Sabtu, Maret 08, 2008

Islam Lampu Merah

Islam di Persimpangan Lampu Merah
*) Oleh: Ahmad Sahide

Tulisan pendek nan remeh ini merupakan rasa terima kasih saya kepada penulis besar di negeri seribu masalah ini, yaitu Jalaluddin Rakhmat atau yang akrab kita sapa dengan panggilan; Kang Jalal. Salah satu buku tokoh asal Bandung tersebut yang saya kagumi adalah buku berjudul Islam Alternatif.
Kang Jalal dalam buku tersebut banyak memotret realitas Islam dari sisi yang remeh namun sangat dekat dengan dunia-kehidupan keseharian kita. Beliau mengatakan bahwa seorang intelektual adalah orang yang mampu membaca hal-hal yang terkecil di lingkungannya lalu memberikan respon atau solusi di sana. Hemat saya, hal kecil, remeh, dan sering dikesampingkan oleh kita semua, dan yang salah satunya harus kita potret saat ini adalah apa yang menjadi judul tulisan ini; Islam di persimpangan lampu merah.

Lampu Merah dan Islam?
Setiap saya keluar mengendarai sepeda motor, baik itu sendiri maupun beramai-ramai, seringkali saya menyaksikan para pengendara kendaraan tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas (lampu merah). Teman saya sendiri pun terkadang melakukan hal tersebut. Marilah kita renungkan relitas itu. Kenapa ia bisa terjadi? Apa motifnya serta bagaimana Islam memandang hal itu?
Allah berfirman dalam QS: 67: 3-4: Artinya:
“maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah”
Marilah fenomena itu kita lihat berulang-ulang dan kita pertanyakan. Seandainya pelanggar lampu merah tersebut kita tanyai: apakah melanggar rambu lalu lintas itu ada kaitannya dengan Islam? Bagaimanakah jawaban mereka?
Terbayang dalam pikiran saya bahwa mungkin bagi mereka -dan bahkan kita semua menganggap- bahwa pelanggaran tersebut tidak ada hubungannya dengan agama (Islam). Begitu juga dengan mematuhinya.
Bagi mereka dan kita, mungkin akan terdetak sebuah keyakinan kolektif bahwa mau melanggar atau tidak itu bukan urusan Islam, apalagi urusan Tuhan. Karena di dalam Alquran pun tidak ada tertera ajaran untuk membuat lampu merah. Karena itu kita pun seolah tidak mau tahu apa itu lampu hijau, kuning, dan merah yang menyala yang telah terpasang di perempatan jalan. Tapi ini urusannya dengan bapak polisi yang sering melakukan kekerasan kepada rakyat kecil. Karena bapak polisi sering menindas, memeras, atau sering melakukan tindakan sesemprit dua puluh ribu. Maka kiranya setimpal kalau para pengemudi kendaraan tidak mematuhi aturannya.

Pembangkangan sesama
Kita tentu tidak bisa menyalahkan sepenuhnya logika tersebut. Karena pelanggaran itu bisa dimaknai sebagai wujud pemberontakan terhadap aparat yang sering lalai dengan tugasnya sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Namun, pernahkah kita - bagi yang sering melanggar lampu merah- berpikir lebih jauh apa dampak dari pelanggaran lampu merah itu? Bukankah itu sebuah tindakan egois? Apa efek dari egoisme kita yang selalu nyelonong saat lampu merah di perempatan jalan sedang berkedip?
Hemat penulis, pelanggaran itu merupakan satu tindakan pembangkangan kita terhadap sesama kita. Pembangkangan yang dibangun di atas nafsu, dikuatkan egoisme jiwa, dan ditembok keacuhan sosial kita.
Penulis sering melihat dan bahkan mengalami sendiri akibatnya. Karena ulah pembangkangan egoistis itu jalan menjadi macet, polusi memuncak, berisik membahana, keresahan selalu datang mengancam, kecelakaan menghantui, dan bensin pun habis –dan harga BBM sekarang amat mahal!
Karena ulah itu, banyak orang terlambat masuk kantor, banyak orang yang merasa dirugikan, banyak orang yang lalai dari tanggung jawabnya, dan lain sebagainya. Tentu ini tanpa bermaksud membesar-besarkan masalah. Ini seringkali terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Yogyakarta.
Dampak dari keegoisan itulah yang akan kita lihat dengan menggunakan kaca mata agama. Memahami Islam, dengan menggunakan pendekatan bahasa, mempunyai asal kata ‘aslama’ yang berarti keselamatan, kedamaian dan ketentraman. Jadi Islam adalah agama yang membawa keselamatan, kedamaian dan ketentraman bagi umatnya dan seluruh alam (rahmatan lil’alamiin).
Ini dapat dimaknai bahwa orang yang ber-Islam itu terwujud dalam bagaimana ia bersikap dan berperilaku setiap harinya dengan mengedepankan keselamatan, kedamaian, dan ketentraman bagi dirinya dan sesama.
Pesan yang bisa kita tangkap melalui penuturan singkat ini adalah bahwa Islam jangan terlalu sempit untuk dimaknai hanya sebatas ritual (Salat, Puasa) kepada sang khaliq. Bisa jadi di satu sisi kita salat tepat-waktu atau puasa tepat-hari, namun, di sisi lain kita mungkin tidak pernah mencoba melebarkan makna dan menemukan Islam di persimpangan lampu merah.
Muhammad Abduh, seorang ulama Mesir suatu ketika menyempatkan diri berkunjung ke London. Setiba di negeri yang sekuler dan berpenduduk mayoritas non-muslim itu, beliau meyakini bahwa Islam tidak dapat ditemukan di Mesir yang hampir seratus persen penduduknya muslim. Justru di London lah Islam bisa kita temukan. Ceritanya juga dari lampu merah di mana beliau melihat orang-orangnya patuh, disiplin, ramah, dan tidak egois.
Bagi kita umat Islam, marilah kita lihat agama kita ini yang sedari awal telah sarat dengan ajaran untuk disiplin, peduli sesama, dan tidak merugikan sistem kehidupan. Bukankah salat lima waktu sehari semalam itu mengajarkan kedisiplinan dan puasa mengajarkan untuk jauh dari keegoisan?
Saya tidak punya otoritas untuk menjustifikasi apakah saat kita melanggar lampu merah, ini berarti bahwa Islam kita patut dipertanyakan. Tapi paling tidak ini menjadi bahan refleksi bagi kita semua selaku umat Islam. Islamkah kita saat kita berada di luar masjid? Jawab sendiri!

*) Ahmad Sahide
Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal di Gamping

Ketagihan Baca?......

Rabu, Maret 05, 2008

Pahlawan Kesiangan

Menjadi Pahlawan Tanpa Kesiangan: Refleksi Hari Pahlawan
*) Oleh: Ihab Habudin

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.”
(QS. 22: 78)

Tiga bulan pasca kemerdekaan, tepatnya tanggal 10 November 1945, di Surabaya, para pejuang bangsa kembali berperang. ‘Berani-nekad’ demi terciptanya kehidupan yang bebas dari kezaliman adalah modal mereka. Miskinnya pengalaman dan minimnya senjata bukanlah penghalang. Benak mereka hanya dihuni dua kata; merdeka atau mati. Hasilnya, penjajah berhasil diusir.
Sungguh peristiwa penting. Terlebih, sejarah mengatakan bahwa arek-arek Surabaya yang menjadi pelopor perjuangan tersebut banyak yang berasal dari kaum santri. Inilah yang harus kita lihat, bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai agama doktrinal yang hanya mengatur kesalehan individual saja, melainkan sebagai spirit pembebasan untuk melawan penjajahan. Islam tidak hanya diinsyafi untuk memenuhi spiritualitas pribadi saja, melainkan sebagai landasan untuk membela sesama (baca: rahmatan lil ‘alamin).
Jadilah keberanian berjuang dan berkorban -yang adalah jiwa pahlawan- juga merupakan bagian dari nilai substantif ajaran Islam. Ayat yang penulis kutip di atas merupakan sebagian kecil ajaran Islam yang menandaskan pentingnya perjuangan dan pengorbanan. Ada sebuah hadits semakna yang artinya berbunyi: “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika tidak mampu maka hendaklah merubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu (juga), maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Allah SWT juga berfirman dalam QS: 3: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”

Disorientasi Makna
Fakta di atas dapat kita maknai bahwa sejatinya manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki etos kepahlawanan yang terintegrasi dalam dirinya, keberanian untuk menegakkan kebaikan, dan kelurusan dalam menumpas segala bentuk kemungkaran. Itulah peran sentral manusia di muka bumi ini, yaitu; sebagai khalifah (QS: 2:38).
Namun sayang, kini kita banyak menjumpai masing-masing dari kita kering-kerontang akan etos kepahlawanan ini. Bahkan, dalam hidup berbangsa dan bernegara, kita mengalami disorientasi makna kepahlawanan. Kemampuan untuk berkorban dan keikhlasan berjuang di jalan yang benar sering diposisikan dalam tempat yang salah. Keberanian tidak tampak dalam menegakkan keadilan dan membabat habis tindak kejahatan. Malah sebaliknya, yang kerap tampak dari diri kita adalah keberanian berbuat noda dan dosa.
Banyak dari kita yang tanpa tanggung jawab mengeksploitasi alam secara besar-besaran, tanpa rasa malu mengkorupsi uang rakyat, tanpa sadar dilihat sang pencipta nyaman dengan budaya foya-foya (hedonisme) dan menumpuk harta, tanpa rasa risih melanggengkan budaya konflik dan kekerasan, dan masih banyak lagi.

Mau jadi pahlawan kesiangan?
Akibatnya kita semua seolah telah menjadi pahlawan kesiangan. Karena untuk berkorban saja masih banyak di antara kita yang menempatkannya di ruang yang salah. Kita baru mau memberi sedikit derma pada kaum papa, korban bencana, rakyat miskin dan kaum tertindas, bila di sana kepentingan pribadi dan golongan kita bisa (ter)dipenuhi. Kita baru ‘berlomba dalam kebaikan’ bila musibah dan bencana telah menerpa. Kita juga hanya bersedia mengulurkan tangan hanya sebagai bagian dari ritual saja. Seolah-olah berbuat kebaikan itu hanya dianjurkan pada saat dan waktu tertentu saja. Tentu demi kepentingan tertentu pula. Inilah yang penulis sebut sebagai etos pahlawan yang kesiangan. Ia tidak tahu kalau ia kesiangan, dan tidak sadar kalau hari sudah siang. Ah, betapa malunya menjadi hamba Tuhan yang seperti ini.
Fenomena membanjirnya bantuan untuk korban bencana dan membludaknya zakat harta hanya pada bulan Ramadlan saja menjadi bukti yang tak terelakkan. Faktanya, setelah bencana berlalu dan Ramadlan lewat siapa lagi yang berani berjuang dan berkorban membantu kaum miskin dan terpinggirkan? Sangat minimalis.
Padahal berjuang dan berkorban di jalan Allah tidak terikat ruang dan waktu. Tidak hanya setelah bencana dan musibah menerpa. Tidak hanya pada bulan Ramadlan dan hari-hari suci lainnya. Tidak terikat kepentingan pribadi dan golongan, dan tidak pula karena ingin dipuji mesti perbuatan baik itu untuk kepentingan umat.
Bukankah Rasulullah SAW mengabdikan seluruh hidupnya untuk berjuang dan berkorban? Apa yang dilakukan beliau tersebut semata-mata demi cinta kepada Allah SWT dan umatnya. Hingga menjelang wafat pun beliau masih mengingat nasib umatnya. Hal ini menandakan bahwa apa yang dilakukannya jauh dari hanya sekedar membela kepentingan pribadi dan golongan, dan tidak terbatas hanya pada waktu tertentu.
Maka, perlulah kini kita merefleksikan diri dan menerapkan apa yang menjadi tanggung jawab kita sebagai khalifah di muka bumi ini; berjuang bersungguh-sungguh (baca: berjihad) dan berkorban, apapun ideologi, ormas, partai, mazhab, bahkan agama kita. Karena kita semua adalah manusia yang bertugas memakmurkan dunia lewat medium berjuang dan berkorban. Berjuang dan berkorban haruslah tanpa pamrih dan bebas gravitasi kepentingan demi terciptanya kehidupan yang lebih manusiawi. Itulah etos kepahlawanan. Jadi, masihkah kita mau menjadi pahlawan kesiangan? Wallahu a’lam.

*) Ihab Habudin
Ketua Bidang Kajian Strategis [Kastrat] HMI MPO Cabang Yogyakarta, tinggal di Karangkajen

Ketagihan Baca?......