat perkara itu ibarat tabungan yang akan tetap mengucurkan pahala di saat pemiliknya meninggalkan dunia fana ini. Ia ibarat dana pensiunan yang selalu memberikan kebaikan kendati jasad pemiliknya sudah hancur lebur dimakan cacing, bakteri dan tanah. Semoga kita semua bisa memperoleh empat pahala yang terus mengalir ini. Amin.


*) Oleh: Dwie Abu Taukhid

Aktifis Resimen Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta dan staf pendidik TPA Masjid Jendral Sudirman




Ketagihan Baca?......

Kamis, Maret 27, 2008

Sirah Nabi

Sirah Nabi = Kepala Nabi
{Sirah [bs. Jawa] = Kepala}
*) Oleh: Yasser Arafat


“Lebih tepat jika dikatakan bahwa orang yang “sehat” adalah orang yang selalu bertanya sekaligus selalu menjawab. Ia selalu siap “angkuh” dan meragukan sesuatu, sekaligus siap “rendah hati” dan meyakini sesuatu. Dan, ia berani untuk itu.”
(Miranda Risang Ayu; 1990)


Waktu ngaji dulu, saya pernah diajari guru saya, sebuah mata pelajaran: sirah nabi. Kata guru saya –Allah yarham- sirah itu Bahasa Arab, artinya sejarah. Jadi, sejak saat itulah saya tahu bahwa sirah nabi artinya sejarah nabi. Tapi, kali ini, saya memilih mengartikan sirah bukan sebagai Bahasa Arab, akan tetapi sebagai/dalam Bahasa Jawa. Maka, sirah dalam bahasa Jawa artinya kepala. Sirah nabi artinya kepala nabi.

***

Apa itu kepala? Mengapa kepala setiap orang berbeda bentuknya? Apa jadinya kalau manusia hidup tanpa kepala? Di dunia ini, seorang manusia tanpa kepala –seperti si mata malaikat dalam film Si Buta Dari Gua Hantu- pasti akan ditakuti. Siapapun yang melihatnya, pasti ia akan lari lintang-pukang bersama kencingya yang membeser di celana.
Kepala itu berharga. Jika kepala adalah “nama”, maka William Shakespare juga akan berkata; “apalah arti sebuah kepala”. Kepala juga bisa menjadi ajang bisnis polisi yang menyemprit empunya kepala yang tidak berhelm. Akibatnya, ia pun bisa disuruh untuk merapal rumus kali-kali dalam pasal 4X5= Rp. 20.000.
Kepala itu sakral. Di Indonesia, setiap orang yang memegang kepala orang lain atau melangkahinya dianggap telah utang darah. Itu tidak sopan. Kecuali yang lebih tua memegang kepala yang lebih muda.
Kepala itu wingit. Banyak konflik sosial di Indonesia yang melibatkan kepala. Pada tahun 1999, ketika keributan dan kerusuhan etnis terjadi di Kalimantan, dari media massa saya sering melihat potongan kepala manusia tercecer di tempat umum. Begitu juga hal itu terjadi di beberapa daerah pinggiran Indonesia lainnya.
Kepala itu keramat. Ia sering-kala dipakai beribadah. Sujud pakai kepala. Bahkan salah satu rukun haji adalah mencukur bulu kepala. Hal itu disebut tahallul. Lahirnya seorang bayi yang “tidak bermasalah” ditandai oleh kepalanya yang keluar dari rahim ibunya. Hingga si bayi ditambali nama, beberapa helai bulu kepalanyalah yang dicukur, dengan diiringi senandung salawat.
Kepala itu puncak. Di sekolah, ada istilah kepala sekolah. Di jajaran birokrasi pemerintahan, ada istilah Kepala Polri, Kepala BAPPENAS, dll. Tapi tidak ada istilah Kepala Koruptor.
Kepala itu sehat. Jenis-jenis penyakit banyak yang melibatkan kepala; sakit kepala dan pusing kepala. Ditambah lagi penyakit keras kepala dan kepala batu.
Kepala itu ajaib. Dalam komik-kartun Dragon Ball, manusia Iblis Bhu memakan Sun Go Ku, Sun Go Han, Pikkolo, dan Bezita, dan menelan mereka semua bukan ke dalam perut, akan tetapi ke dalam kepalanya.
Kepala itu lucu. Sewaktu berada di Yogya, pernah suatu kali saya direpet-marahi oleh kawan saya dengan ungkapan –maaf-; endasmu! atau gundulmu! Padahal saya tidak gundul.

***

Itulah fakta-fakta di sekitar sirah/kepala. Sebegitu menumpuknya, hingga bagi saya, kepala itu bukan sekedar fisik/bentuknya. Tapi kepala adalah simbol dari ide, gagasan, logika, rasa, kehormatan, marabat, dan software sekaligus hardware bagi setiap orang.
Jadi, sirah/kepala Nabi yang saya maksud di sini adalah gagasan, logika, alasan, cara berpikir, nalar, rasa, kehormatan, dan background dari semua tindakan, perkataan, dan keseluruhan apa yang ’diproduksi’ oleh Nabi SAW.
Jika sirah yang pertama (Arab) artinya adalah sejarah, maka sirah yang kedua (Jawa) artinya adalah kepala. Nah, kita seringkali berhenti dalam sirah yang pertama; sejarah Nabi. Sirah yang kita tahu adalah sejarah kapan Nabi SAW lahir, memasuki remaja, nikah, beruzlah, berperang, sampai bercocot-cicit di mana, siapa komunikannya, dan apa yang disampaikannya.
Hasilnya adalah berjilid-jilid dan beruas-ruas buku yang terpampang di rak bibliotika. Itulah yang sampai ke tangan kita. Terkadang kita pun hanya membaca dan mengingat-ingatnya sesekali. Hingga kita hanya menangkap tahun-tanggalnya. Kita hanya mengunyah nama besar tokohnya. Kita pun hanya mendelikkan mata pada kisah magis-mistis-aneh yang terjadi dengan Nabi Muhammad SAW.
Bagi saya, bukan hanya tahun-tanggalnya yang kita mau catat, bukan hanya jejak-jejak fisik langkah dan peristiwanya yang kita napak-tilasi, dan bukan pula hanya siapa-siapa tokoh yang hidup di masa itu yang mau kita tiru-contoh. Tapi sirahnya. ’Kepala’nya, alias sistem gagasannya, idenya, logikanya, alasannya, rasanya, dan ’mengapa’ semua itu terjadi.
Dalam istilah ilmu keislaman, ’kepala/sirah’ itu bisa disebut asbaabun nuzuul atau asbaabul wuruud-nya setiap peristiwa sejarah yang dialami Nabi SAW, orang-orang yang hidup di sekelilingnya, budayanya, dan peradabannya.
Tentu ’kepala’ itu tidak mudah dilihat dan dibaca secara fisik. Karena ’sirah’ itu, adalah sesuatu yang maujud secara tersirat. Sekalipun ia tersurat, ia jarang sekali diungkap.

***

Saya kira itulah mengapa kepala itu begitu penting-genting, suci-sakral, utama-awal. Bukan kepala dalam arti fisiknya yang terkadang bulat, lonjong, peyang, dan petak. Akan tetapi isi kepala itu. Gumpalan ide-idenya, logikanya. Sistem berpikirnya. Rasanya, yang semuanya itu menjadi landasan gerak dakwah dan aktifitas Nabi SAW. Itulah yang alur-aras-urus-aras yang harus kita praksiskan dalam tumpangan senafas hidup ini.
Penjelasan tentang adanya ’sirah/kepala’ itu, yang paling sederhana bisa dicermati dalam kasus larangan untuk berbohong. Kenapa beliau SAW sampai mengeluarkan larangan berbohong? Di balik itu ada logikanya, ada sistem berpikirnya, dan alur-latar sejarahnya mengapa Muhammad SAW sampai berani ber-hadits dengan isi yang seperti itu.
Bisa jadi waktu itu Muhammad SAW pernah dibohongi, atau yang sedang mendengar larangan itu memang suka berbohong. Jika pendengarnya sudah sampai pada level ’bersih’ dari kebohongan, maka saat itu pasti Nabi SAW tidak mengeluarkan larangan berbohong, akan tetapi perintah untuk menjaga konsistensi kejujuran (istiqomah).
Ini yang saya maksud dengan sirah/kepala itu. Begitu juga yang harus kita lakukan atas sejarah peradaban Islam yang berjalan kemudian pasca Muhammad SAW > Khulafaurrasyidin > Dinasti Umayyah > Dinasti Abbasiyah di Andalus yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia > Dinasti Umayyah di Cordoba, Spanyol > Dinasti Fathimiyah di Mesir > hingga kejatuhan khilafah Turki Utsmani di Turki pada bulan April 1924.
Sejarah dunia mencatat betapa banyak inovasi, eksperimentasi dan pengembangan kontributif umat Islam dalam masa-masa itu bagi tegaknya kemanusiaan. Tapi ingat, bukan keagungan, kesohoran, ataupun kebanggaan peradaban itu yang kita rapalkan, wiridkan, kita kutip, lalu kita promosikan sebagai bukti kejumawaan kita.
Akan tetapi sebab musababnya, sistem berpikirnya dan logika mengapa orang-orang yang hidup pada masa itu mampu meracik ramuan untuk membangun peradaban sedemikiran rupa besarnya.
Dus, jangan lupa mengakui bahwa sepanjang sejarahnya, peradaban politik-kebudayaan Islam selalu saja terselip di dalamnya awal yang dimulai dengan kecurangan-kecurangan dan puzzle intrak-intrik yang rumit. Ingatlah saat Mu’awiyah bin Abu Sufyan merebut kepemimpinan dari Ali ibn Abi Thalib KW.

***

Itulah sirah. Itulah kepala. Bagaimana supaya sirah itu terus terjaga, berlangsung, dan dapat kita baca, pakai, dan amalkan? Salah satu caranya adalah apa yang diungkapkan mba’ Miranda di atas.
Mengapa? Karena semua Nabi adalah manusia biasa yang juga pergi ke pasar seperti kita. Allah SWT berfirman dalam QS: 25: 20:“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka makan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain”.
Sekian. Wallahu a’lam bil-sirah nabi/kepala nabi.

*) Yasser Arafat
Pembaca http://mjskolombo.blogspot.com/, tinggal di Medan

Ketagihan Baca?......

Senin, Maret 10, 2008

Islam Kita Hari Ini


Apa Kabar Islam Kita?
*) Oleh: Yasser Arafat


Katakanlah: Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: Bahwasannya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka apakah kamu berserah diri (kepada-Nya)?
(QS: 21: 108)


Saat ini banyak di antara umat Islam yang meyakini bahwa menjadi seorang muslim itu cukup hanya dengan membersihkan hati, plus sesekali mengikuti training-training kesalehan. Ada yang meyakini bahwa menjadi seorang muslim juga harus mampu membongkar tafsir teks suci dan mematutkannya dengan perkembangan peradaban.
Bagi para politisi, membentuk parpol Islam dengan basis massa dan kader yang disupport dari ormas Islam dan disusupkan ke masjid-masjid, adalah jalan lurus menuju kesempurnaan Islam. Lalu mereka duduk di parlemen dengan gaji tinggi plus aneka tunjangan tanpa harus pusing dengan kebijakan negara yang sering membuat kebijakan seenaknya.
Ada juga yang mengimani bahwa tidak sempurna keimanan seseorang jika tidak menonton kontes dakwah berikut mengirim dukungan SMS, atau menonton tayangan religius (mistycotainment) yang memvisualisasi azab Tuhan, neraka, dan setan dengan sangat konyol dan tolol. Selain itu, ada yang meyakini bahwa memakai jilbab dan baju koko gaul yang masuk rekor MURI, berbelanja makanan dan produk kecantikan berlabel halal di supermarket berinisial ke-arab-araban, juga merupakan kesempurnaan Islam.

Siapa yang (lebih) Sesat?
Itu semua bukan fiksi. Beberapa tahun ke depan, umat Islam Indonesia mungkin telah tidak lagi mengenal Islam sebagai agama yang mengatur setiap aspek kehidupan makhluk hidup di dunia ini. Sebab kebanyakan umat -dengan cara ber-Islamnya masing-masing- telah sibuk mengurusi hal-hal yang tidak jelas dan mubazir seperti di atas.
Bahkan baru-baru ini, umat disibukkan untuk merayakan hari-harinya dengan menertawai dan menghujat aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Sebuah kasus yang tidak jelas; sebentar sesat, sebentar tobat, besok muncul lagi, sesat lagi, lalu tobat lagi, dan begitu seterusnya.
Mengapa? Karena di Indonesia ini, hampir setiap tahun kita disapa oleh aliran-aliran baru yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang. Sejak dulu ada aliran ini, lalu aliran itu, kemudian aliran anu. Lalu ada aliran baru lagi, kemudian sekarang ada aliran ini lagi, dan besok pasti akan ada aliran itu lagi.
Wah, bosan! Tidakkah kita menyadari bahwa fakta itu menyimpulkan bahwa semuanya tidak lebih hanya sendratari, sinetron picisan, atau proyek yang sengaja disutradarai oleh pihak tertentu untuk memecah belah perhatian umat di Indonesia.
Cobalah kita sadari, kala kita sibuk mengurusi aliran sesat yang tiba-tiba booming, pada saat yang sama pula pandangan kita (di)buta(kan) dari kasus yang lebih mengerikan dan lebih sesat!
Tahukah kita bahwa pada saat yang sama, harga BBM di tingkat dunia telah naik menjadi 100 Dollar AS per Barel yang menyebabkan pemerintah membatasi warganya untuk mengkonsumsi BBM. Hutan kita telah dibabat secara liar dan pelakunya justru dibebaskan oleh hukum. Korupsi yang terbongkar di BI, TKI yang dibunuh dan dipulangkan, akan disahkannya RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan), semakin maraknya pembangunan supermarket, tercemarnya laut kita yang diakibatkan oleh limbah industri perusahaan asing, korban lumpur Lapindo yang dicuekin, serta masih banyaknya rakyat Indonesia yang makan nasi aking setiap harinya!
Anehnya, mengapa justru hanya orang yang mengaku nabi atau malaikat saja yang diberi fatwa sesat oleh MUI? Tidakkah aktor-aktor (baca: pemerintah) yang dua tahun lalu telah menaikkan harga BBM itu juga sama sesatnya? Bukankah menaikkan harga BBM itu lebih cepat membunuh daripada hanya mengaku menjadi nabi?
Tidakkah mengkomersialkan lembaga pendidikan itu bukan merupakan perbuatan yang sesat? Tidakkah membangun supermarket yang menyebabkan generasi kita lebih sering berbelanja daripada belajar dan beribadah ke masjid, merupakan pekerjaan sesat?
Tidakkah orang-orang yang menebang hutan secara liar lalu bebas, mendirikan industri yang mencemari lautan, dan menyebabkan perang saudara sebangsa dan setanahair (ingat kasus PT Freeport di Papua!), juga merupakan perbuatan sesat? Tidakkah mengeksploitasi perut bumi yang menyebabkan membanjirnya lumpur hingga satu kecamatan tergusur sama sesatnya dengan mengaku nabi?

Memahami Tauhid
Kalau memberantas aliran sesat itu adalah ajaran tauhid, bukankah memberantas dan melawan pemimpin yang menaikkan harga BBM dan mengkomersilkan pendidikan, membabat hutan, mencemari lautan, dan menghukum pemilik perusahaan yang menelantarkan korban lumpur dan sebagainya, juga merupakan ajaran tauhid? Mengapa tauhid hanya kita pahami cuma dalam urusan aliran sesat?
Itulah bukti bahwa sejak awal kita beragama, memang kita telah ter(di)sekulerkan! Seolah-olah tauhid itu hanya iman kepada Tuhan, Nabi, Malaikat dan lainnya. Jika ada yang mengaku menjadi nabi, maka itulah yang telah melakukan pebuatan syirik! Hemat saya, pemahaman tauhid seperti ini justru salah kaprah!
Bukankah tauhid juga berarti kita meyakini bahwa Allah SWT pasti murka atas mereka yang menaikkan harga BBM dan bahan pokok lainnya? Apakah kita tidak yakin kalau Allah SWT pasti marah melihat umatnya yang mengkomersialisasikan pendidikan seenaknya, membalak hutan, dan menelantarkan korban lumpur?
Apakah kita tidak percaya bahwa perang saudara-sebangsa karena sebuah perusahaan asing yang tidak peduli nasib penduduk pribumi pasti dilarang Allah SWT? Apa kita juga tidak sadar, kalau supermarket dan mall yang ramai berdiri itu akan lebih ramai dari masjid? Apakah kita tidak sadar kalau itu semua adalah syirik!!??


Agama yang Dimanipulasi
Itulah agama kita yang telah dimanipulasi oleh pasar, proyek ekonomi politik, epistem komersial, industri media, gejolak ereksi politik, sekularisasi, dan pemahaman dangkal atas tauhid. Itulah bukti bahwa kita –terlebih lagi saya- ini masih bodoh!
Bagi saya, gejala yang akut itu merupakan tindakan di ruang sadar kita yang telah disusupi oleh sistem kehidupan yang rusak. Belum lagi di segala penjuru, kapitalisme telah menunggu untuk mengaduk-aduk kita hingga kita pun hidup di dalam sistem kehidupan yang terintegrasi dengan motif ekonomi dan bandrol pasar.
Islam atau agama pada umumnya pun hidup di bawah hukum senang-senang, belanja, hedonisme, egoisme, dan amat rentan oleh manipulasi industri, politik, budaya, dan agregasi kepentingan. Islam dijadikan komoditi dalam transaksi perdagangan agama di pasar kepentingan ekonomi-politik. Tokoh-tokoh agama pun beralih profesi menjadi bintang iklan komersial, harus dibayar mahal, dan di saat-saat tertentu sang tokoh pun menjadi –meminjam Pierre Bordieu- tangan represif negara.
Akibatnya, Islam menjadi kabur kita pahami, dan realitas ini menjadi semu untuk kita telisik lebih dalam. Hingga ayat-ayat Tuhan di alam semesta ini bersembunyi!

Di Mana (Islam) Kita?
Umat menjadi pikun, egois, dan (di)lupa(kan) akan dunianya yang sekarat. Padahal di dunia itu ada; ribuan jiwa kekurangan gizi dan menderita busung lapar, kerusakan hutan, pencemaran lautan, pembunuhan TKI/TKW, illegal logging, komersialisasi pendidikan dan rumah sakit, birokrasi yang korup, serta pemerintah yang semakin menyengsarakan rakyat.
Saat TKI dibunuh, saat harga BBM dinaikkan, saat pendidikan dan rumah sakit semakin (di)mahal(kan), saat negara membuat kebijakan yang pro pasar, saat korupsi membuana, di manakah para alumni training kesalehan dan pemenang kontes dakwah itu? Mana mereka yang membongkar teks suci dan elit muslim yang menjadi representasi umat di parlemen? Mana para ulama yang sering mengeluarkan fatwa sesat? Lebih penting lagi, di manakah saya?
Selain cuap-cuap kosong dan solidaritas komersial, sepotong hilah pun tak hasil kita bentuk. Kaum intelektual asyik dengan proyek lembaga donor, ormas Islam hanya sibuk menggelar pertemuan, dan wakil rakyat gemar bagi-bagi kekuasaan!
Semua itu terjadi bukan karena kita dosa dan kotornya hati kita, bukan karena kita kurang didakwahi, bukan pula karena teks suci yang belum dibongkar, dan bukan pula karena iblis yang terus menghasut!
Tetapi tak lebih karena di sana ada sistem yang mem(di)buat segalanya menjadi korup. Hingga kita pun (di)lupa(kan) bahwa; mengaku sebagai nabi dan menaikkan harga BBM itu hukumnya sama-sama sesat! Itulah tanah-air kita yang sudah berurat-akar dan telah ratusan tahun kita bentuk. Wallahu a’lam bil-Apa Kabar Islam Kita?


*) Yasser Arafat
Penulis adalah Pimred Bulletin Jum’at “Jendral Sudirman” Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, Alumnus Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Sabtu, Maret 08, 2008

Islam Lampu Merah

Islam di Persimpangan Lampu Merah
*) Oleh: Ahmad Sahide

Tulisan pendek nan remeh ini merupakan rasa terima kasih saya kepada penulis besar di negeri seribu masalah ini, yaitu Jalaluddin Rakhmat atau yang akrab kita sapa dengan panggilan; Kang Jalal. Salah satu buku tokoh asal Bandung tersebut yang saya kagumi adalah buku berjudul Islam Alternatif.
Kang Jalal dalam buku tersebut banyak memotret realitas Islam dari sisi yang remeh namun sangat dekat dengan dunia-kehidupan keseharian kita. Beliau mengatakan bahwa seorang intelektual adalah orang yang mampu membaca hal-hal yang terkecil di lingkungannya lalu memberikan respon atau solusi di sana. Hemat saya, hal kecil, remeh, dan sering dikesampingkan oleh kita semua, dan yang salah satunya harus kita potret saat ini adalah apa yang menjadi judul tulisan ini; Islam di persimpangan lampu merah.

Lampu Merah dan Islam?
Setiap saya keluar mengendarai sepeda motor, baik itu sendiri maupun beramai-ramai, seringkali saya menyaksikan para pengendara kendaraan tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas (lampu merah). Teman saya sendiri pun terkadang melakukan hal tersebut. Marilah kita renungkan relitas itu. Kenapa ia bisa terjadi? Apa motifnya serta bagaimana Islam memandang hal itu?
Allah berfirman dalam QS: 67: 3-4: Artinya:
“maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah”
Marilah fenomena itu kita lihat berulang-ulang dan kita pertanyakan. Seandainya pelanggar lampu merah tersebut kita tanyai: apakah melanggar rambu lalu lintas itu ada kaitannya dengan Islam? Bagaimanakah jawaban mereka?
Terbayang dalam pikiran saya bahwa mungkin bagi mereka -dan bahkan kita semua menganggap- bahwa pelanggaran tersebut tidak ada hubungannya dengan agama (Islam). Begitu juga dengan mematuhinya.
Bagi mereka dan kita, mungkin akan terdetak sebuah keyakinan kolektif bahwa mau melanggar atau tidak itu bukan urusan Islam, apalagi urusan Tuhan. Karena di dalam Alquran pun tidak ada tertera ajaran untuk membuat lampu merah. Karena itu kita pun seolah tidak mau tahu apa itu lampu hijau, kuning, dan merah yang menyala yang telah terpasang di perempatan jalan. Tapi ini urusannya dengan bapak polisi yang sering melakukan kekerasan kepada rakyat kecil. Karena bapak polisi sering menindas, memeras, atau sering melakukan tindakan sesemprit dua puluh ribu. Maka kiranya setimpal kalau para pengemudi kendaraan tidak mematuhi aturannya.

Pembangkangan sesama
Kita tentu tidak bisa menyalahkan sepenuhnya logika tersebut. Karena pelanggaran itu bisa dimaknai sebagai wujud pemberontakan terhadap aparat yang sering lalai dengan tugasnya sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Namun, pernahkah kita - bagi yang sering melanggar lampu merah- berpikir lebih jauh apa dampak dari pelanggaran lampu merah itu? Bukankah itu sebuah tindakan egois? Apa efek dari egoisme kita yang selalu nyelonong saat lampu merah di perempatan jalan sedang berkedip?
Hemat penulis, pelanggaran itu merupakan satu tindakan pembangkangan kita terhadap sesama kita. Pembangkangan yang dibangun di atas nafsu, dikuatkan egoisme jiwa, dan ditembok keacuhan sosial kita.
Penulis sering melihat dan bahkan mengalami sendiri akibatnya. Karena ulah pembangkangan egoistis itu jalan menjadi macet, polusi memuncak, berisik membahana, keresahan selalu datang mengancam, kecelakaan menghantui, dan bensin pun habis –dan harga BBM sekarang amat mahal!
Karena ulah itu, banyak orang terlambat masuk kantor, banyak orang yang merasa dirugikan, banyak orang yang lalai dari tanggung jawabnya, dan lain sebagainya. Tentu ini tanpa bermaksud membesar-besarkan masalah. Ini seringkali terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Yogyakarta.
Dampak dari keegoisan itulah yang akan kita lihat dengan menggunakan kaca mata agama. Memahami Islam, dengan menggunakan pendekatan bahasa, mempunyai asal kata ‘aslama’ yang berarti keselamatan, kedamaian dan ketentraman. Jadi Islam adalah agama yang membawa keselamatan, kedamaian dan ketentraman bagi umatnya dan seluruh alam (rahmatan lil’alamiin).
Ini dapat dimaknai bahwa orang yang ber-Islam itu terwujud dalam bagaimana ia bersikap dan berperilaku setiap harinya dengan mengedepankan keselamatan, kedamaian, dan ketentraman bagi dirinya dan sesama.
Pesan yang bisa kita tangkap melalui penuturan singkat ini adalah bahwa Islam jangan terlalu sempit untuk dimaknai hanya sebatas ritual (Salat, Puasa) kepada sang khaliq. Bisa jadi di satu sisi kita salat tepat-waktu atau puasa tepat-hari, namun, di sisi lain kita mungkin tidak pernah mencoba melebarkan makna dan menemukan Islam di persimpangan lampu merah.
Muhammad Abduh, seorang ulama Mesir suatu ketika menyempatkan diri berkunjung ke London. Setiba di negeri yang sekuler dan berpenduduk mayoritas non-muslim itu, beliau meyakini bahwa Islam tidak dapat ditemukan di Mesir yang hampir seratus persen penduduknya muslim. Justru di London lah Islam bisa kita temukan. Ceritanya juga dari lampu merah di mana beliau melihat orang-orangnya patuh, disiplin, ramah, dan tidak egois.
Bagi kita umat Islam, marilah kita lihat agama kita ini yang sedari awal telah sarat dengan ajaran untuk disiplin, peduli sesama, dan tidak merugikan sistem kehidupan. Bukankah salat lima waktu sehari semalam itu mengajarkan kedisiplinan dan puasa mengajarkan untuk jauh dari keegoisan?
Saya tidak punya otoritas untuk menjustifikasi apakah saat kita melanggar lampu merah, ini berarti bahwa Islam kita patut dipertanyakan. Tapi paling tidak ini menjadi bahan refleksi bagi kita semua selaku umat Islam. Islamkah kita saat kita berada di luar masjid? Jawab sendiri!

*) Ahmad Sahide
Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal di Gamping

Ketagihan Baca?......

Rabu, Maret 05, 2008

Pahlawan Kesiangan

Menjadi Pahlawan Tanpa Kesiangan: Refleksi Hari Pahlawan
*) Oleh: Ihab Habudin

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.”
(QS. 22: 78)

Tiga bulan pasca kemerdekaan, tepatnya tanggal 10 November 1945, di Surabaya, para pejuang bangsa kembali berperang. ‘Berani-nekad’ demi terciptanya kehidupan yang bebas dari kezaliman adalah modal mereka. Miskinnya pengalaman dan minimnya senjata bukanlah penghalang. Benak mereka hanya dihuni dua kata; merdeka atau mati. Hasilnya, penjajah berhasil diusir.
Sungguh peristiwa penting. Terlebih, sejarah mengatakan bahwa arek-arek Surabaya yang menjadi pelopor perjuangan tersebut banyak yang berasal dari kaum santri. Inilah yang harus kita lihat, bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai agama doktrinal yang hanya mengatur kesalehan individual saja, melainkan sebagai spirit pembebasan untuk melawan penjajahan. Islam tidak hanya diinsyafi untuk memenuhi spiritualitas pribadi saja, melainkan sebagai landasan untuk membela sesama (baca: rahmatan lil ‘alamin).
Jadilah keberanian berjuang dan berkorban -yang adalah jiwa pahlawan- juga merupakan bagian dari nilai substantif ajaran Islam. Ayat yang penulis kutip di atas merupakan sebagian kecil ajaran Islam yang menandaskan pentingnya perjuangan dan pengorbanan. Ada sebuah hadits semakna yang artinya berbunyi: “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika tidak mampu maka hendaklah merubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu (juga), maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Allah SWT juga berfirman dalam QS: 3: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”

Disorientasi Makna
Fakta di atas dapat kita maknai bahwa sejatinya manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki etos kepahlawanan yang terintegrasi dalam dirinya, keberanian untuk menegakkan kebaikan, dan kelurusan dalam menumpas segala bentuk kemungkaran. Itulah peran sentral manusia di muka bumi ini, yaitu; sebagai khalifah (QS: 2:38).
Namun sayang, kini kita banyak menjumpai masing-masing dari kita kering-kerontang akan etos kepahlawanan ini. Bahkan, dalam hidup berbangsa dan bernegara, kita mengalami disorientasi makna kepahlawanan. Kemampuan untuk berkorban dan keikhlasan berjuang di jalan yang benar sering diposisikan dalam tempat yang salah. Keberanian tidak tampak dalam menegakkan keadilan dan membabat habis tindak kejahatan. Malah sebaliknya, yang kerap tampak dari diri kita adalah keberanian berbuat noda dan dosa.
Banyak dari kita yang tanpa tanggung jawab mengeksploitasi alam secara besar-besaran, tanpa rasa malu mengkorupsi uang rakyat, tanpa sadar dilihat sang pencipta nyaman dengan budaya foya-foya (hedonisme) dan menumpuk harta, tanpa rasa risih melanggengkan budaya konflik dan kekerasan, dan masih banyak lagi.

Mau jadi pahlawan kesiangan?
Akibatnya kita semua seolah telah menjadi pahlawan kesiangan. Karena untuk berkorban saja masih banyak di antara kita yang menempatkannya di ruang yang salah. Kita baru mau memberi sedikit derma pada kaum papa, korban bencana, rakyat miskin dan kaum tertindas, bila di sana kepentingan pribadi dan golongan kita bisa (ter)dipenuhi. Kita baru ‘berlomba dalam kebaikan’ bila musibah dan bencana telah menerpa. Kita juga hanya bersedia mengulurkan tangan hanya sebagai bagian dari ritual saja. Seolah-olah berbuat kebaikan itu hanya dianjurkan pada saat dan waktu tertentu saja. Tentu demi kepentingan tertentu pula. Inilah yang penulis sebut sebagai etos pahlawan yang kesiangan. Ia tidak tahu kalau ia kesiangan, dan tidak sadar kalau hari sudah siang. Ah, betapa malunya menjadi hamba Tuhan yang seperti ini.
Fenomena membanjirnya bantuan untuk korban bencana dan membludaknya zakat harta hanya pada bulan Ramadlan saja menjadi bukti yang tak terelakkan. Faktanya, setelah bencana berlalu dan Ramadlan lewat siapa lagi yang berani berjuang dan berkorban membantu kaum miskin dan terpinggirkan? Sangat minimalis.
Padahal berjuang dan berkorban di jalan Allah tidak terikat ruang dan waktu. Tidak hanya setelah bencana dan musibah menerpa. Tidak hanya pada bulan Ramadlan dan hari-hari suci lainnya. Tidak terikat kepentingan pribadi dan golongan, dan tidak pula karena ingin dipuji mesti perbuatan baik itu untuk kepentingan umat.
Bukankah Rasulullah SAW mengabdikan seluruh hidupnya untuk berjuang dan berkorban? Apa yang dilakukan beliau tersebut semata-mata demi cinta kepada Allah SWT dan umatnya. Hingga menjelang wafat pun beliau masih mengingat nasib umatnya. Hal ini menandakan bahwa apa yang dilakukannya jauh dari hanya sekedar membela kepentingan pribadi dan golongan, dan tidak terbatas hanya pada waktu tertentu.
Maka, perlulah kini kita merefleksikan diri dan menerapkan apa yang menjadi tanggung jawab kita sebagai khalifah di muka bumi ini; berjuang bersungguh-sungguh (baca: berjihad) dan berkorban, apapun ideologi, ormas, partai, mazhab, bahkan agama kita. Karena kita semua adalah manusia yang bertugas memakmurkan dunia lewat medium berjuang dan berkorban. Berjuang dan berkorban haruslah tanpa pamrih dan bebas gravitasi kepentingan demi terciptanya kehidupan yang lebih manusiawi. Itulah etos kepahlawanan. Jadi, masihkah kita mau menjadi pahlawan kesiangan? Wallahu a’lam.

*) Ihab Habudin
Ketua Bidang Kajian Strategis [Kastrat] HMI MPO Cabang Yogyakarta, tinggal di Karangkajen

Ketagihan Baca?......

Jumat, Februari 01, 2008

Perlunya Agama

Tuhan, Ilmu, dan Makna Agama
*) Khoirul Anwar

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(QS: 30: 30)

Pada era industri ini, pendangkalan keyakinan manusia akan Tuhan semakin tampak nyata di depan mata. Kemajuan ilmu dan teknologi yang ditandai dengan kemampuan akal (rasionalitas), kepercayaan atas realitas faktual (empirisme), dan semangat eksperimentasi, telah melahirkan kemerdekaan manusia untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.

Dua Gejala
Setidaknya, hemat penulis, ada dua gejala besar yang bisa kita tandai dari kasus kebebasan manusia untuk lari dari Tuhan ini.
Pertama, gejala yang tampak dari mereka yang terang-terangan tidak beriman dan tidak “peduli” pada Tuhan. Realitas dunia ini mereka serap dan susun hanya sekedar untuk memenuhi kemampuan dan kepentingan mereka baik sebagai konglomerat, filosof, ilmuwan, dan lain sebagainya. Inilah titik kemunculan anggapan bahwa tugas orang yang berakal (rasional), ilmiah, kaya, dan teremansipasi, adalah untuk membunuh Tuhan.
Kedua, gejala itu tampak dari mereka yang mengaku beriman pada Tuhan. Namun, Tuhan telah mereka lupakan dan campakkan dalam lakon kehidupan sehari-hari yang mereka jalani atas dasar hawa nafsu, kepentingan, dan keinginan untuk menjadi penguasa atas manusia lainnya. Mereka pun korupsi, berambisi pribadi, menghancurkan alam, dan merusak tatanan sosial.
Dua gejala besar yang akut itu telah menjangkiti semua manusia. Termasuk orang-orang muslim yang beriman pada Allah SWT, yang shalat lima kali sehari, yang berhaji setiap tahun, yang rutin berzakat, dan yang begitu tampak saleh di depan publik.
Pertanyaannya, apakah dengan menyingkirkan Tuhan, mereka dan bahkan kita semua mampu memberikan “obat” untuk menyembuhkan penyakit kehidupan modern ini? Apakah saat nafsu dan kepentingan menjadi landasan hidup telah kita praktekkan, lantas ketakutan-ketakutan kita jadi hilang?

Ilmu: Kehilangan Arah
Kegalauan masyarakat bukannya berkurang, akan tetapi semakin parah. Berkat kemajuan buah pikir cemerlang teknologi dan sains lainnya, manusia semakin mudah untuk saling memusnahkan satu sama lain. Modus operandi kejahatan semakin rapi, kerusakan moral semakin tak terbendung, penindasan sesama manusia bertambah pinak.
Sains dan teknologi telah kehilangan arah tujuan semulanya sebagai alat untuk memakmurkan dunia. Kecanggihan teknologi hanya menjadi malapetaka bilamana para pemegangnya tak bermoral.
Hal ini menunjukkan adanya sikap manusia yang mencabut roh ketuhanan. Padahal, kemajuan teknologi tanpa didukung nilai-nilai ke-Tuhan-an tak ubahnya seperti orang buta yang dipegangi pedang dan ngawur menggunakannya.
Ilmu pengetahuan yang semula oleh Allah diturunkan agar manusia bisa menemukan jati diri dan keberadaan Tuhannya (sangkan paraning dumadi), kini malah sebaliknya. Ilmu pengetahuan yang kita miliki semakin menjauhkan diri kita dari Tuhan.
Seperti yang dikatakan TS Eliot, semakin hari ilmu pengetahuan hanya membawa kita kepada kebodohan. Sedangkan kebodohan kita, membawa kita semakin dekat kepada kematian. Anehnya, walaupun semakin dekat dengan kematian, mengapa kita malah bertambah jauh dari Tuhan.
Begitulah, jika Tuhan dijauhkan dari hidup ini. Pandangan kita hanya dijejali oleh keinginan bagaimana memuaskan hawa nafsu, ambisi, materi, dan kepentingan sesaat semata. Kita pun diperbudak oleh benda-benda mati yang seharusnya kita kendalikan.

Hanif: Agama Sebagai Sistem
Firman Allah SWT di atas menjelaskan bahwa agama merupakan kebutuhan. Kalau boleh dikatakan, agama adalah roh manusia yang bisa membuat manusia hidup dan bersemangat dalam mengarungi ganasnya kehidupan.
Sudah menjadi tabiat manusia bila ada masalah di luar kemampuannya, mereka akan mencari penolong yang dianggap memiliki kekuatan di atas segala kekuatan untuk dimintai pertolongan (QS:17:83). Pemilik kekuatan linuwih inilah yang dinamakan “Tuhan”.
Sudah menjadi fitrah bila manusia merindukan Tuhan. Ini semua tak lepas dari kejadian awal manusia yang suci, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari, dan menemukan Tuhan. Itulah ajaran yang disebut hanif.
Melalui kehanifan ini, manusia berusaha mencari kebahagiaan hakiki yang akan tercapai bila manusia mampu menemukan kesejatian (ma’rifat) Tuhan (QS:89:27-30).
Untuk itu, kita memerlukan sebuah sistem hanif yang akan menghantarkan kita tepat pada sasarannya. Sistem inilah yang kita sebut dengan agama.
Agama dipandang sebagai cara atau sarana untuk menemukan kebutuhan dambaan manusia. Walaupun, di abad modern ini, ada yang percaya bahwa agama akan segera tergantikan oleh ilmu pengetahuan.
Namun, kini setelah kemajuan besar tercapai oleh pengetahuan, manusia tetap merasakan adanya kebutuhan terhadap agama berkenaan dengan bagaimana manusia meraih kebahagiaan pribadi dan sosialnya.
Tuhan adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia. Hal ini didasari oleh sifat manusia yang ingin memenuhi kebutuhan spiritualnya tanpa batas, ingin melepaskan diri dari wujud terbatas, dan ingin mencapai inti wujud (Tuhan).
Pada diri manusia terdapat dorongan dan dambaan yang tidak akan menetap, tenang dan tentram, kecuali jika telah berhubungan dengan sumber inti wujud ini (Tuhan).
Tanpa Tuhan, politik dan moralitas akan menjadi pragmatik dan licik, jiwa-jiwa mendadak gersang, bencana pun semakin mengerikan.

Agama Sebagai Sarana
Tetapi, yang perlu dicatat saat ini adalah agar agama tetap berada dalam fitrahnya, yakni sebagai kebutuhan pokok manusia dan tidak dianggap sebagai “opium”. Maka tugas kita adalah bagaimana menerjemahkan (memaknai) agama itu sendiri dalam bentuk praktek membuat kebaikan bagi alam semesta (hamemayu hayuning bawono) dalam kehidupan sehari-hari (QS:21:107).
Hal ini penting, agar agama itu tidak kita pandang hanya sekedar ritual rutin yang bisa menyebabkan kita menganggap diri kita ini paling saleh setelah menjalankannya. Jika kita masih seperti itu, mungkin itulah agama yang disebut candu. Wajar, kalau manusia modern pun akan semakin sanksi dan pada akhirnya akan menciptakan agama (aliran-aliran) baru bahkan Tuhan baru.
Jadi, memaknai agama dengan sebenarnya adalah keharusan bagi setiap umat beragama supaya agama benar-benar menjadi suatu kebutuhan manusia yang hanif tersebut. Sehingga keberadaan agama tetap langgeng dan tak tergantikan oleh paham-paham sesat lainya.
Agama bukanlah ”berhala” yang harus disembah. Agama hanyalah sebuah sarana menuju keesaan Allah SWT. Marilah kita hitung, berapa banyak di antara kita yang lebih beriman pada agamanya daripada beriman pada Allah SWT? Wallahu a’lam.

*) Khoirul Anwar
Warga Komplek Masjid Baiturrahman Gowok Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Terminal Cahaya

Menuju ’Terminal Cahaya’
*) Oleh: Muhammad Mufid

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: AKU hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah KAU hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji dan mensucikan-Mu. DIA berfirman, Sungguh AKU mengetahui apa yang tidak kamu ketahui
(QS:2:30)

Mungkin kita jenuh menyaksikan bangsa Indonesia yang carut-marut ini. Berbagai ujian datang silih berganti. Seperti bencana alam (banjir, tanah longsor, abrasi dan erosi), busung lapar, pembunuhan, teror bom, hingga gejolak dan kerusuhan di penjuru nusantara.
Puluhan, ratusan bahkan ribuan nyawa telah melayang. Kiamat shughra (kecil) ini seharusnya menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi bangsa Indonesia. Kita yang masih dapat menikmati indahnya kehidupan seharusnya sadar bahwa masih banyak nikmat Allah SWT yang tak terhitung nilainya telah melalaikan kita dari-Nya.
Negara Indonesia mayoritas berpenduduk muslim. Tetapi penyimpangan sosial dari level tertinggi hingga tingkat RT/RW selalu terjadi. Dengan label Islam, segala aktifitas yang berorientasi pada egoisme pribadi dan kelompok seakan-akan menjadi sah.
Ketika rakyat kecil tertimpa bencana dan kenaikan harga-harga seperti saat ini, ketika itu pula para pejabat bermewah-mewah dan minta naik gaji. Malah persoalan kenaikan harga yang menjulang tinggi, kalah oleh persoalan sakitnya seorang mantan presiden. Jelas, kondisi ini semakin menambah catatan buruk para malaikat di atas sana.
Sayang, kondisi kerusakan seperti ini semakin hari kian meningkat drastis. Akankah Allah SWT mengampuni? Coba kita renungkan, jika seluruh bumi Indonesia ditimpa bencana dan kenaikan harga-harga bahan pokok semakin menjadi-jadi, masihkah kita sempat menanyakan di manakah Tuhan yang maha pengasih dan penyayang itu? Manakah Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta itu?
Masih pantaskah kita mendapatkan predikat “pangeran” atau khalifatullah fil-ardhi? Jangan-jangan, para malaikatlah yang benar; bahwa manusia kelak akan menjadi perusak (trouble maker) di muka bumi ini.

Kelupaan Sejarah
Allah SWT tidak membiarkan manusia diturunkan ke bumi begitu saja tanpa bekal. Hak istimewa berupa predikat khalifatullah fil-ardhi telah dilabelkan kepada manusia sebagai makhluk tertinggi dibandingkan makhluk lain.
Pada prinsipnya, manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain sebagai makhluk ‘abdiyah (hamba-Nya) dan khalifiah (pangeran di muka bumi). ‘Abdiyah tidak hanya dimaknai sebatas menjadi hamba yang berserah diri (surrender) dan taat (obedience) melaksanakan ibadah tanpa ada usaha sedikit pun (QS:51:56).
Tetapi, ia memiliki beragam potensi yang menjadi bekal untuk survive mengemban amanah-Nya di muka bumi. Mengenai potensi ini, setiap manusia dikaruniai tiga potensi dasar.
Pertama, ruh. Ruh tercipta di alam ruh dan diberikan potensi ilahiyah-tauhidiyah. Kemudian manusia mengadakan kontrak perjanjian dengan Tuhannya, dan dia bersaksi bahwa Allah SWT adalah Tuhannya (QS:7:172). Di alam ruh ini, nilai-nilai yang bersumber dari asmaul husna ditransfer dalam bentuk potensi ‘abdiyah dan khalifiah.
Kedua, jasad. Jasad ini tercipta di alam dunia. Manusia diberikan potensi-potensi jasadiyah yang terwujud dalam bentuk nafsu sebagai bekal survive jasadiyah sekaligus sebagai wahana bagi ruh untuk mengenal Tuhannya sewaktu hidup di alam dunia.
Ketiga, Aql (akal). Potensi ini berfungsi sebagai penyerap dan pengolah ilmu Allah SWT. Selain itu, akal berfungsi untuk mengintegrasikan proses perkembangan ruh dan jasad. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.
Gabungan dari ketiga potensi dasar ini membentuk manusia yang berujung pada predikat khalifah. Disadari atau tidak, sebenarnya manusia mewarisi sifat agung Tuhan yang biasanya kita sebut dengan nama-Nya dalam asmaul husna. Potensi ini dapat diaktualisasikan melalui ruh, jasad dan akal.
Maka, sungguh sangat tidak logis jika manusia merusak alam semesta. Apalagi sampai melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus peduli terhadap hamba-hamba yang lainnya. Jika ada manusia yang saling menyakiti dan mergikan, maka itulah sebuah petunjuk bahwa manusia telah menyalahi kodratnya sebagai ‘pangeran’.
Mengapa selama ini manusia lalai akan amanah-Nya? Salah satu penyebabnya adalah karena manusia ternyata telah tidak lagi memahami sejarahnya. Manusia telah menjadi makhluk a historis. Ia lupa akan hakikat penciptaan dirinya, kodratnya, dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan akan ke mana nantinya ia akan kembali.

Makna Ibadah
Hakikat tugas manusia ialah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah dapat didefinisikan sebagai komunikasi dan dialog kreatif antara dua diri, yaitu diri yang mutlak (Allah SWT) dengan diri yang tidak mutlak/terbatas (manusia).
Keberadaan diri yang mutlak (Allah SWT) bersifat abadi dan tidak ada yang mampu merubah kehendak-Nya, kecuali DIA sendiri. Sedangkan manusia adalah makhluk serba terbatas. Segala kehidupannya telah ditetapkan dan ia tidak berwenang melawannya.
Namun demikian, manusia diberikan otoritas untuk mengubah pola hidup, alur pikir, dan tingkah lakunya, karena Tuhan pun tidak akan merubahnya kalau bukan manusia sendiri yang berusaha (QS:13:11).
Manusia seyogyanya menyesuaikan diri dengan proses penciptaan-Nya sewaktu ia menjalani proses dialog dengan Tuhannya itu. Karena proses penciptaan tidak akan pernah berhenti. Termasuk proses perubahan (evolusi) alam semesta ini.
Untuk dapat berkomunikasi dan berdialog dengan Tuhan, tidaklah terbatas pada ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat ataupun puasa. Tetapi ibadah ini dapat diperoleh melalui berbagai macam cara dengan beramal saleh.
Jika manusia tidak mampu menyelaraskan diri dengan alam, melupakan urusan yang berkaitan dengan orang banyak, dan meletakkan kepentingan pribadi di atas segala-galanya, maka dia akan bertentangan dengan Tuhan.

‘Terminal’ Cahaya
Jagad raya ini memiliki kontrol terhadap segala aktifitas kehidupan manusia jika ia bertindak sewenang-wenang. Contoh paling nyata; jika ada seorang pemimpin yang lebih kaya dari rakyatnya, maka rakyat pun akan resah, marah, dan kesal. Itulah kontrol alam semesta itu.
Tanpa disadari, bukan hanya seorang pemimpin zalim itu saja yang akan merasakan kontrol itu, akan tetapi semua manusia. Allah berfirman: telah nyata kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia. Dia akan menimpakan sebagian akibat perbuatannya kepada mereka, agar mereka dapat lembali (QS: 30:41).
Dalam konteks ini, penyelarasan diri dengan alam semesta, pengedepanan kepedulian sesama, dan pengikisan egoisme kita, dapat kita lakukan dengan mengoptimalkan pemakaian potensi dasar; ruh, jasad, dan akal.
Meskipun ada yang mengatakan bahwa jasad, akal, dan ruh kita itu terbatas, namun, tiga alat itu mutlak tidak boleh kita tinggal dan tanggalkan. Justru karena ruh, jasad, dan akal kita itu terbatas, maka kita harus menggunakannya secara full (penuh, hingga puncak). Kalau tidak full, maka amat sangat rugi kita menjadi khalifah-Nya.
Tiga alat itulah yang nantinya akan mengantarkan kita ke ujung pengembaraan di ’terminal’ cahaya Tuhan. Saat ini, hemat saya, ’terminal’ itu masih sepi. Sedikit sekali yang baru sampai di sana. Itu pun dia masih kebingungan. Mari kita berangkat ke sana. Carilah tiket yang benar, jangan lewat calo! Wallahu a’lam.

*) Muhammad Mufid
Staf Pendidik Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Hijrah Hangat

Menghangatkan Makna Hijrah
*) Oleh: Muhammad Syamsul Hadi

Adalah sebuah kenyataan bahwa Indonesia, yang penduduknya mayoritas muslim, sedang dilanda krisis multidimensi; krisis keyakinan, kriris moral, krisis politik, dan krisis ekonomi yang terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan bisa jadi hingga beberapa tahun ke depan.
Bertepatan dengan masih hangatnya tahun baru Hijriyah 1429 ini, maka marilah momentum ini kita poles menjadi ajang introspeksi diri kita secara kolektif demi memperbaiki atau mereformasi kenyataan krisis tersebut. Oleh karena itu, perlulah kiranya kita menghangatkan kembali makna hijrah dalam konteks kekinian.


Muhammad SAW Sang Reformis
Muhammad SAW adalah Rasul dan tokoh yang harus diteladani bagaimana beliau memperbaharui, memperbaiki, atau mereformasi keadaan bangsa Arab yang jauh lebih buruk daripada keadaan Indonesia saat ini.
Seribu tahun lebih yang lalu, Muhammad SAW dan para sahabat, berhijrah dari Makkah ke Madinah, meninggalkan tempat kelahirannya, harta-benda, sanak-keluarga, hingga keluarga terdekat sekalipun.
Mereka hanya membawa keimanannya yang baru, keimanan yang menjanjikan akan kebenaran yang hak. Mereka pun menanggalkan kejahiliahannya. Sampai di Madinah, Rasulullah SAW beserta para sahabat memulai kehidupan baru yang jauh lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya.

Konversi Keyakinan
Bagi penulis, hijrah adalah peristiwa yang menunjukkan adanya konversi keyakinan, perbaikan dan penyempurnaan moral, sekaligus reformasi politik. Hijrah dalam bentuk inilah yang seharusnya dilaksanakan saat ini, bukan hijrah yang berarti pindah dari satu kota ke kota yang lain.
Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda: Tidak ada hijrah lagi sesudah fathu Makkah selain jihad, niat, dan apabila diserukan berangkat (pergi berperang) maka berangkatlah (HR. Bukhari).
Arab sebelum Islam adalah masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap banyak tuhan (politeisme), penyembah berhala, yang disebut Allah SWT dalam al Qur’an sebagai kaum musyrik.
Diutusnya Muhammad SAW adalah tanda akan beralihnya keyakinan mayoritas masyarakat Arab jahilliyah kepada keyakinan akan keesaan Allah SWT. Realisasi konversi keyakinan ini terlihat jelas dalam peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat ke Madinah.
Para sahabat, baik dari golongan Muhajirin dan Anshar di bawah bimbingan Rasulullah SAW, merombak dan membangun umat yang sepenuhnya meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa. Inilah reformasi dan konversi keyakinan itu.
Mungkin ada di antara kita merasa heran dan bisa jadi kemudian akan melontarkan pertanyaan; kami sebagai seorang muslim, yang telah meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, apa perlunya bagi kami untuk “mengkonversi” keyakinan lagi?
Ya. Memang orang yang mengaku dirinya muslim tentu telah berulangkali mengucapkan kalimat syahadat. Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut sepenuhnya telah kita tanamkan dalam hati dan telah diterapkan dalam perilaku kita?
Perlu diingat, bahwa syirik tidak hanya berarti menyekutukannya dengan berhala, seperti yang pernah dilakukan oleh masyarakat Arab jahiliyah, tetapi juga berarti menyekutukan-Nya dengan apa saja; baik manusia, binatang, harta benda atau makhluk ciptaan-Nya yang lain, termasuk hawa nafsu diri manusia sendiri.
Allah SWT berfirman dalam QS: 45: 23: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Menyekutukan Allah dengan tuhan hawa nafsu inilah yang sering tidak disadari dan sulit dihindari, walaupun oleh seorang yang mengaku dirinya muslim. Dampak dari penuhanan hawa nafsu, kiranya kita telah mengetahuinya bersama. Mereka yang menuhankan (baca: menuruti) hawa nafsunya, disebut Allah SWT dalam QS: 25: 26: hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
Oleh karenanya, cukup beralasan bagi penulis untuk menyerukan sebuah reformasi, perbaikan, dan konversi keyakinan umat Islam saat ini; dari keyakinan dan kepatuhan kepada hawa nafsu, menuju kepada keyakinan yang sejati dan sempurna. Keyakinan itu adalah hanya kepada Allah SWT semata. Bukan kepada hawa nafsu, pangkat, nama, jabatan, harta dan lainnya. Maka, bagi kita yang sampai saat ini masih “menyembah hawa nafsu” kita, marilah kita menjadi orang yang “murtad” dari agama hawa nafsu kita itu.

Reformasi Moral
Hijrah juga mempresentasikan reformasi moral. Moral Arab sebelum Islam sangat menyedihkan. Pembunuhan anak perempuan adalah salah satu kebobrokan moral Arab yang sangat fenomenal. Bahkan sahabat Rasulullah SAW yang terdekat pun pernah melakukan hal ini tatkala belum beriman. Beliau adalah Umar bin Khattab, khalifah yang kedua setelah Abu Bakar. Kebobrokan moralnya dan moral bangsa Arab pun lenyap seketika setelah beliau menyadari dan mengikuti dakwah Rasulullah SAW.
Saat ini degradasi moral kembali terjadi. Seringkali kita mendengarkan peristiwa-peristiwa yang memalukan dan menyedihkan; pembunuhan, pemerkosaan, sex bebas dan masih banyak lagi contoh yang lain. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh mereka yang bukan muslim, tetapi juga mereka yang mengaku dirinya seorang muslim.
Oleh karena itu, hijrah yang relevan untuk direaktualisasikan juga adalah hijrah dari kebobrokan moral yang kembali terjadi saat ini. Reformasi moral perlu diterapkan kembali seperti yang telah direalisasikan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Rasulullah SAW sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. Al Bazzaar).

Reformasi Sosial
Sebelum Islam, Arab terbagi menjadi banyak suku atau kabilah. Seringkali antara kabilah yang satu dengan kabilah yang lain saling memerangi. Muhammad SAW sendiri, sebelum diangkat sebagai rasul, pernah mengikuti peperangan antar suku atau kabilah tersebut.
Permusuhan dan peperangan tersebut segera berakhir setelah Muhammad SAW diutus-Nya. Satu persatu, suku-suku tersebut berhasil didamaikan dan dipersatukan. Awal dari semua ini adalah ketika Rasulullah dan para sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Kaum Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan, suku Aus dan Khazraj dan kemudian suku-suku yang lainnya dipersatukan. Perjanjian antara kelompok, suku, agama diselenggarakan. Maka tercatat di dalam sejarah, bahwa Rasulullah SAW bersama dengan kaum muslimin saat itu menunjukkan bukti reformasi politik yang diwujudkan dalam piagam Madinah.
Sikap, sifat, dan watak Rasulullah SAW dalam berhijrah sudah seharusnya diteladani oleh pemimpin Indonesia dan kita semua. Duduk di kursi jabatan, pemerintahan, dan posisi penting lainnya bukanlah sebagai ajang berkompetisi mencari nama ataupun kekayaan, akan tetapi sebagai ajang berkompetisi untuk melayani rakyat.
Itulah hijrah yang sejati. Mudah-mudahan kita semua bisa melaksanakannya, mumpung suasana tahun baru Hijriyah ini masih hangat. Wallahu a’lam.

*) Muhammad Syamsul Hadi
Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Bencana Tutup-buka

Bencana Di Dua Tutup-Buka Tahun
*) Oleh: Nasrullah

Dan jikalau penduduk suatu bangsa itu beriman dan bertaqwa, maka sungguh akan Kami buka kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa (beri cobaan) kepada mereka disebabkan atas perbuatannya
(QS: 7: 96)

Tahun silih berganti, bencana tak kunjung reda. Itulah nasib yang dialami bangsa Indonesia. Badai tsunami melanda, gempa bumi, lumpur panas, tanah longsor, kecelakaan transportasi, hingga banjir bandang yang baru-baru ini melanda hampir seluruh pulau Jawa.
Bencana yang terjadi di Indonesia ini terasa ‘istimewa’ bagi kita. Istimewa, karena kita mengalami bencana di dua tutup-buka tahun atau di dua penghujung sekaligus pembuka dua tahun baru. Tahun baru Masehi dan tahun baru Hijriyah. Mengapa terus terjadi bencana?


Kesalehan Ritual dan Kesalehan Natural
Ebit G. Ade, penyanyi yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, pernah menyanyikan sebait lagu yang telah menjadi soundtrack bencana. Marilah kita perhatikan isi lagu Berita Kepada Kawan yang dinyanyikannya itu: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Kutipan lagu tersebut memandang bahwa bencana yang selama ini melanda bangsa kita merupakan suatu peringatan agar kita kembali lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Kita juga harus menjaga dan merawat kelestarian dan keseimbangan ekosistem atau lingkungan yang kita huni ini sebagai ciptaan-Nya.
Dengan kata lain, hendaknya kita bisa memiliki kesalehan ritual dan kesalehan natural. Keduanya harus seimbang. Kita dituntut untuk saleh dalam hal ibadah kepada Allah SWT, juga saleh kepada alam. Saleh kepada alam dengan melakukan perbuatan yang tidak merusak dan merugikan alam.
Bencana alam memang sering mendorong kita untuk lebih meningkatkan kesalehan ritual dengan berdzikir dan berdoa, tetapi kita jarang mau sadar bahwa kesalehan natural juga suatu hal yang amat penting. Taubat dan rajin melakukan perintah ritual dianggap sudah bisa menjauhkan kita dari bencana.
Memang sulit diakui bahwa kesalehan natural atau hidup selaras dan seimbang dengan alam dapat membebaskan kita dari bencana alam. Kita tidak pernah mengubah pola hidup kita untuk lebih selaras dan seimbang dengan alam. Kebanyakan dari kita tidak terbiasa memahami bahwa bencana berhubungan dengan perilaku maksiat atau dosa atas alam yang sering dianggap tidak sepenting dosa syirik, mencuri, judi ataupun zina.

Bagaimana Seharusnya Kita?
Bencana atau musibah memang sudah menjadi suratan takdir. Kapan, bagaimana, dan di mana bencana itu akan terjadi, tidak akan ada yang tahu. Namun, sebagai manusia kita dituntut untuk berikhtiar bagaimana untuk dapat mengantisipasi atau menghindari bencana sekaligus berfikir untuk hari esok, di samping bersabar, tabah dan tawakkal atas apa yang terjadi dan menimpa diri kita sekarang ini.
Firman Allah SWT dalam QS: 13: 11 menyebutkan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum jika mereka tidak merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Bencana apapun yang menimpa kita, entah diakui atau tidak, semuanya ini adalah karena ulah perbuatan kita sendiri yang tidak pernah peduli dan cinta alam. Adanya penambangan pasir di daerah terlarang serta pembalakan hutan secara ilegal tanpa mempedulikan dampaknya kepada lingkungan telah menjadi bukti keserakahan dan kemaksiatan kita kepada alam.
Sehingga sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa rusaknya ekosistem yang berdampak pada munculnya bencana alam tidak lain adalah karena tindakan dan keserakahan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS: 30: 41: Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut disebabkan karena ulah perbuatan tangan manusia (yang tidak peduli terhadap lingkungannya.
Oleh karena itu, jika kita ingin terbebas dari bencana alam, maka hendaknya kita harus menyadari bahwa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam juga merupakan hal yang penting di samping taat dan patuh menjalankan ibadah ritual kepada Allah SWT. Itulah kesalehan ritual sekaligus juga kesalehan natural.

Bencana di Dua Akhir-Awal Tahun Baru
Perlu diingat bahwa di balik semua bencana pasti terdapat pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Secara bijak hendaknya kita mampu bertahan untuk tidak ber-negative thinking atas semua apa yang telah dikehendaki-Nya.
Kehendak Allah SWT tidak sia-sia. Semua pasti ada manfaatnya dan itu kembali kepada kita sebagai hamba-Nya. God has his own answer for everything he’s done. Demikian kata orang bijak. Allah pasti mempunyai maksud dan rencana baik di balik semua itu. Percaya atau tidak.
Maka dari itu, bertepatan dengan telah datangnya dua tahun baru; Masehi dan Hijriyah, marilah momentum ini kita jadikan sebagai hari refleksi diri. Sebagaimana disebut di atas, bencana di Indonesia ini terjadi di dua tutup-buka tahun baru yang berdekatan. Pertama tahun baru Masehi. Kedua, tahun baru Hijriyah. Seharusnya kita menyadari arti ini semua.
Pertama, bahwa tahun Masehi itu kita maknai sebagai tahun duniawi. Mengapa bencana turun di akhir dan awal tahun duniawi? Jawabannya karena secara duniawi, kita semua pasti bermasalah. Entah apa masalahnya, yang jelas ini menjadi bukti bahwa kita memang sedang menjadi orang yang tidak baik secara duniawi. Karena itulah mungkin mengapa bencana ini turun.
Kalau kita tidak bermasalah secara duniawi, mengapa bencana itu muncul di penghujung dan pembuka tahun Masehi? Bisa jadi, kita ini tergolong orang yang serakah dalam hal duniawi kita. Kita tidak segan melakukan segala cara untuk menggapai kehidupan duniawi kita.
Kedua, tahun Hijriyah dapat kita maknai sebagai tahun ukhrowi. Jika bencana turun pada penghujung dan pembuka tahun Hijriyah, ini berarti bahwa kita juga sedang bermasalah secara ukhrowi. Artinya, diri kita ini sedang tidak beres dalam hal urusan-urusan ukhrowi kita.
Kalau kita beres secara ukhrowi, mana mungkin bencana akan dan terus turun di akhir dan awal tahun Hijriyah ini. Bisa jadi, kita memiliki pandangan hidup yang tidak tepat, kerap melupakan Tuhan, dan merasa diri kita ini paling baik imannya.
Marilah kita renungkan bahwa semua itu harus kita rubah. Tepat di akhir dan awal, atau di ambang dua tahun baru; Masehi dan Hijriyah ini. Setidaknya kita mau melihat dan merubah diri kita. Wallahu a’lam.

*) Nasrullah
Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaYogyakarta

Ketagihan Baca?......