Jumat, Februari 01, 2008

Terminal Cahaya

Menuju ’Terminal Cahaya’
*) Oleh: Muhammad Mufid

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: AKU hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah KAU hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji dan mensucikan-Mu. DIA berfirman, Sungguh AKU mengetahui apa yang tidak kamu ketahui
(QS:2:30)

Mungkin kita jenuh menyaksikan bangsa Indonesia yang carut-marut ini. Berbagai ujian datang silih berganti. Seperti bencana alam (banjir, tanah longsor, abrasi dan erosi), busung lapar, pembunuhan, teror bom, hingga gejolak dan kerusuhan di penjuru nusantara.
Puluhan, ratusan bahkan ribuan nyawa telah melayang. Kiamat shughra (kecil) ini seharusnya menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi bangsa Indonesia. Kita yang masih dapat menikmati indahnya kehidupan seharusnya sadar bahwa masih banyak nikmat Allah SWT yang tak terhitung nilainya telah melalaikan kita dari-Nya.
Negara Indonesia mayoritas berpenduduk muslim. Tetapi penyimpangan sosial dari level tertinggi hingga tingkat RT/RW selalu terjadi. Dengan label Islam, segala aktifitas yang berorientasi pada egoisme pribadi dan kelompok seakan-akan menjadi sah.
Ketika rakyat kecil tertimpa bencana dan kenaikan harga-harga seperti saat ini, ketika itu pula para pejabat bermewah-mewah dan minta naik gaji. Malah persoalan kenaikan harga yang menjulang tinggi, kalah oleh persoalan sakitnya seorang mantan presiden. Jelas, kondisi ini semakin menambah catatan buruk para malaikat di atas sana.
Sayang, kondisi kerusakan seperti ini semakin hari kian meningkat drastis. Akankah Allah SWT mengampuni? Coba kita renungkan, jika seluruh bumi Indonesia ditimpa bencana dan kenaikan harga-harga bahan pokok semakin menjadi-jadi, masihkah kita sempat menanyakan di manakah Tuhan yang maha pengasih dan penyayang itu? Manakah Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta itu?
Masih pantaskah kita mendapatkan predikat “pangeran” atau khalifatullah fil-ardhi? Jangan-jangan, para malaikatlah yang benar; bahwa manusia kelak akan menjadi perusak (trouble maker) di muka bumi ini.

Kelupaan Sejarah
Allah SWT tidak membiarkan manusia diturunkan ke bumi begitu saja tanpa bekal. Hak istimewa berupa predikat khalifatullah fil-ardhi telah dilabelkan kepada manusia sebagai makhluk tertinggi dibandingkan makhluk lain.
Pada prinsipnya, manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain sebagai makhluk ‘abdiyah (hamba-Nya) dan khalifiah (pangeran di muka bumi). ‘Abdiyah tidak hanya dimaknai sebatas menjadi hamba yang berserah diri (surrender) dan taat (obedience) melaksanakan ibadah tanpa ada usaha sedikit pun (QS:51:56).
Tetapi, ia memiliki beragam potensi yang menjadi bekal untuk survive mengemban amanah-Nya di muka bumi. Mengenai potensi ini, setiap manusia dikaruniai tiga potensi dasar.
Pertama, ruh. Ruh tercipta di alam ruh dan diberikan potensi ilahiyah-tauhidiyah. Kemudian manusia mengadakan kontrak perjanjian dengan Tuhannya, dan dia bersaksi bahwa Allah SWT adalah Tuhannya (QS:7:172). Di alam ruh ini, nilai-nilai yang bersumber dari asmaul husna ditransfer dalam bentuk potensi ‘abdiyah dan khalifiah.
Kedua, jasad. Jasad ini tercipta di alam dunia. Manusia diberikan potensi-potensi jasadiyah yang terwujud dalam bentuk nafsu sebagai bekal survive jasadiyah sekaligus sebagai wahana bagi ruh untuk mengenal Tuhannya sewaktu hidup di alam dunia.
Ketiga, Aql (akal). Potensi ini berfungsi sebagai penyerap dan pengolah ilmu Allah SWT. Selain itu, akal berfungsi untuk mengintegrasikan proses perkembangan ruh dan jasad. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.
Gabungan dari ketiga potensi dasar ini membentuk manusia yang berujung pada predikat khalifah. Disadari atau tidak, sebenarnya manusia mewarisi sifat agung Tuhan yang biasanya kita sebut dengan nama-Nya dalam asmaul husna. Potensi ini dapat diaktualisasikan melalui ruh, jasad dan akal.
Maka, sungguh sangat tidak logis jika manusia merusak alam semesta. Apalagi sampai melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus peduli terhadap hamba-hamba yang lainnya. Jika ada manusia yang saling menyakiti dan mergikan, maka itulah sebuah petunjuk bahwa manusia telah menyalahi kodratnya sebagai ‘pangeran’.
Mengapa selama ini manusia lalai akan amanah-Nya? Salah satu penyebabnya adalah karena manusia ternyata telah tidak lagi memahami sejarahnya. Manusia telah menjadi makhluk a historis. Ia lupa akan hakikat penciptaan dirinya, kodratnya, dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan akan ke mana nantinya ia akan kembali.

Makna Ibadah
Hakikat tugas manusia ialah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah dapat didefinisikan sebagai komunikasi dan dialog kreatif antara dua diri, yaitu diri yang mutlak (Allah SWT) dengan diri yang tidak mutlak/terbatas (manusia).
Keberadaan diri yang mutlak (Allah SWT) bersifat abadi dan tidak ada yang mampu merubah kehendak-Nya, kecuali DIA sendiri. Sedangkan manusia adalah makhluk serba terbatas. Segala kehidupannya telah ditetapkan dan ia tidak berwenang melawannya.
Namun demikian, manusia diberikan otoritas untuk mengubah pola hidup, alur pikir, dan tingkah lakunya, karena Tuhan pun tidak akan merubahnya kalau bukan manusia sendiri yang berusaha (QS:13:11).
Manusia seyogyanya menyesuaikan diri dengan proses penciptaan-Nya sewaktu ia menjalani proses dialog dengan Tuhannya itu. Karena proses penciptaan tidak akan pernah berhenti. Termasuk proses perubahan (evolusi) alam semesta ini.
Untuk dapat berkomunikasi dan berdialog dengan Tuhan, tidaklah terbatas pada ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat ataupun puasa. Tetapi ibadah ini dapat diperoleh melalui berbagai macam cara dengan beramal saleh.
Jika manusia tidak mampu menyelaraskan diri dengan alam, melupakan urusan yang berkaitan dengan orang banyak, dan meletakkan kepentingan pribadi di atas segala-galanya, maka dia akan bertentangan dengan Tuhan.

‘Terminal’ Cahaya
Jagad raya ini memiliki kontrol terhadap segala aktifitas kehidupan manusia jika ia bertindak sewenang-wenang. Contoh paling nyata; jika ada seorang pemimpin yang lebih kaya dari rakyatnya, maka rakyat pun akan resah, marah, dan kesal. Itulah kontrol alam semesta itu.
Tanpa disadari, bukan hanya seorang pemimpin zalim itu saja yang akan merasakan kontrol itu, akan tetapi semua manusia. Allah berfirman: telah nyata kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia. Dia akan menimpakan sebagian akibat perbuatannya kepada mereka, agar mereka dapat lembali (QS: 30:41).
Dalam konteks ini, penyelarasan diri dengan alam semesta, pengedepanan kepedulian sesama, dan pengikisan egoisme kita, dapat kita lakukan dengan mengoptimalkan pemakaian potensi dasar; ruh, jasad, dan akal.
Meskipun ada yang mengatakan bahwa jasad, akal, dan ruh kita itu terbatas, namun, tiga alat itu mutlak tidak boleh kita tinggal dan tanggalkan. Justru karena ruh, jasad, dan akal kita itu terbatas, maka kita harus menggunakannya secara full (penuh, hingga puncak). Kalau tidak full, maka amat sangat rugi kita menjadi khalifah-Nya.
Tiga alat itulah yang nantinya akan mengantarkan kita ke ujung pengembaraan di ’terminal’ cahaya Tuhan. Saat ini, hemat saya, ’terminal’ itu masih sepi. Sedikit sekali yang baru sampai di sana. Itu pun dia masih kebingungan. Mari kita berangkat ke sana. Carilah tiket yang benar, jangan lewat calo! Wallahu a’lam.

*) Muhammad Mufid
Staf Pendidik Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat