Jumat, Februari 01, 2008

Pesta Lupa


Malam Tahun Baru: Sebuah Pesta Lupa Diri
*) Oleh: Ahmad Sahide

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
(QS: 59: 18-19)

Terhitung sejak tahun 2004, bangsa Indonesia terus saja diterpa berbagai musibah dengan variasi yang unik. Mulai dari badai Tsunami, gempa bumi, banjir, merajalelanya virus flu burung, menjangkitnya busung lapar dan polio, gunung meletus, “musibah” kenaikan harga BBM dua kali dalam setahun, luapan lumpur, longsor, kebakaran dan pembalakan hutan, dan masih banyak lagi. Belum lagi bencana-bencana kecil seperti selokan dan WC kita yang mampet.
Apakah semua bencana yang telah terjadi itu sudah selesai? Belum. Karena semuanya malah menyisakan begitu banyak ”bencana sosial” yang menyebabkan bangsa Indonesia ini semakin menderita.
Derita bangsa itupun nampaknya belum menjadi pelajaran bagi kita untuk segera bertobat. Lihat dan tunggu saja malam tahun baru yang datang beberapa hari lagi. Umumnya kita tanpa merasa berdosa, mungkin telah berniat untuk merayakan pesta malam tahun baru dengan cara yang hambur, hambar, boros, dan menguras energi multidiri bangsa.


’Agama Pesta’
Bagi kebanyakan kita di negeri ini, perayaan tahun baru dari tahun ke tahun seolah telah menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan. Perayaan itu ada yang berbentuk pesta kembang api, konser musik, hingga sex party.
Belum jelas berapa karung uang dihabiskan dalam semalam. Hanya saja, saya yakin di malam itu jelas akan habis ratusan juta rupiah lebih, termasuk yang akan dikorupsi. Bahkan setiap pemerintah daerah di tempat masing-masing pun kabarnya jauh-jauh hari telah mengalokasikan anggaran pengeluaran khusus buat merayakan pesta perayaan di malam tahun baru.
Ada apa di balik malam terakhir bulan Desember itu? Apakah malam itu mengandung potensi mistik yang cukup mengundang berkah bagi siapa saja yang merayakannya? Apakah dengan pesta itu perut otomatis menjadi kenyang dan para pengemis cilik bisa sekolah gratis? Apakah pesta itu juga adalah cara jitu untuk menemukan solusi dari permasalahan bangsa kita yang multicomplicated ini?
Secara pribadi, entah Anda setuju atau tidak, saya malah mengendus suatu simpulan bahwa pesta perayaan malam tahun baru itu tak lebih merupakan suatu pesta perayaan lupa diri sesosok manusia dan sebuah bangsa bernama Indonesia.
Ya, lupa diri. Lupa diri yang diakibatkan oleh candu ’agama’ pesta. Istilah kasarnya; ngga’ tahu diri. Awalnya ia bukanlah sebentuk lupa. Tapi, hanya sekedar hasrat berhibur kita yang alami saja.
Namun, entah mengapa hasrat berhibur itu justru masih saja melekat dan bahkan menjadi-jadi saat bangsa Indonesia ini sedang krisis. Lihatlah, selalu masih saja ada kembang api diledakkan dan poya-poya dibudayakan di antara harga sembako yang kian mematikan, hutang Negara yang semakin menggunung, insting korupsi yang megal-megol, dan ketdakpercayaan sosial sedang berkecamuk.

Lupa Diri
Setiap tahun di malam tahun baru, kita kerap bermewah-mewah, berboros-boros, dan berpoya-poya. Padahal kita tahu bahwa bermewah-mewah itu tidak cukup membantu kita untuk cepat menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa.
Berpesta di malam itu membuat otak kita mati-pikir dan mati-lihat akan jutaan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Itu semua mendalilkan bahwa kita semua sedang lupa diri. Dan, lupa diri itu merupakan bentuk lain dari lupa ‘Tuhan’. Kaum sufi sering berkata bahwa barangsiapa yang tahu dirinya, maka ia akan tahu Tuhannya.
Nah, kita tidak sedang tahu Tuhan. Kita lupa. Tuhan telah tiada dalam ingatan kita. Kita benar-benar menjadi pembangkang dalam dunia yang sempit. Kalau dunia itu luas, lupa kita itu masih mendingan. Namun, ini begitu sempit.
Dunia yang sempit itu adalah dunia kita yang gemar bermewah-mewah dan berpoya-poya di malam tahun baru yang tidak istimewa. Memang sebenarnya tidak ada yang aneh di malam itu. Sebab kita semua tentu sepakat kalau malam itu tidak berbeda dengan malam-malam sebagaimana biasanya. Namun, kita lupa. Kita merasa bebas melakukan apa saja yang kita mau. Terutama saat kita ingin bersenang-senang.
Macetnya jalanan dan ramainya tempat-tempat seperti pantai, alun-alun, Monas dan Ancol di Jakarta, adalah saksi hidup lupa diri kita itu. Ini terjadi dari tahun ke tahun. Orang-orang berkumpul di sana untuk bersantai dan menghabiskan uang. Dan, uang pun hangus dalam petasan yang diledakkan, minuman alkohol yang ditenggakkan, tawa yang dilepaskan, jingkrak yang dihentakkan, joget yang digoyangkan, dan lagu-lagu yang dinyanyikan.

Warna Baru
Sadar atau tidak, kita berkewajiban untuk merubah itu semua. Kita harus mampu memberikan warna baru buat malam itu. Berani melawan arus. Bukan mengambil warna yang sudah ada. Inilah yang dikatakan oleh Ali Syari’ati, bahwa manusia ideal adalah manusia yang mampu membentuk peradaban, bukan yang terbentuk oleh peradaban.
Pertimbangan saya sederhana. Lihatlah permasalahan bangsa ini yang kian hari kian menumpuk. Ini bukan so’-so’an. Saya hanya ingin mengatakan bahwa; sungguh sayang kalau uang yang berputar di negeri ini harus hangus bersama petasan dan kembang api yang tidak mengenyangkan perut, menurunkan harga sembako, meleburkan dosa, dan apalagi mendekatkan kita kepada Tuhan!
Malam tahun baru akan lebih bermakna jika ia dijadikan momen untuk refleksi diri demi masa depan yang lebih cerah. Marilah kita berdialog dengan diri kita sendiri selaku individu, masyarakat, dan bangsa.
Dengan cara ini kita akan semakin jeli membaca dan melihat realitas yang ada di sekitar kita. Penyelesaian masalah dengan tepat harus berangkat dari pemahaman realita yang ada. Salah membaca realita, berarti sulit melahirkan solusi yang benar.
Pesta di malam tahun baru itu tidak haram. Karena secara khusus tidak ada ayat Alquran atau Hadits Nabi SAW yang melarangnya. Saya hanya mengajak kita untuk kembali berpikir sejenak tentang mana yang lebih pas, penting, dan konstruktif untuk kita lakukan. Renungkanlah itu!
Kita tunggu saja apa yang terjadi di malam tahun baru nanti. Jika kita masih (ber)pesta lupa diri seperti biasanya, maka nampaknya bermacam bencana alam dan bencana sosial akan terus menguntit bangsa ini. Entah sampai kapan. Wallahu a’lam.

*) Ahmad Sahide
Mahasiswa Hubungan Internasional Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat