Kamis, Maret 27, 2008

Sirah Nabi

Sirah Nabi = Kepala Nabi
{Sirah [bs. Jawa] = Kepala}
*) Oleh: Yasser Arafat


“Lebih tepat jika dikatakan bahwa orang yang “sehat” adalah orang yang selalu bertanya sekaligus selalu menjawab. Ia selalu siap “angkuh” dan meragukan sesuatu, sekaligus siap “rendah hati” dan meyakini sesuatu. Dan, ia berani untuk itu.”
(Miranda Risang Ayu; 1990)


Waktu ngaji dulu, saya pernah diajari guru saya, sebuah mata pelajaran: sirah nabi. Kata guru saya –Allah yarham- sirah itu Bahasa Arab, artinya sejarah. Jadi, sejak saat itulah saya tahu bahwa sirah nabi artinya sejarah nabi. Tapi, kali ini, saya memilih mengartikan sirah bukan sebagai Bahasa Arab, akan tetapi sebagai/dalam Bahasa Jawa. Maka, sirah dalam bahasa Jawa artinya kepala. Sirah nabi artinya kepala nabi.

***

Apa itu kepala? Mengapa kepala setiap orang berbeda bentuknya? Apa jadinya kalau manusia hidup tanpa kepala? Di dunia ini, seorang manusia tanpa kepala –seperti si mata malaikat dalam film Si Buta Dari Gua Hantu- pasti akan ditakuti. Siapapun yang melihatnya, pasti ia akan lari lintang-pukang bersama kencingya yang membeser di celana.
Kepala itu berharga. Jika kepala adalah “nama”, maka William Shakespare juga akan berkata; “apalah arti sebuah kepala”. Kepala juga bisa menjadi ajang bisnis polisi yang menyemprit empunya kepala yang tidak berhelm. Akibatnya, ia pun bisa disuruh untuk merapal rumus kali-kali dalam pasal 4X5= Rp. 20.000.
Kepala itu sakral. Di Indonesia, setiap orang yang memegang kepala orang lain atau melangkahinya dianggap telah utang darah. Itu tidak sopan. Kecuali yang lebih tua memegang kepala yang lebih muda.
Kepala itu wingit. Banyak konflik sosial di Indonesia yang melibatkan kepala. Pada tahun 1999, ketika keributan dan kerusuhan etnis terjadi di Kalimantan, dari media massa saya sering melihat potongan kepala manusia tercecer di tempat umum. Begitu juga hal itu terjadi di beberapa daerah pinggiran Indonesia lainnya.
Kepala itu keramat. Ia sering-kala dipakai beribadah. Sujud pakai kepala. Bahkan salah satu rukun haji adalah mencukur bulu kepala. Hal itu disebut tahallul. Lahirnya seorang bayi yang “tidak bermasalah” ditandai oleh kepalanya yang keluar dari rahim ibunya. Hingga si bayi ditambali nama, beberapa helai bulu kepalanyalah yang dicukur, dengan diiringi senandung salawat.
Kepala itu puncak. Di sekolah, ada istilah kepala sekolah. Di jajaran birokrasi pemerintahan, ada istilah Kepala Polri, Kepala BAPPENAS, dll. Tapi tidak ada istilah Kepala Koruptor.
Kepala itu sehat. Jenis-jenis penyakit banyak yang melibatkan kepala; sakit kepala dan pusing kepala. Ditambah lagi penyakit keras kepala dan kepala batu.
Kepala itu ajaib. Dalam komik-kartun Dragon Ball, manusia Iblis Bhu memakan Sun Go Ku, Sun Go Han, Pikkolo, dan Bezita, dan menelan mereka semua bukan ke dalam perut, akan tetapi ke dalam kepalanya.
Kepala itu lucu. Sewaktu berada di Yogya, pernah suatu kali saya direpet-marahi oleh kawan saya dengan ungkapan –maaf-; endasmu! atau gundulmu! Padahal saya tidak gundul.

***

Itulah fakta-fakta di sekitar sirah/kepala. Sebegitu menumpuknya, hingga bagi saya, kepala itu bukan sekedar fisik/bentuknya. Tapi kepala adalah simbol dari ide, gagasan, logika, rasa, kehormatan, marabat, dan software sekaligus hardware bagi setiap orang.
Jadi, sirah/kepala Nabi yang saya maksud di sini adalah gagasan, logika, alasan, cara berpikir, nalar, rasa, kehormatan, dan background dari semua tindakan, perkataan, dan keseluruhan apa yang ’diproduksi’ oleh Nabi SAW.
Jika sirah yang pertama (Arab) artinya adalah sejarah, maka sirah yang kedua (Jawa) artinya adalah kepala. Nah, kita seringkali berhenti dalam sirah yang pertama; sejarah Nabi. Sirah yang kita tahu adalah sejarah kapan Nabi SAW lahir, memasuki remaja, nikah, beruzlah, berperang, sampai bercocot-cicit di mana, siapa komunikannya, dan apa yang disampaikannya.
Hasilnya adalah berjilid-jilid dan beruas-ruas buku yang terpampang di rak bibliotika. Itulah yang sampai ke tangan kita. Terkadang kita pun hanya membaca dan mengingat-ingatnya sesekali. Hingga kita hanya menangkap tahun-tanggalnya. Kita hanya mengunyah nama besar tokohnya. Kita pun hanya mendelikkan mata pada kisah magis-mistis-aneh yang terjadi dengan Nabi Muhammad SAW.
Bagi saya, bukan hanya tahun-tanggalnya yang kita mau catat, bukan hanya jejak-jejak fisik langkah dan peristiwanya yang kita napak-tilasi, dan bukan pula hanya siapa-siapa tokoh yang hidup di masa itu yang mau kita tiru-contoh. Tapi sirahnya. ’Kepala’nya, alias sistem gagasannya, idenya, logikanya, alasannya, rasanya, dan ’mengapa’ semua itu terjadi.
Dalam istilah ilmu keislaman, ’kepala/sirah’ itu bisa disebut asbaabun nuzuul atau asbaabul wuruud-nya setiap peristiwa sejarah yang dialami Nabi SAW, orang-orang yang hidup di sekelilingnya, budayanya, dan peradabannya.
Tentu ’kepala’ itu tidak mudah dilihat dan dibaca secara fisik. Karena ’sirah’ itu, adalah sesuatu yang maujud secara tersirat. Sekalipun ia tersurat, ia jarang sekali diungkap.

***

Saya kira itulah mengapa kepala itu begitu penting-genting, suci-sakral, utama-awal. Bukan kepala dalam arti fisiknya yang terkadang bulat, lonjong, peyang, dan petak. Akan tetapi isi kepala itu. Gumpalan ide-idenya, logikanya. Sistem berpikirnya. Rasanya, yang semuanya itu menjadi landasan gerak dakwah dan aktifitas Nabi SAW. Itulah yang alur-aras-urus-aras yang harus kita praksiskan dalam tumpangan senafas hidup ini.
Penjelasan tentang adanya ’sirah/kepala’ itu, yang paling sederhana bisa dicermati dalam kasus larangan untuk berbohong. Kenapa beliau SAW sampai mengeluarkan larangan berbohong? Di balik itu ada logikanya, ada sistem berpikirnya, dan alur-latar sejarahnya mengapa Muhammad SAW sampai berani ber-hadits dengan isi yang seperti itu.
Bisa jadi waktu itu Muhammad SAW pernah dibohongi, atau yang sedang mendengar larangan itu memang suka berbohong. Jika pendengarnya sudah sampai pada level ’bersih’ dari kebohongan, maka saat itu pasti Nabi SAW tidak mengeluarkan larangan berbohong, akan tetapi perintah untuk menjaga konsistensi kejujuran (istiqomah).
Ini yang saya maksud dengan sirah/kepala itu. Begitu juga yang harus kita lakukan atas sejarah peradaban Islam yang berjalan kemudian pasca Muhammad SAW > Khulafaurrasyidin > Dinasti Umayyah > Dinasti Abbasiyah di Andalus yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia > Dinasti Umayyah di Cordoba, Spanyol > Dinasti Fathimiyah di Mesir > hingga kejatuhan khilafah Turki Utsmani di Turki pada bulan April 1924.
Sejarah dunia mencatat betapa banyak inovasi, eksperimentasi dan pengembangan kontributif umat Islam dalam masa-masa itu bagi tegaknya kemanusiaan. Tapi ingat, bukan keagungan, kesohoran, ataupun kebanggaan peradaban itu yang kita rapalkan, wiridkan, kita kutip, lalu kita promosikan sebagai bukti kejumawaan kita.
Akan tetapi sebab musababnya, sistem berpikirnya dan logika mengapa orang-orang yang hidup pada masa itu mampu meracik ramuan untuk membangun peradaban sedemikiran rupa besarnya.
Dus, jangan lupa mengakui bahwa sepanjang sejarahnya, peradaban politik-kebudayaan Islam selalu saja terselip di dalamnya awal yang dimulai dengan kecurangan-kecurangan dan puzzle intrak-intrik yang rumit. Ingatlah saat Mu’awiyah bin Abu Sufyan merebut kepemimpinan dari Ali ibn Abi Thalib KW.

***

Itulah sirah. Itulah kepala. Bagaimana supaya sirah itu terus terjaga, berlangsung, dan dapat kita baca, pakai, dan amalkan? Salah satu caranya adalah apa yang diungkapkan mba’ Miranda di atas.
Mengapa? Karena semua Nabi adalah manusia biasa yang juga pergi ke pasar seperti kita. Allah SWT berfirman dalam QS: 25: 20:“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka makan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain”.
Sekian. Wallahu a’lam bil-sirah nabi/kepala nabi.

*) Yasser Arafat
Pembaca http://mjskolombo.blogspot.com/, tinggal di Medan

Ketagihan Baca?......