Jumat, Februari 01, 2008

Bencana Tutup-buka

Bencana Di Dua Tutup-Buka Tahun
*) Oleh: Nasrullah

Dan jikalau penduduk suatu bangsa itu beriman dan bertaqwa, maka sungguh akan Kami buka kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa (beri cobaan) kepada mereka disebabkan atas perbuatannya
(QS: 7: 96)

Tahun silih berganti, bencana tak kunjung reda. Itulah nasib yang dialami bangsa Indonesia. Badai tsunami melanda, gempa bumi, lumpur panas, tanah longsor, kecelakaan transportasi, hingga banjir bandang yang baru-baru ini melanda hampir seluruh pulau Jawa.
Bencana yang terjadi di Indonesia ini terasa ‘istimewa’ bagi kita. Istimewa, karena kita mengalami bencana di dua tutup-buka tahun atau di dua penghujung sekaligus pembuka dua tahun baru. Tahun baru Masehi dan tahun baru Hijriyah. Mengapa terus terjadi bencana?


Kesalehan Ritual dan Kesalehan Natural
Ebit G. Ade, penyanyi yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, pernah menyanyikan sebait lagu yang telah menjadi soundtrack bencana. Marilah kita perhatikan isi lagu Berita Kepada Kawan yang dinyanyikannya itu: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Kutipan lagu tersebut memandang bahwa bencana yang selama ini melanda bangsa kita merupakan suatu peringatan agar kita kembali lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Kita juga harus menjaga dan merawat kelestarian dan keseimbangan ekosistem atau lingkungan yang kita huni ini sebagai ciptaan-Nya.
Dengan kata lain, hendaknya kita bisa memiliki kesalehan ritual dan kesalehan natural. Keduanya harus seimbang. Kita dituntut untuk saleh dalam hal ibadah kepada Allah SWT, juga saleh kepada alam. Saleh kepada alam dengan melakukan perbuatan yang tidak merusak dan merugikan alam.
Bencana alam memang sering mendorong kita untuk lebih meningkatkan kesalehan ritual dengan berdzikir dan berdoa, tetapi kita jarang mau sadar bahwa kesalehan natural juga suatu hal yang amat penting. Taubat dan rajin melakukan perintah ritual dianggap sudah bisa menjauhkan kita dari bencana.
Memang sulit diakui bahwa kesalehan natural atau hidup selaras dan seimbang dengan alam dapat membebaskan kita dari bencana alam. Kita tidak pernah mengubah pola hidup kita untuk lebih selaras dan seimbang dengan alam. Kebanyakan dari kita tidak terbiasa memahami bahwa bencana berhubungan dengan perilaku maksiat atau dosa atas alam yang sering dianggap tidak sepenting dosa syirik, mencuri, judi ataupun zina.

Bagaimana Seharusnya Kita?
Bencana atau musibah memang sudah menjadi suratan takdir. Kapan, bagaimana, dan di mana bencana itu akan terjadi, tidak akan ada yang tahu. Namun, sebagai manusia kita dituntut untuk berikhtiar bagaimana untuk dapat mengantisipasi atau menghindari bencana sekaligus berfikir untuk hari esok, di samping bersabar, tabah dan tawakkal atas apa yang terjadi dan menimpa diri kita sekarang ini.
Firman Allah SWT dalam QS: 13: 11 menyebutkan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum jika mereka tidak merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Bencana apapun yang menimpa kita, entah diakui atau tidak, semuanya ini adalah karena ulah perbuatan kita sendiri yang tidak pernah peduli dan cinta alam. Adanya penambangan pasir di daerah terlarang serta pembalakan hutan secara ilegal tanpa mempedulikan dampaknya kepada lingkungan telah menjadi bukti keserakahan dan kemaksiatan kita kepada alam.
Sehingga sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa rusaknya ekosistem yang berdampak pada munculnya bencana alam tidak lain adalah karena tindakan dan keserakahan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS: 30: 41: Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut disebabkan karena ulah perbuatan tangan manusia (yang tidak peduli terhadap lingkungannya.
Oleh karena itu, jika kita ingin terbebas dari bencana alam, maka hendaknya kita harus menyadari bahwa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam juga merupakan hal yang penting di samping taat dan patuh menjalankan ibadah ritual kepada Allah SWT. Itulah kesalehan ritual sekaligus juga kesalehan natural.

Bencana di Dua Akhir-Awal Tahun Baru
Perlu diingat bahwa di balik semua bencana pasti terdapat pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Secara bijak hendaknya kita mampu bertahan untuk tidak ber-negative thinking atas semua apa yang telah dikehendaki-Nya.
Kehendak Allah SWT tidak sia-sia. Semua pasti ada manfaatnya dan itu kembali kepada kita sebagai hamba-Nya. God has his own answer for everything he’s done. Demikian kata orang bijak. Allah pasti mempunyai maksud dan rencana baik di balik semua itu. Percaya atau tidak.
Maka dari itu, bertepatan dengan telah datangnya dua tahun baru; Masehi dan Hijriyah, marilah momentum ini kita jadikan sebagai hari refleksi diri. Sebagaimana disebut di atas, bencana di Indonesia ini terjadi di dua tutup-buka tahun baru yang berdekatan. Pertama tahun baru Masehi. Kedua, tahun baru Hijriyah. Seharusnya kita menyadari arti ini semua.
Pertama, bahwa tahun Masehi itu kita maknai sebagai tahun duniawi. Mengapa bencana turun di akhir dan awal tahun duniawi? Jawabannya karena secara duniawi, kita semua pasti bermasalah. Entah apa masalahnya, yang jelas ini menjadi bukti bahwa kita memang sedang menjadi orang yang tidak baik secara duniawi. Karena itulah mungkin mengapa bencana ini turun.
Kalau kita tidak bermasalah secara duniawi, mengapa bencana itu muncul di penghujung dan pembuka tahun Masehi? Bisa jadi, kita ini tergolong orang yang serakah dalam hal duniawi kita. Kita tidak segan melakukan segala cara untuk menggapai kehidupan duniawi kita.
Kedua, tahun Hijriyah dapat kita maknai sebagai tahun ukhrowi. Jika bencana turun pada penghujung dan pembuka tahun Hijriyah, ini berarti bahwa kita juga sedang bermasalah secara ukhrowi. Artinya, diri kita ini sedang tidak beres dalam hal urusan-urusan ukhrowi kita.
Kalau kita beres secara ukhrowi, mana mungkin bencana akan dan terus turun di akhir dan awal tahun Hijriyah ini. Bisa jadi, kita memiliki pandangan hidup yang tidak tepat, kerap melupakan Tuhan, dan merasa diri kita ini paling baik imannya.
Marilah kita renungkan bahwa semua itu harus kita rubah. Tepat di akhir dan awal, atau di ambang dua tahun baru; Masehi dan Hijriyah ini. Setidaknya kita mau melihat dan merubah diri kita. Wallahu a’lam.

*) Nasrullah
Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaYogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat