Jumat, Februari 01, 2008

Perlunya Agama

Tuhan, Ilmu, dan Makna Agama
*) Khoirul Anwar

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(QS: 30: 30)

Pada era industri ini, pendangkalan keyakinan manusia akan Tuhan semakin tampak nyata di depan mata. Kemajuan ilmu dan teknologi yang ditandai dengan kemampuan akal (rasionalitas), kepercayaan atas realitas faktual (empirisme), dan semangat eksperimentasi, telah melahirkan kemerdekaan manusia untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.

Dua Gejala
Setidaknya, hemat penulis, ada dua gejala besar yang bisa kita tandai dari kasus kebebasan manusia untuk lari dari Tuhan ini.
Pertama, gejala yang tampak dari mereka yang terang-terangan tidak beriman dan tidak “peduli” pada Tuhan. Realitas dunia ini mereka serap dan susun hanya sekedar untuk memenuhi kemampuan dan kepentingan mereka baik sebagai konglomerat, filosof, ilmuwan, dan lain sebagainya. Inilah titik kemunculan anggapan bahwa tugas orang yang berakal (rasional), ilmiah, kaya, dan teremansipasi, adalah untuk membunuh Tuhan.
Kedua, gejala itu tampak dari mereka yang mengaku beriman pada Tuhan. Namun, Tuhan telah mereka lupakan dan campakkan dalam lakon kehidupan sehari-hari yang mereka jalani atas dasar hawa nafsu, kepentingan, dan keinginan untuk menjadi penguasa atas manusia lainnya. Mereka pun korupsi, berambisi pribadi, menghancurkan alam, dan merusak tatanan sosial.
Dua gejala besar yang akut itu telah menjangkiti semua manusia. Termasuk orang-orang muslim yang beriman pada Allah SWT, yang shalat lima kali sehari, yang berhaji setiap tahun, yang rutin berzakat, dan yang begitu tampak saleh di depan publik.
Pertanyaannya, apakah dengan menyingkirkan Tuhan, mereka dan bahkan kita semua mampu memberikan “obat” untuk menyembuhkan penyakit kehidupan modern ini? Apakah saat nafsu dan kepentingan menjadi landasan hidup telah kita praktekkan, lantas ketakutan-ketakutan kita jadi hilang?

Ilmu: Kehilangan Arah
Kegalauan masyarakat bukannya berkurang, akan tetapi semakin parah. Berkat kemajuan buah pikir cemerlang teknologi dan sains lainnya, manusia semakin mudah untuk saling memusnahkan satu sama lain. Modus operandi kejahatan semakin rapi, kerusakan moral semakin tak terbendung, penindasan sesama manusia bertambah pinak.
Sains dan teknologi telah kehilangan arah tujuan semulanya sebagai alat untuk memakmurkan dunia. Kecanggihan teknologi hanya menjadi malapetaka bilamana para pemegangnya tak bermoral.
Hal ini menunjukkan adanya sikap manusia yang mencabut roh ketuhanan. Padahal, kemajuan teknologi tanpa didukung nilai-nilai ke-Tuhan-an tak ubahnya seperti orang buta yang dipegangi pedang dan ngawur menggunakannya.
Ilmu pengetahuan yang semula oleh Allah diturunkan agar manusia bisa menemukan jati diri dan keberadaan Tuhannya (sangkan paraning dumadi), kini malah sebaliknya. Ilmu pengetahuan yang kita miliki semakin menjauhkan diri kita dari Tuhan.
Seperti yang dikatakan TS Eliot, semakin hari ilmu pengetahuan hanya membawa kita kepada kebodohan. Sedangkan kebodohan kita, membawa kita semakin dekat kepada kematian. Anehnya, walaupun semakin dekat dengan kematian, mengapa kita malah bertambah jauh dari Tuhan.
Begitulah, jika Tuhan dijauhkan dari hidup ini. Pandangan kita hanya dijejali oleh keinginan bagaimana memuaskan hawa nafsu, ambisi, materi, dan kepentingan sesaat semata. Kita pun diperbudak oleh benda-benda mati yang seharusnya kita kendalikan.

Hanif: Agama Sebagai Sistem
Firman Allah SWT di atas menjelaskan bahwa agama merupakan kebutuhan. Kalau boleh dikatakan, agama adalah roh manusia yang bisa membuat manusia hidup dan bersemangat dalam mengarungi ganasnya kehidupan.
Sudah menjadi tabiat manusia bila ada masalah di luar kemampuannya, mereka akan mencari penolong yang dianggap memiliki kekuatan di atas segala kekuatan untuk dimintai pertolongan (QS:17:83). Pemilik kekuatan linuwih inilah yang dinamakan “Tuhan”.
Sudah menjadi fitrah bila manusia merindukan Tuhan. Ini semua tak lepas dari kejadian awal manusia yang suci, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari, dan menemukan Tuhan. Itulah ajaran yang disebut hanif.
Melalui kehanifan ini, manusia berusaha mencari kebahagiaan hakiki yang akan tercapai bila manusia mampu menemukan kesejatian (ma’rifat) Tuhan (QS:89:27-30).
Untuk itu, kita memerlukan sebuah sistem hanif yang akan menghantarkan kita tepat pada sasarannya. Sistem inilah yang kita sebut dengan agama.
Agama dipandang sebagai cara atau sarana untuk menemukan kebutuhan dambaan manusia. Walaupun, di abad modern ini, ada yang percaya bahwa agama akan segera tergantikan oleh ilmu pengetahuan.
Namun, kini setelah kemajuan besar tercapai oleh pengetahuan, manusia tetap merasakan adanya kebutuhan terhadap agama berkenaan dengan bagaimana manusia meraih kebahagiaan pribadi dan sosialnya.
Tuhan adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia. Hal ini didasari oleh sifat manusia yang ingin memenuhi kebutuhan spiritualnya tanpa batas, ingin melepaskan diri dari wujud terbatas, dan ingin mencapai inti wujud (Tuhan).
Pada diri manusia terdapat dorongan dan dambaan yang tidak akan menetap, tenang dan tentram, kecuali jika telah berhubungan dengan sumber inti wujud ini (Tuhan).
Tanpa Tuhan, politik dan moralitas akan menjadi pragmatik dan licik, jiwa-jiwa mendadak gersang, bencana pun semakin mengerikan.

Agama Sebagai Sarana
Tetapi, yang perlu dicatat saat ini adalah agar agama tetap berada dalam fitrahnya, yakni sebagai kebutuhan pokok manusia dan tidak dianggap sebagai “opium”. Maka tugas kita adalah bagaimana menerjemahkan (memaknai) agama itu sendiri dalam bentuk praktek membuat kebaikan bagi alam semesta (hamemayu hayuning bawono) dalam kehidupan sehari-hari (QS:21:107).
Hal ini penting, agar agama itu tidak kita pandang hanya sekedar ritual rutin yang bisa menyebabkan kita menganggap diri kita ini paling saleh setelah menjalankannya. Jika kita masih seperti itu, mungkin itulah agama yang disebut candu. Wajar, kalau manusia modern pun akan semakin sanksi dan pada akhirnya akan menciptakan agama (aliran-aliran) baru bahkan Tuhan baru.
Jadi, memaknai agama dengan sebenarnya adalah keharusan bagi setiap umat beragama supaya agama benar-benar menjadi suatu kebutuhan manusia yang hanif tersebut. Sehingga keberadaan agama tetap langgeng dan tak tergantikan oleh paham-paham sesat lainya.
Agama bukanlah ”berhala” yang harus disembah. Agama hanyalah sebuah sarana menuju keesaan Allah SWT. Marilah kita hitung, berapa banyak di antara kita yang lebih beriman pada agamanya daripada beriman pada Allah SWT? Wallahu a’lam.

*) Khoirul Anwar
Warga Komplek Masjid Baiturrahman Gowok Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Terminal Cahaya

Menuju ’Terminal Cahaya’
*) Oleh: Muhammad Mufid

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: AKU hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah KAU hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji dan mensucikan-Mu. DIA berfirman, Sungguh AKU mengetahui apa yang tidak kamu ketahui
(QS:2:30)

Mungkin kita jenuh menyaksikan bangsa Indonesia yang carut-marut ini. Berbagai ujian datang silih berganti. Seperti bencana alam (banjir, tanah longsor, abrasi dan erosi), busung lapar, pembunuhan, teror bom, hingga gejolak dan kerusuhan di penjuru nusantara.
Puluhan, ratusan bahkan ribuan nyawa telah melayang. Kiamat shughra (kecil) ini seharusnya menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi bangsa Indonesia. Kita yang masih dapat menikmati indahnya kehidupan seharusnya sadar bahwa masih banyak nikmat Allah SWT yang tak terhitung nilainya telah melalaikan kita dari-Nya.
Negara Indonesia mayoritas berpenduduk muslim. Tetapi penyimpangan sosial dari level tertinggi hingga tingkat RT/RW selalu terjadi. Dengan label Islam, segala aktifitas yang berorientasi pada egoisme pribadi dan kelompok seakan-akan menjadi sah.
Ketika rakyat kecil tertimpa bencana dan kenaikan harga-harga seperti saat ini, ketika itu pula para pejabat bermewah-mewah dan minta naik gaji. Malah persoalan kenaikan harga yang menjulang tinggi, kalah oleh persoalan sakitnya seorang mantan presiden. Jelas, kondisi ini semakin menambah catatan buruk para malaikat di atas sana.
Sayang, kondisi kerusakan seperti ini semakin hari kian meningkat drastis. Akankah Allah SWT mengampuni? Coba kita renungkan, jika seluruh bumi Indonesia ditimpa bencana dan kenaikan harga-harga bahan pokok semakin menjadi-jadi, masihkah kita sempat menanyakan di manakah Tuhan yang maha pengasih dan penyayang itu? Manakah Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta itu?
Masih pantaskah kita mendapatkan predikat “pangeran” atau khalifatullah fil-ardhi? Jangan-jangan, para malaikatlah yang benar; bahwa manusia kelak akan menjadi perusak (trouble maker) di muka bumi ini.

Kelupaan Sejarah
Allah SWT tidak membiarkan manusia diturunkan ke bumi begitu saja tanpa bekal. Hak istimewa berupa predikat khalifatullah fil-ardhi telah dilabelkan kepada manusia sebagai makhluk tertinggi dibandingkan makhluk lain.
Pada prinsipnya, manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain sebagai makhluk ‘abdiyah (hamba-Nya) dan khalifiah (pangeran di muka bumi). ‘Abdiyah tidak hanya dimaknai sebatas menjadi hamba yang berserah diri (surrender) dan taat (obedience) melaksanakan ibadah tanpa ada usaha sedikit pun (QS:51:56).
Tetapi, ia memiliki beragam potensi yang menjadi bekal untuk survive mengemban amanah-Nya di muka bumi. Mengenai potensi ini, setiap manusia dikaruniai tiga potensi dasar.
Pertama, ruh. Ruh tercipta di alam ruh dan diberikan potensi ilahiyah-tauhidiyah. Kemudian manusia mengadakan kontrak perjanjian dengan Tuhannya, dan dia bersaksi bahwa Allah SWT adalah Tuhannya (QS:7:172). Di alam ruh ini, nilai-nilai yang bersumber dari asmaul husna ditransfer dalam bentuk potensi ‘abdiyah dan khalifiah.
Kedua, jasad. Jasad ini tercipta di alam dunia. Manusia diberikan potensi-potensi jasadiyah yang terwujud dalam bentuk nafsu sebagai bekal survive jasadiyah sekaligus sebagai wahana bagi ruh untuk mengenal Tuhannya sewaktu hidup di alam dunia.
Ketiga, Aql (akal). Potensi ini berfungsi sebagai penyerap dan pengolah ilmu Allah SWT. Selain itu, akal berfungsi untuk mengintegrasikan proses perkembangan ruh dan jasad. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.
Gabungan dari ketiga potensi dasar ini membentuk manusia yang berujung pada predikat khalifah. Disadari atau tidak, sebenarnya manusia mewarisi sifat agung Tuhan yang biasanya kita sebut dengan nama-Nya dalam asmaul husna. Potensi ini dapat diaktualisasikan melalui ruh, jasad dan akal.
Maka, sungguh sangat tidak logis jika manusia merusak alam semesta. Apalagi sampai melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus peduli terhadap hamba-hamba yang lainnya. Jika ada manusia yang saling menyakiti dan mergikan, maka itulah sebuah petunjuk bahwa manusia telah menyalahi kodratnya sebagai ‘pangeran’.
Mengapa selama ini manusia lalai akan amanah-Nya? Salah satu penyebabnya adalah karena manusia ternyata telah tidak lagi memahami sejarahnya. Manusia telah menjadi makhluk a historis. Ia lupa akan hakikat penciptaan dirinya, kodratnya, dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan akan ke mana nantinya ia akan kembali.

Makna Ibadah
Hakikat tugas manusia ialah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah dapat didefinisikan sebagai komunikasi dan dialog kreatif antara dua diri, yaitu diri yang mutlak (Allah SWT) dengan diri yang tidak mutlak/terbatas (manusia).
Keberadaan diri yang mutlak (Allah SWT) bersifat abadi dan tidak ada yang mampu merubah kehendak-Nya, kecuali DIA sendiri. Sedangkan manusia adalah makhluk serba terbatas. Segala kehidupannya telah ditetapkan dan ia tidak berwenang melawannya.
Namun demikian, manusia diberikan otoritas untuk mengubah pola hidup, alur pikir, dan tingkah lakunya, karena Tuhan pun tidak akan merubahnya kalau bukan manusia sendiri yang berusaha (QS:13:11).
Manusia seyogyanya menyesuaikan diri dengan proses penciptaan-Nya sewaktu ia menjalani proses dialog dengan Tuhannya itu. Karena proses penciptaan tidak akan pernah berhenti. Termasuk proses perubahan (evolusi) alam semesta ini.
Untuk dapat berkomunikasi dan berdialog dengan Tuhan, tidaklah terbatas pada ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat ataupun puasa. Tetapi ibadah ini dapat diperoleh melalui berbagai macam cara dengan beramal saleh.
Jika manusia tidak mampu menyelaraskan diri dengan alam, melupakan urusan yang berkaitan dengan orang banyak, dan meletakkan kepentingan pribadi di atas segala-galanya, maka dia akan bertentangan dengan Tuhan.

‘Terminal’ Cahaya
Jagad raya ini memiliki kontrol terhadap segala aktifitas kehidupan manusia jika ia bertindak sewenang-wenang. Contoh paling nyata; jika ada seorang pemimpin yang lebih kaya dari rakyatnya, maka rakyat pun akan resah, marah, dan kesal. Itulah kontrol alam semesta itu.
Tanpa disadari, bukan hanya seorang pemimpin zalim itu saja yang akan merasakan kontrol itu, akan tetapi semua manusia. Allah berfirman: telah nyata kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia. Dia akan menimpakan sebagian akibat perbuatannya kepada mereka, agar mereka dapat lembali (QS: 30:41).
Dalam konteks ini, penyelarasan diri dengan alam semesta, pengedepanan kepedulian sesama, dan pengikisan egoisme kita, dapat kita lakukan dengan mengoptimalkan pemakaian potensi dasar; ruh, jasad, dan akal.
Meskipun ada yang mengatakan bahwa jasad, akal, dan ruh kita itu terbatas, namun, tiga alat itu mutlak tidak boleh kita tinggal dan tanggalkan. Justru karena ruh, jasad, dan akal kita itu terbatas, maka kita harus menggunakannya secara full (penuh, hingga puncak). Kalau tidak full, maka amat sangat rugi kita menjadi khalifah-Nya.
Tiga alat itulah yang nantinya akan mengantarkan kita ke ujung pengembaraan di ’terminal’ cahaya Tuhan. Saat ini, hemat saya, ’terminal’ itu masih sepi. Sedikit sekali yang baru sampai di sana. Itu pun dia masih kebingungan. Mari kita berangkat ke sana. Carilah tiket yang benar, jangan lewat calo! Wallahu a’lam.

*) Muhammad Mufid
Staf Pendidik Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Hijrah Hangat

Menghangatkan Makna Hijrah
*) Oleh: Muhammad Syamsul Hadi

Adalah sebuah kenyataan bahwa Indonesia, yang penduduknya mayoritas muslim, sedang dilanda krisis multidimensi; krisis keyakinan, kriris moral, krisis politik, dan krisis ekonomi yang terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan bisa jadi hingga beberapa tahun ke depan.
Bertepatan dengan masih hangatnya tahun baru Hijriyah 1429 ini, maka marilah momentum ini kita poles menjadi ajang introspeksi diri kita secara kolektif demi memperbaiki atau mereformasi kenyataan krisis tersebut. Oleh karena itu, perlulah kiranya kita menghangatkan kembali makna hijrah dalam konteks kekinian.


Muhammad SAW Sang Reformis
Muhammad SAW adalah Rasul dan tokoh yang harus diteladani bagaimana beliau memperbaharui, memperbaiki, atau mereformasi keadaan bangsa Arab yang jauh lebih buruk daripada keadaan Indonesia saat ini.
Seribu tahun lebih yang lalu, Muhammad SAW dan para sahabat, berhijrah dari Makkah ke Madinah, meninggalkan tempat kelahirannya, harta-benda, sanak-keluarga, hingga keluarga terdekat sekalipun.
Mereka hanya membawa keimanannya yang baru, keimanan yang menjanjikan akan kebenaran yang hak. Mereka pun menanggalkan kejahiliahannya. Sampai di Madinah, Rasulullah SAW beserta para sahabat memulai kehidupan baru yang jauh lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya.

Konversi Keyakinan
Bagi penulis, hijrah adalah peristiwa yang menunjukkan adanya konversi keyakinan, perbaikan dan penyempurnaan moral, sekaligus reformasi politik. Hijrah dalam bentuk inilah yang seharusnya dilaksanakan saat ini, bukan hijrah yang berarti pindah dari satu kota ke kota yang lain.
Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda: Tidak ada hijrah lagi sesudah fathu Makkah selain jihad, niat, dan apabila diserukan berangkat (pergi berperang) maka berangkatlah (HR. Bukhari).
Arab sebelum Islam adalah masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap banyak tuhan (politeisme), penyembah berhala, yang disebut Allah SWT dalam al Qur’an sebagai kaum musyrik.
Diutusnya Muhammad SAW adalah tanda akan beralihnya keyakinan mayoritas masyarakat Arab jahilliyah kepada keyakinan akan keesaan Allah SWT. Realisasi konversi keyakinan ini terlihat jelas dalam peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat ke Madinah.
Para sahabat, baik dari golongan Muhajirin dan Anshar di bawah bimbingan Rasulullah SAW, merombak dan membangun umat yang sepenuhnya meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa. Inilah reformasi dan konversi keyakinan itu.
Mungkin ada di antara kita merasa heran dan bisa jadi kemudian akan melontarkan pertanyaan; kami sebagai seorang muslim, yang telah meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, apa perlunya bagi kami untuk “mengkonversi” keyakinan lagi?
Ya. Memang orang yang mengaku dirinya muslim tentu telah berulangkali mengucapkan kalimat syahadat. Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut sepenuhnya telah kita tanamkan dalam hati dan telah diterapkan dalam perilaku kita?
Perlu diingat, bahwa syirik tidak hanya berarti menyekutukannya dengan berhala, seperti yang pernah dilakukan oleh masyarakat Arab jahiliyah, tetapi juga berarti menyekutukan-Nya dengan apa saja; baik manusia, binatang, harta benda atau makhluk ciptaan-Nya yang lain, termasuk hawa nafsu diri manusia sendiri.
Allah SWT berfirman dalam QS: 45: 23: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Menyekutukan Allah dengan tuhan hawa nafsu inilah yang sering tidak disadari dan sulit dihindari, walaupun oleh seorang yang mengaku dirinya muslim. Dampak dari penuhanan hawa nafsu, kiranya kita telah mengetahuinya bersama. Mereka yang menuhankan (baca: menuruti) hawa nafsunya, disebut Allah SWT dalam QS: 25: 26: hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
Oleh karenanya, cukup beralasan bagi penulis untuk menyerukan sebuah reformasi, perbaikan, dan konversi keyakinan umat Islam saat ini; dari keyakinan dan kepatuhan kepada hawa nafsu, menuju kepada keyakinan yang sejati dan sempurna. Keyakinan itu adalah hanya kepada Allah SWT semata. Bukan kepada hawa nafsu, pangkat, nama, jabatan, harta dan lainnya. Maka, bagi kita yang sampai saat ini masih “menyembah hawa nafsu” kita, marilah kita menjadi orang yang “murtad” dari agama hawa nafsu kita itu.

Reformasi Moral
Hijrah juga mempresentasikan reformasi moral. Moral Arab sebelum Islam sangat menyedihkan. Pembunuhan anak perempuan adalah salah satu kebobrokan moral Arab yang sangat fenomenal. Bahkan sahabat Rasulullah SAW yang terdekat pun pernah melakukan hal ini tatkala belum beriman. Beliau adalah Umar bin Khattab, khalifah yang kedua setelah Abu Bakar. Kebobrokan moralnya dan moral bangsa Arab pun lenyap seketika setelah beliau menyadari dan mengikuti dakwah Rasulullah SAW.
Saat ini degradasi moral kembali terjadi. Seringkali kita mendengarkan peristiwa-peristiwa yang memalukan dan menyedihkan; pembunuhan, pemerkosaan, sex bebas dan masih banyak lagi contoh yang lain. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh mereka yang bukan muslim, tetapi juga mereka yang mengaku dirinya seorang muslim.
Oleh karena itu, hijrah yang relevan untuk direaktualisasikan juga adalah hijrah dari kebobrokan moral yang kembali terjadi saat ini. Reformasi moral perlu diterapkan kembali seperti yang telah direalisasikan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Rasulullah SAW sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. Al Bazzaar).

Reformasi Sosial
Sebelum Islam, Arab terbagi menjadi banyak suku atau kabilah. Seringkali antara kabilah yang satu dengan kabilah yang lain saling memerangi. Muhammad SAW sendiri, sebelum diangkat sebagai rasul, pernah mengikuti peperangan antar suku atau kabilah tersebut.
Permusuhan dan peperangan tersebut segera berakhir setelah Muhammad SAW diutus-Nya. Satu persatu, suku-suku tersebut berhasil didamaikan dan dipersatukan. Awal dari semua ini adalah ketika Rasulullah dan para sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Kaum Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan, suku Aus dan Khazraj dan kemudian suku-suku yang lainnya dipersatukan. Perjanjian antara kelompok, suku, agama diselenggarakan. Maka tercatat di dalam sejarah, bahwa Rasulullah SAW bersama dengan kaum muslimin saat itu menunjukkan bukti reformasi politik yang diwujudkan dalam piagam Madinah.
Sikap, sifat, dan watak Rasulullah SAW dalam berhijrah sudah seharusnya diteladani oleh pemimpin Indonesia dan kita semua. Duduk di kursi jabatan, pemerintahan, dan posisi penting lainnya bukanlah sebagai ajang berkompetisi mencari nama ataupun kekayaan, akan tetapi sebagai ajang berkompetisi untuk melayani rakyat.
Itulah hijrah yang sejati. Mudah-mudahan kita semua bisa melaksanakannya, mumpung suasana tahun baru Hijriyah ini masih hangat. Wallahu a’lam.

*) Muhammad Syamsul Hadi
Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Bencana Tutup-buka

Bencana Di Dua Tutup-Buka Tahun
*) Oleh: Nasrullah

Dan jikalau penduduk suatu bangsa itu beriman dan bertaqwa, maka sungguh akan Kami buka kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa (beri cobaan) kepada mereka disebabkan atas perbuatannya
(QS: 7: 96)

Tahun silih berganti, bencana tak kunjung reda. Itulah nasib yang dialami bangsa Indonesia. Badai tsunami melanda, gempa bumi, lumpur panas, tanah longsor, kecelakaan transportasi, hingga banjir bandang yang baru-baru ini melanda hampir seluruh pulau Jawa.
Bencana yang terjadi di Indonesia ini terasa ‘istimewa’ bagi kita. Istimewa, karena kita mengalami bencana di dua tutup-buka tahun atau di dua penghujung sekaligus pembuka dua tahun baru. Tahun baru Masehi dan tahun baru Hijriyah. Mengapa terus terjadi bencana?


Kesalehan Ritual dan Kesalehan Natural
Ebit G. Ade, penyanyi yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, pernah menyanyikan sebait lagu yang telah menjadi soundtrack bencana. Marilah kita perhatikan isi lagu Berita Kepada Kawan yang dinyanyikannya itu: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Kutipan lagu tersebut memandang bahwa bencana yang selama ini melanda bangsa kita merupakan suatu peringatan agar kita kembali lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Kita juga harus menjaga dan merawat kelestarian dan keseimbangan ekosistem atau lingkungan yang kita huni ini sebagai ciptaan-Nya.
Dengan kata lain, hendaknya kita bisa memiliki kesalehan ritual dan kesalehan natural. Keduanya harus seimbang. Kita dituntut untuk saleh dalam hal ibadah kepada Allah SWT, juga saleh kepada alam. Saleh kepada alam dengan melakukan perbuatan yang tidak merusak dan merugikan alam.
Bencana alam memang sering mendorong kita untuk lebih meningkatkan kesalehan ritual dengan berdzikir dan berdoa, tetapi kita jarang mau sadar bahwa kesalehan natural juga suatu hal yang amat penting. Taubat dan rajin melakukan perintah ritual dianggap sudah bisa menjauhkan kita dari bencana.
Memang sulit diakui bahwa kesalehan natural atau hidup selaras dan seimbang dengan alam dapat membebaskan kita dari bencana alam. Kita tidak pernah mengubah pola hidup kita untuk lebih selaras dan seimbang dengan alam. Kebanyakan dari kita tidak terbiasa memahami bahwa bencana berhubungan dengan perilaku maksiat atau dosa atas alam yang sering dianggap tidak sepenting dosa syirik, mencuri, judi ataupun zina.

Bagaimana Seharusnya Kita?
Bencana atau musibah memang sudah menjadi suratan takdir. Kapan, bagaimana, dan di mana bencana itu akan terjadi, tidak akan ada yang tahu. Namun, sebagai manusia kita dituntut untuk berikhtiar bagaimana untuk dapat mengantisipasi atau menghindari bencana sekaligus berfikir untuk hari esok, di samping bersabar, tabah dan tawakkal atas apa yang terjadi dan menimpa diri kita sekarang ini.
Firman Allah SWT dalam QS: 13: 11 menyebutkan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum jika mereka tidak merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Bencana apapun yang menimpa kita, entah diakui atau tidak, semuanya ini adalah karena ulah perbuatan kita sendiri yang tidak pernah peduli dan cinta alam. Adanya penambangan pasir di daerah terlarang serta pembalakan hutan secara ilegal tanpa mempedulikan dampaknya kepada lingkungan telah menjadi bukti keserakahan dan kemaksiatan kita kepada alam.
Sehingga sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa rusaknya ekosistem yang berdampak pada munculnya bencana alam tidak lain adalah karena tindakan dan keserakahan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS: 30: 41: Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut disebabkan karena ulah perbuatan tangan manusia (yang tidak peduli terhadap lingkungannya.
Oleh karena itu, jika kita ingin terbebas dari bencana alam, maka hendaknya kita harus menyadari bahwa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam juga merupakan hal yang penting di samping taat dan patuh menjalankan ibadah ritual kepada Allah SWT. Itulah kesalehan ritual sekaligus juga kesalehan natural.

Bencana di Dua Akhir-Awal Tahun Baru
Perlu diingat bahwa di balik semua bencana pasti terdapat pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Secara bijak hendaknya kita mampu bertahan untuk tidak ber-negative thinking atas semua apa yang telah dikehendaki-Nya.
Kehendak Allah SWT tidak sia-sia. Semua pasti ada manfaatnya dan itu kembali kepada kita sebagai hamba-Nya. God has his own answer for everything he’s done. Demikian kata orang bijak. Allah pasti mempunyai maksud dan rencana baik di balik semua itu. Percaya atau tidak.
Maka dari itu, bertepatan dengan telah datangnya dua tahun baru; Masehi dan Hijriyah, marilah momentum ini kita jadikan sebagai hari refleksi diri. Sebagaimana disebut di atas, bencana di Indonesia ini terjadi di dua tutup-buka tahun baru yang berdekatan. Pertama tahun baru Masehi. Kedua, tahun baru Hijriyah. Seharusnya kita menyadari arti ini semua.
Pertama, bahwa tahun Masehi itu kita maknai sebagai tahun duniawi. Mengapa bencana turun di akhir dan awal tahun duniawi? Jawabannya karena secara duniawi, kita semua pasti bermasalah. Entah apa masalahnya, yang jelas ini menjadi bukti bahwa kita memang sedang menjadi orang yang tidak baik secara duniawi. Karena itulah mungkin mengapa bencana ini turun.
Kalau kita tidak bermasalah secara duniawi, mengapa bencana itu muncul di penghujung dan pembuka tahun Masehi? Bisa jadi, kita ini tergolong orang yang serakah dalam hal duniawi kita. Kita tidak segan melakukan segala cara untuk menggapai kehidupan duniawi kita.
Kedua, tahun Hijriyah dapat kita maknai sebagai tahun ukhrowi. Jika bencana turun pada penghujung dan pembuka tahun Hijriyah, ini berarti bahwa kita juga sedang bermasalah secara ukhrowi. Artinya, diri kita ini sedang tidak beres dalam hal urusan-urusan ukhrowi kita.
Kalau kita beres secara ukhrowi, mana mungkin bencana akan dan terus turun di akhir dan awal tahun Hijriyah ini. Bisa jadi, kita memiliki pandangan hidup yang tidak tepat, kerap melupakan Tuhan, dan merasa diri kita ini paling baik imannya.
Marilah kita renungkan bahwa semua itu harus kita rubah. Tepat di akhir dan awal, atau di ambang dua tahun baru; Masehi dan Hijriyah ini. Setidaknya kita mau melihat dan merubah diri kita. Wallahu a’lam.

*) Nasrullah
Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaYogyakarta

Ketagihan Baca?......

Rila

Musibah Itu Jalan Menuju Tuhan
*) Oleh: Wantini

”Rila Lamun Ketaman Ora Getun Lamun Kelangan”
(Filosofi Jawa)

Akhir-akhir ini, negara Indonesia ini kerap diberikan musibah oleh Allah SWT di sana-sini. Siapa kira, jika ternyata kita semua harus menutup akhir tahun 2007 ini dengan airmata. Bermacam musibah datang silih berganti. Bahkan terkadang datang dalam waktu yang bersamaan.
Menghadapi Musibah
Bagaimana seharusnya menghadapi musibah? Menghadapi musibah sama artinya dengan menghadapi kehidupan ini. Karena telah tertulis di dalam sejarah, bahwa dunia ini selalu saja dimulai evolusi peradabannya dari sebuah musibah.
Contohnya, banjir bandang yang terjadi pada masa Nabi Nuh AS. Peristiwa itu adalah pertanda telah dimulainya babak baru sejarah bumi dan persebaran manusia ke dalam benua-benua.
Maka, kepiawaian kita menghadapi musibah merupakan pangkal tolak kebangkitan kita dalam menjalani kehidupan ini. Filosofi Jawa yang saya kutip di atas setidaknya membantu kita dalam menghadapi musibah yang datang menerpa.


Musibah di Mata Orang Jawa
Secara terminologi, jika ungkapan Jawa yang saya kutip di atas diartikan, masing-masing kata memiliki arti ikhlas (rila), jika (lamun), terkena (ketaman), tidak (ora), menyesal (getun), jika (lamun), dan kehilangan (kelangan).
Apabila diartikan secara utuh, ungkapan tersebut bermakna; ikhlas jika tertimpa musibah, tidak menyesal jika kehilangan. Dengan demikian, kita dianjurkan untuk hidup berserah diri dan pasrah terhadap kehendak Allah SWT.
Itulah sikap hidup orang Jawa yang mengakui bahwa hidup pasti mengalami owah gingsir (selalu berubah). Bahagia dan celaka itu pakaiannya orang hidup. Gusti mboten sare (Tuhan tidak tidur), tetapi selalu mengetahui semua yang terjadi pada siapapun juga. Itulah sikap yang mengajarkan agar kita selalu bersyukur dan tidak lupa diri sewaktu menerima kebahagiaan.
”Syukur” menunjukkan bahwa kita memang tidak punya apa-apa di dunia ini. Maka dari itu, apa yang kita sebut ’kehilangan (kelangan)’ sebenarnya tidak ada, sebagaimana ’penyesalan (getun)’ pun juga tidak ada. Karena Gusti Allah-lah Sang Pemilik apa yang kita anggap milik kita.
Boleh-boleh saja merasa kehilangan dan merasa menyesal, karena itu adalah manusiawi. Hanya saja, hendaknya kita tidak larut di dalam hilang dan sesal yang terlalu dalam dan jauh.

Jiwa yang Sumeleh
Benarkah jauh di lubuk hati kita terdapat impian untuk memiliki rumah besar, mobil mewah, dan uang yang bisa menjamin kehidupan? Benarkah kita berharap bisa sukses entah bagaimana caranya? Apakah kita diam-diam menginginkan pekerjaan lain dan tidak ikhlas terhadap profesi kita hari ini? Jelasnya, apakah kita selalu mengharapkan agar musibah tidak menghampiri kita?
Setiap orang pasti selalu berharap tidak mengalami musibah yang dapat menimbulkan penderitaan atau kesedihan diri, keluarga dan masyarakatnya. Musibah pun kerap dianggap sebagai kecelakaan.
Namun, tentu Tuhan berkehendak lain saat Dia memberikan musibah pada kita. Jelas, kehendak-Nya adalah menguji kesabaran dan keteguhan iman kita melalui musibah yang diberikan-Nya kepada kita, keluarga kita, ataupun bangsa kita.
Pada saat kita tertimpa musibah kita dianjurkan untuk tetap tabah dengan berserah diri kepada Tuhan, mampu berdiri tegak, tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan yang menyulitkan, dan tidak berputus asa. Itulah jiwa yang sumeleh (berserah diri secara ikhlas pada kehendak Tuhan).
Seperti diriwayatkan oleh at-Tirmidzi: ”Dan bersabda Nabi SAW: Sesungguhnya besarnya pahala dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi lebih mencintai kaumnya dengan mengujinya. Barang siapa ridlo (ikhlas) maka baginya keridlaan Allah dan barang siapa tak suka (mengeluh) maka baginya Allah tidak menyukainya.”

Siap Nikmat, Siap Melarat
Tentu kita semua siap untuk menghadapi kenikmatan, kebahagiaan, dan kesuksesan itu. Namun, apakah kita juga siap saat kita ternyata ”melarat”? Maka, di antara semua kemungkinan itu yang hendaknya disiapkan dalam pikiran dan mental adalah jika Allah SWT memberikan ”kemelaratan” kepada kita.
Kalau dalam hidup kita dianugrahi kemiskinan sampai maut menjemput, itu adalah rezeki yang paling mahal. Sebab orang lain belum tentu sanggup menahan deraan kemiskinan. Sementara kita mampu.
Itulah rezeki yang lebih berharga dari segalanya, yaitu saat Allah SWT memilihkan rezeki yang tidak berupa kekayaan dunia, tetapi berupa cinta dan penerimaan-Nya dan penerimaan kita atas-Nya.
Seluruh isi di dunia ini tidak memadai untuk digali sebagai tambang kebahagiaan dan ketentraman. Karena pencapaian bahagia dan tentram tidak terletak di luar diri kita, melainkan berbenih dan tumbuh kembang di dalam diri kita, di dalam hati yang selesai dan cara berpikir yang tepat terhadap kenyataan.
Orang sering merasa shocked (tertekan) ketika menerima musibah yang datangnya tiba-tiba. Ketertekanan itu boleh-boleh saja. Asal tidak larut. Karena musibah yang datang tiba-tiba itu telah ginaris (ditakdirkan) oleh Allah SWT. Hanya penyampaiannya saja yang mendadak. Itu pun karena kita tidak siap saja. Hingga kita menyebutnya; ”datang tiba-tiba”.
Hemat saya, dalam rencana Allah, semua peristiwa tidak ada yang terjadi secara mendadak. Bukan semendadak HP kita yang kita yakini ”tiba-tiba” hilang. Semua telah direncanakan. Kita tinggal menerimanya. Termasuk soal musibah yang bertubi-tubi datang di Indonesia ini.

Menganggap ”Azab”: Menuju Keimanan
Bagi saya, semua musibah haruslah kita anggap sebagai ”azab Tuhan” saja, bukan cobaan Tuhan. Karena dari anggapan itu, mudah-mudahan kita akan dapat yakin kalau diri kita ini semakin hari semakin ”kurang ajar” dan berdosa kepada Tuhan. Maka sudah seharusnya kita memperbaiki diri dan bertobat!
Janganlah musibah itu kita anggap sebagai cobaan Tuhan, meski boleh-boleh saja. Karena dari anggapan itu, bisa-bisa kita menjadi pelagak yang so’-so’an, yang yakin kalau kita ini memang orang yang imannya tinggi!
Hingga kita pun menganggap kalau kita ini adalah orang yang paling beriman, yang layak dan sedang diuji Tuhan. Padahal, sebenarnya tidak! Karena setiap kita merasa paling beriman, saat itulah kita telah menunjukkan ketidakberimanan kita.
Kalau pun memang kita ini beriman, marilah kita anggap bahwa kita ini bukan orang yang cukup baik imannya. Karena dengan begitu, kita memiliki cukup alasan untuk memperbaiki diri kita.
Salah satu jalan perbaikan iman itu adalah dengan ’bermusibah-ria’. Itulah jalan menuju Tuhan. Dan, jalan menuju Tuhan itu adalah jalan kebangkitan peradaban dan kebudayaan suatu bangsa. Maukah kita menapaki jalan itu? Wallahu a’lam.

*) Wantini
Staf Pendidik TPA Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Hari Ibu

Hari Ibu: Renungan Untuk Semua
*) Oleh: S. Roudlotul Jannah Ulfa

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu
(QS: 31: 14)

Sosok ibu hanya pantas ditempatkan dalam mihrab kehormatan. Sosok ibu disebut sebagai pemilik surga yang terletak di bawah telapak kakinya. Membentak ibu adalah amal beresiko tinggi, dan mendurhakai orangtua adalah sikap yang keliru.
Telah banyak cerita rakyat yang menunjukkannya. Ada kisah Malin Kundang yang dikutuk jadi batu, ada kisah Sampuraga yang terbenam dalam banjir ASI, dan ada Sangkuriang yang tertimbun perahu.
Begitu mulianya sosok Ibu, hingga setiap tanggal 22 Desember, di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Ibu. Kita tahu betapa istimewanya hari Ibu ini, karena selama bertahun-tahun kita menghidupi Indonesia ini, tidak ada setanggal pun yang disisakan di sana untuk diperingati sebagai Hari Ayah. Uniknya, para Ayah pun tidak pernah protes. Itulah keramat dan berkahnya Ibu!

Hari Ibu Bukan Mother's Day
Hari Ibu sering disamakan dengan Mothers Day yang ada di Eropa. Padahal, jika ditilik ulang secara historis, Mother's Day itu berbeda dengan Hari Ibu. Mothers Day merupakan sejarah yang diadopsi dari mitologi Yunani, yakni sebagai hari yang digunakan untuk menyembah Dewi Rhea, ibu dari semua dewa. Saat itu, Mothers Day diperingati pada minggu kedua di setiap bulan Maret. Tradisi ini diikuti lebih dari 78 negara di dunia.
Sedangkan Hari Ibu di Indonesia, berakar dari sejak dimulainya pertemuan para perempuan yang merupakan perwakilan dari organisasi sosial yang ada pada waktu itu, yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Tempat pertemuan itu kelak dinamakan Mandala Bakti Wanitatama, yang terletak di Jln. Solo, Yogyakarta. Setelah itu, kita pun mengenal apa yang kita sebut sebagai Hari Ibu hingga saat ini.

Pengabdian Kedua
Ada sebuah opini yang mengatakan kalau peringatan Hari Ibu adalah hal yang berlebihan karena menjadikan pemeringatnya sebagai orang yang ”menyembah” Ibu. Namun, anggapan ini jelas keliru. Karena Hari Ibu bukan diperingati sebagai hari untuk menyembah Ibu. Melainkan untuk menghormati Ibu.
Karena sudah selayaknya jiwa, raga, dan pengabdian kita sebagai manusia hanya diberikan untuk Allah SWT semata. Namun, kita pun harus sadar, kalau Allah juga memerintahkan kita untuk selalu berbuat baik pada orangtua kita sebagaimana ayat yang saya kutip di atas. Ternyata, di antara kedua orangtua, Ibu-lah yang terutama.
Setiap Allah berfirman untuk selalu berbuat baik kepada kedua orangtua, selalu di ayat itu disertakan ayat untuk tidak menyekutukan-Nya. Kemudian baru diikuti oleh perintah untuk selalu berbuat baik kepada kedua orangtua.
Mengapa Ibu? Karena dalam ayat yang menganjurkan penghormatan orangtua, kata dan kalimat dalam ayat itu menggambarkan perjuangan Ibu yang sangat besar. Mulai dari mengandung seonggok janin selama 9 bulan 10 hari, melahirkannya, menyusui tanpa lelah serta menyapihnya, hingga membesarkannya.
Itu baru apa yang ada di dalam ayat. Belum lagi apa yang kita alami sehari-hari. Misalnya, Ibu akan selalu terbangun saat mendengar tangisan kita di tengah malam tanpa menghiraukan rasa kantuk. Ibu juga yang memasak makanan untuk kita, mencuci pakaian, dan lain sebagainya. Itulah pertaruhan nyawa seorang Ibu. Maka durhaka kepada kedua orangtua terutama Ibu, adalah dosa terbesar setelah syirik.
Tidak heran jika Rasulullah SAW bersabda, dari Abu Hurairah RA berkata: datang seorang sahabat kepada Rasulullah SAW kemudian dia berkata: wahai Rasulullah! Siapakah yang harus saya hormati di dunia ini? Rasulullah menjawab; Ibumu. Kemudian siapa lagi wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab; Ibumu. Kemudian siapa lagi wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab; Ibumu. Kemudian siapa lagi wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab; Ayahmu (HR.Bukhori)
Namun, kita sebagai anaknya kadang lalai akan semuanya, sehingga setelah dewasa kita lebih memilih untuk menyayangi anak, istri, pacar, atau suami kita. Mungkin, jangan-jangan kita juga lupa untuk sekedar mendo'akan orangtua kita. Mudah-mudahan tidak!

Dunia Ibu, Dunia Perempuan
Ibu adalah makhluk berjenis kelamin perempuan. Karenanya, dunia Ibu adalah dunia kaum perempuan. Maka, janganlah kita lupa bahwa di Hari Ibu, haruslah kita renungkan apa yang terjadi di dalam dunia perempuan. Kerap kita melihat dunia kaum perempuan saat ini amat sepi dari penghormatan dan kasih sayang.
Banyak sekali di antara masyarakat kita yang masih beranggapan bahwa dunia perempuan itu hanya berkisar di sekitar dapur, sumur, dan kasur. Seolah-olah perempuan itu tidak boleh tampil keluar dari dunianya, sambil tetap berada di dalamnya.
Selain itu, kalau kita amati peristiwa akhir-akhir ini, kaum perempuan acapkali berada dalam posisi yang dirugikan. Ada yang menjadi korban perdagangan (trafficking), korban kekerasan dalam rumah tangga, korban ”tusuk”-hamil-lari (baca: diperawani lalu ditinggal!), objek cinta ”coba-coba” para lelaki, (di)jadi(kan) TKW ilegal, hingga menjadi objek iklan komersial yang memamerkan bagian tubuhnya yang sensitif.
Apa yang ada di dalam benak kita saat melihat realitas itu? Marilah kita sadari bahwa semua itu merupakan cerminan bagi tatanan sosial kita yang belum menyediakan penghormatan yang agung terhadap kaum perempuan alias kaum Ibu.
Sadarlah! Bahwa perempuan adalah (calon) Ibu yang melahirkan semua jenis kelamin. Tidak hanya lak-laki. Tapi semua! Dan, ingatlah, bahwa semua orang sama di mata Allah SWT. Maka perempuan atau kaum Ibu haruslah kita pandang tanpa melihat jenis kelaminnya, suku, nasab, atau hartanya.
Sadarlah! Bahwa Islam sedari awal datang untuk mengangkat martabat perempuan yang pada zaman jahiliah, hanya dijadikan sebagai barang dagangan dan tidak diakui perannya.
Maka, jika Anda memperdagangkan perempuan, menyiksanya, tidak memberikannya peran, serta merugikannya, maka itu artinya Anda telah berbuat durhaka pada (kaum) Ibu (Anda). Itulah perbuatan orang Jahiliyah!
Kepada kaum Ibu: janganlah engkau mau kalau kau ditipu cinta para lelaki, dikerasi, dibayar untuk menjadi bintang iklan –yang sebenarnya engkau telah– (di)komersial(isasi), dijual, atau dirayu untuk menjadi TKW ilegal!
Jangan dilawan! Tetapi, berikanlah penerangan kepada semuanya dengan kelembutanmu, bahwa perempuan adalah makhluk yang harus dihormati dalam kesetaraan di dalam kehidupan ini. Dan, itu diperintahkan di dalam semua Kitab Suci! Wallahu a'lam.

*) S. Roudlotul Jannah
Penulis adalah Aktivis Center for Emansipatorial Women (CEWe’) Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Pesta Lupa


Malam Tahun Baru: Sebuah Pesta Lupa Diri
*) Oleh: Ahmad Sahide

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
(QS: 59: 18-19)

Terhitung sejak tahun 2004, bangsa Indonesia terus saja diterpa berbagai musibah dengan variasi yang unik. Mulai dari badai Tsunami, gempa bumi, banjir, merajalelanya virus flu burung, menjangkitnya busung lapar dan polio, gunung meletus, “musibah” kenaikan harga BBM dua kali dalam setahun, luapan lumpur, longsor, kebakaran dan pembalakan hutan, dan masih banyak lagi. Belum lagi bencana-bencana kecil seperti selokan dan WC kita yang mampet.
Apakah semua bencana yang telah terjadi itu sudah selesai? Belum. Karena semuanya malah menyisakan begitu banyak ”bencana sosial” yang menyebabkan bangsa Indonesia ini semakin menderita.
Derita bangsa itupun nampaknya belum menjadi pelajaran bagi kita untuk segera bertobat. Lihat dan tunggu saja malam tahun baru yang datang beberapa hari lagi. Umumnya kita tanpa merasa berdosa, mungkin telah berniat untuk merayakan pesta malam tahun baru dengan cara yang hambur, hambar, boros, dan menguras energi multidiri bangsa.


’Agama Pesta’
Bagi kebanyakan kita di negeri ini, perayaan tahun baru dari tahun ke tahun seolah telah menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan. Perayaan itu ada yang berbentuk pesta kembang api, konser musik, hingga sex party.
Belum jelas berapa karung uang dihabiskan dalam semalam. Hanya saja, saya yakin di malam itu jelas akan habis ratusan juta rupiah lebih, termasuk yang akan dikorupsi. Bahkan setiap pemerintah daerah di tempat masing-masing pun kabarnya jauh-jauh hari telah mengalokasikan anggaran pengeluaran khusus buat merayakan pesta perayaan di malam tahun baru.
Ada apa di balik malam terakhir bulan Desember itu? Apakah malam itu mengandung potensi mistik yang cukup mengundang berkah bagi siapa saja yang merayakannya? Apakah dengan pesta itu perut otomatis menjadi kenyang dan para pengemis cilik bisa sekolah gratis? Apakah pesta itu juga adalah cara jitu untuk menemukan solusi dari permasalahan bangsa kita yang multicomplicated ini?
Secara pribadi, entah Anda setuju atau tidak, saya malah mengendus suatu simpulan bahwa pesta perayaan malam tahun baru itu tak lebih merupakan suatu pesta perayaan lupa diri sesosok manusia dan sebuah bangsa bernama Indonesia.
Ya, lupa diri. Lupa diri yang diakibatkan oleh candu ’agama’ pesta. Istilah kasarnya; ngga’ tahu diri. Awalnya ia bukanlah sebentuk lupa. Tapi, hanya sekedar hasrat berhibur kita yang alami saja.
Namun, entah mengapa hasrat berhibur itu justru masih saja melekat dan bahkan menjadi-jadi saat bangsa Indonesia ini sedang krisis. Lihatlah, selalu masih saja ada kembang api diledakkan dan poya-poya dibudayakan di antara harga sembako yang kian mematikan, hutang Negara yang semakin menggunung, insting korupsi yang megal-megol, dan ketdakpercayaan sosial sedang berkecamuk.

Lupa Diri
Setiap tahun di malam tahun baru, kita kerap bermewah-mewah, berboros-boros, dan berpoya-poya. Padahal kita tahu bahwa bermewah-mewah itu tidak cukup membantu kita untuk cepat menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa.
Berpesta di malam itu membuat otak kita mati-pikir dan mati-lihat akan jutaan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Itu semua mendalilkan bahwa kita semua sedang lupa diri. Dan, lupa diri itu merupakan bentuk lain dari lupa ‘Tuhan’. Kaum sufi sering berkata bahwa barangsiapa yang tahu dirinya, maka ia akan tahu Tuhannya.
Nah, kita tidak sedang tahu Tuhan. Kita lupa. Tuhan telah tiada dalam ingatan kita. Kita benar-benar menjadi pembangkang dalam dunia yang sempit. Kalau dunia itu luas, lupa kita itu masih mendingan. Namun, ini begitu sempit.
Dunia yang sempit itu adalah dunia kita yang gemar bermewah-mewah dan berpoya-poya di malam tahun baru yang tidak istimewa. Memang sebenarnya tidak ada yang aneh di malam itu. Sebab kita semua tentu sepakat kalau malam itu tidak berbeda dengan malam-malam sebagaimana biasanya. Namun, kita lupa. Kita merasa bebas melakukan apa saja yang kita mau. Terutama saat kita ingin bersenang-senang.
Macetnya jalanan dan ramainya tempat-tempat seperti pantai, alun-alun, Monas dan Ancol di Jakarta, adalah saksi hidup lupa diri kita itu. Ini terjadi dari tahun ke tahun. Orang-orang berkumpul di sana untuk bersantai dan menghabiskan uang. Dan, uang pun hangus dalam petasan yang diledakkan, minuman alkohol yang ditenggakkan, tawa yang dilepaskan, jingkrak yang dihentakkan, joget yang digoyangkan, dan lagu-lagu yang dinyanyikan.

Warna Baru
Sadar atau tidak, kita berkewajiban untuk merubah itu semua. Kita harus mampu memberikan warna baru buat malam itu. Berani melawan arus. Bukan mengambil warna yang sudah ada. Inilah yang dikatakan oleh Ali Syari’ati, bahwa manusia ideal adalah manusia yang mampu membentuk peradaban, bukan yang terbentuk oleh peradaban.
Pertimbangan saya sederhana. Lihatlah permasalahan bangsa ini yang kian hari kian menumpuk. Ini bukan so’-so’an. Saya hanya ingin mengatakan bahwa; sungguh sayang kalau uang yang berputar di negeri ini harus hangus bersama petasan dan kembang api yang tidak mengenyangkan perut, menurunkan harga sembako, meleburkan dosa, dan apalagi mendekatkan kita kepada Tuhan!
Malam tahun baru akan lebih bermakna jika ia dijadikan momen untuk refleksi diri demi masa depan yang lebih cerah. Marilah kita berdialog dengan diri kita sendiri selaku individu, masyarakat, dan bangsa.
Dengan cara ini kita akan semakin jeli membaca dan melihat realitas yang ada di sekitar kita. Penyelesaian masalah dengan tepat harus berangkat dari pemahaman realita yang ada. Salah membaca realita, berarti sulit melahirkan solusi yang benar.
Pesta di malam tahun baru itu tidak haram. Karena secara khusus tidak ada ayat Alquran atau Hadits Nabi SAW yang melarangnya. Saya hanya mengajak kita untuk kembali berpikir sejenak tentang mana yang lebih pas, penting, dan konstruktif untuk kita lakukan. Renungkanlah itu!
Kita tunggu saja apa yang terjadi di malam tahun baru nanti. Jika kita masih (ber)pesta lupa diri seperti biasanya, maka nampaknya bermacam bencana alam dan bencana sosial akan terus menguntit bangsa ini. Entah sampai kapan. Wallahu a’lam.

*) Ahmad Sahide
Mahasiswa Hubungan Internasional Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Makna Qurban

Memaknai Qurban
*) Oleh: Lutsfi Siswanto

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (QS: 37: 102)


Tinggal beberapa hitungan hari lagi kita akan merayakan hari besar Idul Adha. Alkisah, Idul Adha adalah hari yang menandai peristiwa ujian berat yang harus dihadapi oleh Nabi Ibrahim AS pada masa itu. Sebuah pertaruhan hidup yang sulit.
Bagaimana tidak, karena saat itu Ibrahim AS dihadapkan pada pilihan antara mengedepankan atau mengorbankan kepentingan pribadi, antara cinta pada Allah atau cinta pada anaknya, Ismail. Bagi manusia yang normal, pilihan ini tentunya akan berujung pada pergulatan batin yang tak berkesudahan. Tegakah seorang ayah menyembelih putra kesayangannya?
Alhasil, Ibrahim menjatuhkan pilihannya pada kepentingan Allah SWT. Ia pun menyembelih Ismail. Ismail pun rela disembelih, karena ia tahu bahwa cinta kepada Allah itu melebihi segala-galanya.Tatkala pisau tajam Ibrahim hampir menyentuh leher Ismail, ternyata Allah SWT berkehendak lain. Ismail pun diganti dengan seekor domba. Hal ini sebagaimana tercatat dalam QS: 37: 107: Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Menyembelih Egoisme
Apa yang dialami Nabi Ibrahim AS tentunya tidak terulang kembali karena kita sudah berada pada ruang dan waktu yang berbeda. Namun yang menjadi tugas wajib kita saat ini adalah menjalani lakon pengorbanan Ibrahim AS tersebut, yaitu pengorbanan untuk mengenyahkan berhala dan pemberhalaan kepentingan yang ada di dalam diri kita sendiri.
Kegundahan Ibrahim AS yang hendak memilih antara menyembelih Ismail atau tidak, merupakan simbol dari adanya sesuatu yang disebut ’berhala kepentingan pribadi’ di dalam diri setiap manusia yang normal. Ternyata Ibrahim AS mampu menyingkirkan kepentingan pribadi duniawi itu. Karena ada kepentingan yang lebih mulia, yaitu kepentingan Allah SWT. Jelas, hal itu pun butuh pengorbanan.
Maka pelajaran utama yang bisa kita petik dari kisah Ibrahim AS adalah semangat untuk ikhlas dalam mengorbankan kepentingan pribadi, dan menjalani hidup hanya demi menegakkan kepentingan Allah SWT. Karena kepentingan pribadi sangat mungkin menjadi berhala yang lebih kita agungkan ketimbang Allah SWT.
Kepentingan kelompok atau golongan juga merupakan wujud kepentingan pribadi. Karena itu, semuanya hendaknya mampu kita korbankan. Apalagi kalau kepentingan pribadi dan kelompok itu ternyata menyusahkan, merendahkan, dan menghina orang lain.
Untuk menuju arah itu, yaitu untuk mengedepankan kepentingan Allah SWT, setiap kita pasti dan mesti dihadapkan pada sebuah batu ujian guna memperteguh apa yang kita yakini. Seandainya sudah diuji, kita pun tidak boleh mengharapkan imbalan apa yang ada di balik ujian itu. Karena imbalan yang sering kita percayai dan sering kita bayangkan, adalah mutlak urusan Allah SWT. Saat kita menunggu-nunggu imbalan itu, berarti kita telah mengedepankan kepentingan kita untuk mendapatkan imbalan, dan kita pun mengharapkan selain Allah SWT.

Berhala Baru
Pada masa Nabi Ibrahim jelas sekali tergambar bahwa yang dimaksud dengan berhala adalah men(T)uhankan atau mendewakan (menyembah) patung yang berupa batu dan benda-benda lainnya. Namun, saat ini, berhala-berhala itu telah berubah menjadi patung raksasa baru dengan varian-varian yang lebih menarik dan berakibat pada prilaku konsumtif, hedonis (berfoya-foya), dan egoisme (tidak pernah peduli orang lain).
Selain itu, patung-patung raksasa ini sangat mudah kita jumpai tumbuh dengan seenaknya, misalnya supermarket, Mall, alat teknologi tinggi, partai politik, organisasi, hingga patung di dalam diri kita sendiri yang berupa sifat egois, merasa benar sendiri, dan lainnya. Kita pun mungkin lebih cinta pada semua patung itu. Bahkan semuanya menjelma lebih dekat dengan diri kita, yakni berupa berhala kejumudan, kebodohan, dan taqlid buta terhadap diri dan golongan hingga men(T)uhankannya.
Hal ini sering terjadi. Hingga berakibat pada kesalahpahaman yang disengaja, saling curiga, caci maki, rasisme, atau bahkan yang lebih ekstrem bermuara pada pertumpahan darah. Lihatlah negeri kita yang bernama Indonesia yang hingga kini belum bisa beranjak dari keterpurukan krisis multidemensi. Ahlak korupsi menjadi tuntunan, penggusuran orang-orang miskin menjadi hiburan, perkelahian menjadi kearifan budaya, perusakan lingkungan menjadi trend, dan manipulasi dan sogok-menyogok menjadi tradisi.
Bukankah hal itu menjadi bukti bahwa di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita masih belum bisa mengorbankan sifat iblis materialistis, kepentingan pribadi dan kelompok kita yang mau menang sendiri? Saat kita mengatakan bahwa menyembah patung itu syirik, mengapa kita lupa untuk melihat sifat egois kita yang sering kita sembah dan pentingkan?
Mengapa kita lebih ingin memperkaya diri kita hingga kita pun korupsi? Bukankah lebih baik kalau keinginan untuk korupsi itu kita sembelih saja demi kepentingan bersama? Itulah makna Idul Adha. Alangkah bijaksananya pula bila penyembelihan hewan kita iringi dengan menyembelih sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri kita. Wallahu a’lam.

*) Oleh: Lutsfi Siswanto
Penulis adalah Pegiat Gerakan Komunitas “Marakom” Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Menunggu Masjid

Menunggui Masjid
*)Oleh: Miftah Rahmawati

Ada apa dengan masjid? Apa yang salah dengan masjid? Mungkin itu pertanyaan yang ada di benak pembaca saat membaca judul tulisan ini. Hemat saya, saat ini ada yang perlu kita refleksikan apa-apa yang terkait dengan masjid kita.
Selain sebagai tempat -maaf- buang air alternatif gratis, apakah fungsi masjid bagi kehidupan kita saat ini? Berapakah jumlah masjid yang ada di sekitar kita di Indonesia ini? Marilah kita hitung berapa jumlah manusia Indonesia yang sering mampir dan masuk masjid, namun ternyata grafik koruptor di Indonesia juga semakin bertambah.
Berapa pula masjid yang dibangun setiap tahun, namun ternyata hanya sekutil umat saja yang mau meramaikannya. Itupun hanya seminggu sekali saat hari Jum’at saja, dan datangnya pun di akhir-akhir saat khatib sedang berdoa di khutbahnya. Tidakkah kita melihat ada kesenjangan antara fakta dan realita?

Kedudukan Masjid
Masjid adalah rumah Allah SWT yang didirikan untuk beribadah. Kata masjid diambil dari kata kerja dalam bahasa arab: sajada, yang artinya meletakkan dahi di atas tanah. Tempat-tempat yang digunakan untuk meletakkan dahi di atas tanah, disebut masjid.
Masjid mempunyai kedudukan yang agung di hati kaum muslimin biarpun ukuran masjid itu kecil. Karena di masjid, kita menjatuhkan kepala kita bersamaan dengan seluruh anggota badan kita.
Jika saat sebelum masuk masjid kita memuliakan kepala dan memandang hina kaki kita, maka saat kita masuk masjid, semua pandangan itu sirna. Kaki dan kepala berada dalam garis yang sama. Setara.
Ahli masjid adalah manusia yang pergi ke masjid untuk beribadah kepada Allah SWT. Namun, apa yang telah dilakukannya di masjid tidak hanya berhenti di sana, akan tetapi semua itu bisa ditularkan di luar masjid. Artinya, di dalam dan di luar masjid selalu dikondisikan dalam niat untuk beribadah kepada Allah SWT.
Maka, seorang pedagang yang cinta masjid akan selalu menjaga dirinya untuk tidak menipu pembeli barang dagangannya. Politisi yang cinta masjid tidak akan pernah mengingkari janji kepada rakyatnya. Seorang warga masyarakat yang sering ke masjid, pasti akan tidak pernah menyakiti tetangganya. Seorang pejabat publik pun pasti tidak akan korupsi, kalau memang ia cinta masjid.
Mereka itulah orang-orang yang hubungannya dengan Allah SWT tidak bisa dipalingkan oleh kenikmatan duniawi dan tidak disibukkan oleh kepentingan pribadi dan golongan. Tentang mereka Allah SWT berfirman dalam QS: 24: 37: “Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah dan bertaqwa kepadanya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Persoalan
Persoalannya sekarang adalah, mengapa begitu banyak masjid di Indonesia yang dibangun setiap tahunnya, namun mengapa pula bangsa Indonesia tetap tergolong sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia? Mengapa hampir setiap tahun umat Islam berzakat di masjid, namun mengapa juga orang-orang miskin di Indonesia semakin bertambah?
Terlebih lagi, di sana-sini banyak masjid megah yang berdiri tegak. Ada yang kubahnya terdiri dari emas murni yang beratnya berkilo-kilogram. Ada masjid yang menjadi tempat wisata. Ada masjid yang dibangun sebagai sarana ”cuci dosa” koruptor. Ada juga masjid yang dipakai hanya untuk akad nikah. Tentu itu itu hak siapa saja.
Apakah tidak ”salah tempat” kalau masjid itu dibangun pada saat mental korupsi kita sedang bangkit-bangkitnya, hasrat cari untung kita lagi menuju puncaknya, dan kemalasan kita untuk memakmurkan masjid tengah melanda?

Pembinaan Umat
Kita memang menyambut baik berdirinya masjid-masjid itu. Apalagi jika alasannya didasarkan atas ketersediaan dana para donaturnya. Akan tetapi, sayang kalau di tengah kondisi krisis multidimensi ini, di antara hutang Indonesia yang semakin bertambah, bersama jeritan anak-anak yang tidak bisa sekolah, dan fakir miskin yang tidak bisa makan secukupnya, masjid-masjid itu ko’ terlalu megah dan sering sekali dibangun.
Karena saat ini pun sudah terlalu banyak masjid yang ramainya hanya pada waktu bulan Ramadlan saja. Belum lagi kalau kita menyadari fakta bahwa saat ini banyak masjid yang dijadikan sarang politik parpol tertentu dan kepentingan aktor tertentu.
Lebih baik diutamakan dulu aspek pendidikan atau pembinaan mental dan kesadaran umat melalui masjid-masjid yang telah lebih dulu ada. Masjid yang ada harus bisa mendidik umat untuk tidak bermental super cari untung, berwatak multikorup, dan berjiwa full kepentingan.
Itulah yang harus dilihat oleh kita semua. Mungkin karena itu mengapa masjid itu artinya: setiap tempat untuk bersujud. Maksudnya, kita harus menunggui masjid, yaitu: untuk menularkan jiwa masjid ke dalam jiwa umat (baca: kita) yang sering, jarang, atau tidak pernah ke masjid. Wallahu a’lam.

*) Miftah Rahmawati
Staf Pendidik TPA Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Islam Kenyataan

Islam, Ilmu, dan Kenyataan Umat
*) Oleh: Abdul Muizzu

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(QS: 13: 11)

Ciri-ciri seorang muslim adalah melaksanakan kewajiban yang lima (rukun Islam), yaitu Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji. Pertanyaannya adalah apakah dengan melaksanakan kelimanya lantas selesai sudah kewajiban seorang muslim? Faktanya banyak orang salat, tapi korupsi tetap jalan. Banyak pula yang naik haji, tapi banyak pula yang kelaparan dan menderita kemiskinan.
Belum lagi masalah-masalah umat yang lainnya, di antaranya; mutu pendidikan yang rendah, birokrasi yang korup, administrasi yang kacau, disiplin yang keropos, etos kerja yang rendah, fanatisme golongan yang berlebihan, apriori terhadap peradaban modern, dan sibuk dengan urusan furu’ [cabang] daripada ushuul [persoalan dasar/pokok].


Hamba yang Cerdas
Fakta itu semacam tragedi bagi kita semua. Padahal telah jamak dalam sejarah, bahwa Islam merupakan agama yang dalam beberapa dekade pernah menjadi poros peradaban dunia.
Jika Islam dahulu terbukti sebagai poros peradaban, maka dapatkah Islam difungsikan secara prima dalam sejarah kita saat ini? Lalu, bisakah umat Islam menghadapi tantangan dunia modern? Hal ini hendaknya menjadi bahan renungan kita untuk berfikir cerdas, jujur, dan terbebas dari subjektifisme golongan dan egoisme pribadi.
Menghadapi tantangan dunia modern ini, hendaknya umat Islam jangan bersikap anti peradaban modern. Sikap mengambil hal-hal yang baik dan membuang yang buruk dari peradaban modern adalah salah satu ciri hamba Allah yang cerdas. Hal ini sebagaimana yang dilakukan umat Islam dahulu yang mempelajari dan mengadaptasi ilmu pengetahuan dari Yunani, lalu mampu membuat karakteristik keilmuan yang khas.
Pada waktu itu umat Islam begitu bersemangat untuk mencari ilmu pengetahuan yang diikuti dengan penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, kreatif, dan inovatif. Maka muncullah tokoh-tokoh sekaliber Ibnu Rusydi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Imam Ghazali, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali.
Akankah saat ini akan muncul tokoh-tokoh yang kreatif dan inovatif? Apakah ilmu pengetahuan bisa jadi dasar perkembangan gerak dan cara berpikir umat Islam saat ini?

Ilmu: Mengapa Saling Menuding?
Saat ini yang terjadi mungkin agak bertolak belakang dari itu semua. Umat Islam begitu mudah menjustifikasi/menghukumi segala sesuatu tanpa memandangnya sebagai kekayaan ilmu Allah SWT. Jika pun sesuatu itu bisa dan mungkin saja salah sesalah-salahnya, itu hal yang wajar menurut saya. Karena hal itu menunjukkan kalau jagat ini masih manusiawi.
Menjadi tidak wajar kalau sesuatu yang (disebut) salah itu kita tanggapi dengan emosi, marah, dan jauh dari sikap arif dan penuh hikmah (baca: ilmu), meskipun hal itu juga masih manusiawi. Akibatnya, kosakata yang sering hinggap di telinga kita adalah: sesat, kafir, salah, haram, bid’ah, dan sebagainya.
Kondisi yang demikian akan memunculkan sektarianisme dan fanatisme yang menyebabkan kita selalu merasa bahwa yang benar adalah golongan kita sendiri. Jika begitu, seolah-olah kita ini adalah pemegang otoritas tunggal yang berhak menyalahkan ini dan membenarkan itu. Padahal, otoritas untuk membenarkan dan menyalahkan hanya Allah SWT yang memilikinya.
Sekali lagi, jika pun ada kasus di dalam tubuh umat Islam ini yang kita pandang sesat, maka marilah kita menanggapinya dengan rasa syukur kepada Allah SWT, bahwa kita ini masih bodoh dan lupa menyebarkan kebaikan dan kearifan ke seluruh jagat raya. Selain itu, kita pun harus sadar bahwa DIA menciptakan sesuatu yang belum kita pahami. Maka, berdialog dengan yang sesat itu, di atas landasan kesadaran untuk mencari ilmu, adalah upaya untuk membuktikan bahwa kita ini tidak punya hak untuk menyebut si ini sesat, bid’ah, kafir, haram, dan sebagainya.
Bukankah saat kita menyebut ini sebagai bid’ah misalnya, itu adalah ucapan dan pikiran kita? Kalau pun kita melandaskannya pada sebuah ayat atau hadits Nabi, bukankah itu pun adalah tafsir dan pemahaman kita terhadap ayat dan hadits itu? Itu artinya, bukankah tafsir dan pemahaman kita itu bisa benar, bisa salah, dan bisa juga sesat?

Melihat yang Nyata
Marilah kita buka mata kita untuk melihat realitas real umat Islam saat ini. Saat ada saudara kita seorang muslim yang betul-betul fakir, lantas tidak ada yang peduli kepadanya, janganlah kita marah-marah saat ternyata ada umat lain yang menolongnya lalu mengajaknya pindah agama. Umumnya, kita melihat kasus itu sebagai misi terselubung sebuah agama tertentu, hingga kita pun menghujatnya. Padahal persoalannya tidak di sana, akan tetapi pada diri kita sendiri yang hampir-hampir tidak peduli pada saudara kita yang fakir-miskin itu.
Salah satu penyebabnya, ini terjadi karena umat Islam atau kita belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan mengarahkan kepedulian pada sebuah masalah yang lebih konkret dan nyata. Kita lebih sibuk mengurusi masalah aliran sesat daripada mengurusi diri kita yang cenderung korup dan manipulatif.
Amat menyedihkan sekali jika di suatu saat kita menyumpahi kesesatan seseorang, namun pada saat yang sama kita tidak sadar bahwa kita sudah menghina ciptaan Allah SWT dengan menyumpahi dan menunjuk-nunjuk diri orang lain. Seolah-olah kita ini makhluk yang suci saja! Lebih parah lagi, kita pun lupa untuk peduli pada si miskin, karena energi kita habis untuk menyumpah-serapahi orang lain.
Karena itu, mari bersama-sama kita tunjukkan Islam kita ini sebagai cara hidup yang rahmatan lil ‘alamin, yang mampu membawa perubahan ke arah kebaikan dan keadilan sosial. Untuk memulainya marilah kita mulai dari diri kita sendiri dengan sungguh-sungguh. Wallahu a’lam.

*) Abdul Muizzu
Koordinator Keluarga Mahasiswa Jogjakarta – Kabaena, mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketagihan Baca?......

Muslim Paripurna

Kesinambungan Hidup: Cita Muslim Paripurna
*) Oleh: Drs. Abdul Rosyid, MM

Apa itu Islam? Apa kriteria muslim itu? Apa aktivitas utama muslim serta bagaimana sikap muslim yang kaffah (paripurna) itu? Sebesar apa kewajiban muslim untuk bertahan hidup? Secara bahasa, Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaaman. Artinya “menuju ke kedamaian, keselamatan, ketentraman”, yang menandakan bahwa Islam menginginkan kita untuk berusaha sungguh-sungguh menuju suatu kondisi kedamaian, keselamatan, dan ketentraman. Kepastian dan ketegasan hukum pada suatu wilayah tertentu termasuk tujuan Diinul Islam (Al-Munjid;3).
Dunia Islam merupakan persoalan sekaligus solusi. Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, pernah menyusun sebuah buku yang berjudul ‘Dunia Baru Islam’. Ia mencoba membuat tafsir bebas dan luas mengenai keislaman menurut orang-orang Indonesia yang progresif. Soekarno cukup memahami bahwa dunia Islam memiliki dinamika kehidupan sendiri. Bagi Soekarno, jika terjadi kendala-kendala di dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas keislaman, maka solusinya cukup di-update dari apa yang telah diwahyukan Allah SWT kepada Rasul-Nya.
Tafsir atas Islam Paripurna
Allah SWT berfirman dalam QS: 2: 208: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, bahwa Islam adalah seruan kepada orang-orang yang beriman atas nama imannya. Iman adalah sifat atau identitas yang menjadikan mereka sebagai sosok yang unik, berbeda, dan selalu terhubung dengan Allah SWT yang menyeru mereka. Seruan ini adalah seruan kepada orang yang beriman untuk ber-Islam secara total.
Pemahaman seruan ini berarti bahwa seorang mukmin harus menyerahkan diri secara total kepada Allah dalam setiap urusan. Penyerahan diri harus dilakukan secara sebenar-benarnya dan menyeluruh baik dalam persepsi, pandangan, pemikiran, perasaan, niat, amal, senang, dan susah setiap mukmin. Seorang mukmin harus tunduk dan patuh kepada Allah SWT, ridla kepada hukum dan qadla-Nya, tenang, pasrah, dan mantap. Seorang mukmin harus pasrah kepada tangan (kekuasaan) Allah SWT yang membentuk langkah-langkahnya, dan percaya bahwa “tangan” itu akan berbuah kebaikan, ketulusan, dan kelurusan. Seorang mukmin juga harus merasa tenang dan tentram menempuh jalan itu ketika berangkat dan kembali di dunia dan akhirat.
Arahan seruan ini mengisyaratkan bahwa seorang mukmin harus memiliki mental untuk memberontak keraguan dalam melakukan ketaatan yang mutlak baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Artinya, seruan ini setiap waktu ditujukan kepada orang-orang yang beriman agar mereka menjadi suci dan bersih, tulus dan ikhlas. Hingga getaran-getaran jiwa dan arah perasaan mereka pun sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah, tuntunan Nabi, dan agama tanpa rasa ragu, bimbang, apalagi gamang.
Jadi bahwa ketika seorang muslim menyadari seruan ini, berarti ia telah masuk ke alam kedamaian dan keselamatan secara total. Alam yang penuh kemantapan dan ketenangan, keridlaan, tidak bingung, goncang, linglung, apalagi sesat. Damai dengan segala yang ada, yang berseri-seri dalam lubuk hati, yang membayang-bayangi kehidupan dan keselamatan di langit dan bumi.

Kesinambungan hidup: teladan Muhammad SAW
Aktivitas seorang muslim yang seharusnya dilakukan hendaknya sesuai dengan jadwal hidup yang telah dicanangkah oleh Allah terutama terhadap pembagian waktu kerja (ibadah) dalam QS: 78: 9-11: dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan kami jadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan’.
Selain itu, sikap-sikap hidup yang telah disabdakan, dilakukan, dan yang pernah ditetapkan Rasulllah SAW juga harus diikuti. Antara lain adalah: ‘Jika engkau berada di waktu sore, jangan menunggu padi, begitupun sebaliknya.’ ‘Mulailah dari diri sendiri’. ‘Barang siapa ingin diluaskan anugerah rizkinya, dipanjangkan fungsi usianya, maka sambunglah tali persudaraan’. ‘Tularkanlah atau dakwahkan tentangku meskipun satu ayat, dan sebagainya.
Islam menjadi tidak penting untuk dikaji dan dipraktekkan, jika tidak ada kaitannya dengan urusan peningkatan kesinambungan hidup dan harga diri umatnya. Karena itu, segala hal yang terkait dengan kelanjutan dan kesinambungan hidup kita merupakan suatu keharusan. Termasuk di dalamnya berusaha atau berbisnis. Salah satu usaha untuk mengenal Islam adalah meneladani sejarah hidup Rasulullah Muhammad SAW sebagai praktisi bisnis atau pedagang.
Agar bisnis sukses, maka umat Islam harus meniru dan meneladani sifat Rasulullah SAW; shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah ketika berdagang. Syeikh Ahmad Rifa’i, ulama abad ke-19 asal Jawa Tengah, menyebutkan bahwa Rasulullah SAW juga sosok yang telaten, teberen, unen, open, tetiron, tetakon, benere kang diluru.
Namun, konsep bisnis yang sesuai dengan teladan Rasulullah SAW tersebut, memerlukan objek atau aktivitas atau bisnis (usaha) yang perlu diprioritaskan. Masing-masing kita diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan, bisnis apa yang paling disenangi dan disanggupi. Firman Allah SWT dalam QS: 92: 4: sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda
Artinya, yang terpenting adalah bahwa muara dari semua aktivitas manusia secara umum adalah kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman dalam QS: 61: 10-11: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.”
Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai aktivitas yang bergerak. Islam sebagai agama gerakan bergerak menuju kedamaian, ketentraman, kemakmuran, dan yang terpenting adalah terlaksananya semua rukun Islam. Rukun Islam sebagai pilar Islam harus tegak. Apalagi zakat dan haji yang hanya dapat terlaksana dengan lancar jika ada dana yang cukup, di samping kesadaran umat untuk membiasakan Syahadat (niat yang tulus), Salat, Puasa, dan shilaturrahim (merekatkan tali persaudaraan).
Meski begitu, ber-Islam tidak hanya berhenti di situ, karena banyak sekali persoalan yang harus dihadapi oleh masing-masing kita sebagai umat Islam untuk tetap berkesinambungan dalam hidup ini (survive). Persoalan itu adalah bagaimana umat Islam memiliki sikap hidup dalam aktivitas yang bergerak itu. Sikap hidup yang paling mudah dilakukan adalah semua yang telah dikatakan, dipraktekkan dan ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Bagaimana beliau SAW bersikap untuk tetap survive di dalam kehidupannya? Salah satu jawabannya adalah bahwa karena beliau SAW adalah seorang praktisi bisnis.
Aktivitas bisnis yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan paling mudah ditiru oleh umatnya adalah menjadi seorang tajir (pedagang) yang dipraktekkan dengan penuh integritas dan disiplin. Itulah salah satu tawaran penulis untuk kita semua dalam usaha untuk ber-Islam secara paripurna (kaaffah). Semoga kita semua selalu diberkahi Allah SWT untuk menuju ke arah paripurna itu. Wallahu a’lam.

*) Drs. Abdul Rosyid, MM
Penulis adalah jamaa’ah masjid Jendral Sudirman dan praktisi bisnis

Ketagihan Baca?......