Jumat, Februari 01, 2008

Hijrah Hangat

Menghangatkan Makna Hijrah
*) Oleh: Muhammad Syamsul Hadi

Adalah sebuah kenyataan bahwa Indonesia, yang penduduknya mayoritas muslim, sedang dilanda krisis multidimensi; krisis keyakinan, kriris moral, krisis politik, dan krisis ekonomi yang terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan bisa jadi hingga beberapa tahun ke depan.
Bertepatan dengan masih hangatnya tahun baru Hijriyah 1429 ini, maka marilah momentum ini kita poles menjadi ajang introspeksi diri kita secara kolektif demi memperbaiki atau mereformasi kenyataan krisis tersebut. Oleh karena itu, perlulah kiranya kita menghangatkan kembali makna hijrah dalam konteks kekinian.


Muhammad SAW Sang Reformis
Muhammad SAW adalah Rasul dan tokoh yang harus diteladani bagaimana beliau memperbaharui, memperbaiki, atau mereformasi keadaan bangsa Arab yang jauh lebih buruk daripada keadaan Indonesia saat ini.
Seribu tahun lebih yang lalu, Muhammad SAW dan para sahabat, berhijrah dari Makkah ke Madinah, meninggalkan tempat kelahirannya, harta-benda, sanak-keluarga, hingga keluarga terdekat sekalipun.
Mereka hanya membawa keimanannya yang baru, keimanan yang menjanjikan akan kebenaran yang hak. Mereka pun menanggalkan kejahiliahannya. Sampai di Madinah, Rasulullah SAW beserta para sahabat memulai kehidupan baru yang jauh lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya.

Konversi Keyakinan
Bagi penulis, hijrah adalah peristiwa yang menunjukkan adanya konversi keyakinan, perbaikan dan penyempurnaan moral, sekaligus reformasi politik. Hijrah dalam bentuk inilah yang seharusnya dilaksanakan saat ini, bukan hijrah yang berarti pindah dari satu kota ke kota yang lain.
Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda: Tidak ada hijrah lagi sesudah fathu Makkah selain jihad, niat, dan apabila diserukan berangkat (pergi berperang) maka berangkatlah (HR. Bukhari).
Arab sebelum Islam adalah masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap banyak tuhan (politeisme), penyembah berhala, yang disebut Allah SWT dalam al Qur’an sebagai kaum musyrik.
Diutusnya Muhammad SAW adalah tanda akan beralihnya keyakinan mayoritas masyarakat Arab jahilliyah kepada keyakinan akan keesaan Allah SWT. Realisasi konversi keyakinan ini terlihat jelas dalam peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat ke Madinah.
Para sahabat, baik dari golongan Muhajirin dan Anshar di bawah bimbingan Rasulullah SAW, merombak dan membangun umat yang sepenuhnya meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa. Inilah reformasi dan konversi keyakinan itu.
Mungkin ada di antara kita merasa heran dan bisa jadi kemudian akan melontarkan pertanyaan; kami sebagai seorang muslim, yang telah meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, apa perlunya bagi kami untuk “mengkonversi” keyakinan lagi?
Ya. Memang orang yang mengaku dirinya muslim tentu telah berulangkali mengucapkan kalimat syahadat. Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut sepenuhnya telah kita tanamkan dalam hati dan telah diterapkan dalam perilaku kita?
Perlu diingat, bahwa syirik tidak hanya berarti menyekutukannya dengan berhala, seperti yang pernah dilakukan oleh masyarakat Arab jahiliyah, tetapi juga berarti menyekutukan-Nya dengan apa saja; baik manusia, binatang, harta benda atau makhluk ciptaan-Nya yang lain, termasuk hawa nafsu diri manusia sendiri.
Allah SWT berfirman dalam QS: 45: 23: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Menyekutukan Allah dengan tuhan hawa nafsu inilah yang sering tidak disadari dan sulit dihindari, walaupun oleh seorang yang mengaku dirinya muslim. Dampak dari penuhanan hawa nafsu, kiranya kita telah mengetahuinya bersama. Mereka yang menuhankan (baca: menuruti) hawa nafsunya, disebut Allah SWT dalam QS: 25: 26: hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
Oleh karenanya, cukup beralasan bagi penulis untuk menyerukan sebuah reformasi, perbaikan, dan konversi keyakinan umat Islam saat ini; dari keyakinan dan kepatuhan kepada hawa nafsu, menuju kepada keyakinan yang sejati dan sempurna. Keyakinan itu adalah hanya kepada Allah SWT semata. Bukan kepada hawa nafsu, pangkat, nama, jabatan, harta dan lainnya. Maka, bagi kita yang sampai saat ini masih “menyembah hawa nafsu” kita, marilah kita menjadi orang yang “murtad” dari agama hawa nafsu kita itu.

Reformasi Moral
Hijrah juga mempresentasikan reformasi moral. Moral Arab sebelum Islam sangat menyedihkan. Pembunuhan anak perempuan adalah salah satu kebobrokan moral Arab yang sangat fenomenal. Bahkan sahabat Rasulullah SAW yang terdekat pun pernah melakukan hal ini tatkala belum beriman. Beliau adalah Umar bin Khattab, khalifah yang kedua setelah Abu Bakar. Kebobrokan moralnya dan moral bangsa Arab pun lenyap seketika setelah beliau menyadari dan mengikuti dakwah Rasulullah SAW.
Saat ini degradasi moral kembali terjadi. Seringkali kita mendengarkan peristiwa-peristiwa yang memalukan dan menyedihkan; pembunuhan, pemerkosaan, sex bebas dan masih banyak lagi contoh yang lain. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh mereka yang bukan muslim, tetapi juga mereka yang mengaku dirinya seorang muslim.
Oleh karena itu, hijrah yang relevan untuk direaktualisasikan juga adalah hijrah dari kebobrokan moral yang kembali terjadi saat ini. Reformasi moral perlu diterapkan kembali seperti yang telah direalisasikan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Rasulullah SAW sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. Al Bazzaar).

Reformasi Sosial
Sebelum Islam, Arab terbagi menjadi banyak suku atau kabilah. Seringkali antara kabilah yang satu dengan kabilah yang lain saling memerangi. Muhammad SAW sendiri, sebelum diangkat sebagai rasul, pernah mengikuti peperangan antar suku atau kabilah tersebut.
Permusuhan dan peperangan tersebut segera berakhir setelah Muhammad SAW diutus-Nya. Satu persatu, suku-suku tersebut berhasil didamaikan dan dipersatukan. Awal dari semua ini adalah ketika Rasulullah dan para sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Kaum Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan, suku Aus dan Khazraj dan kemudian suku-suku yang lainnya dipersatukan. Perjanjian antara kelompok, suku, agama diselenggarakan. Maka tercatat di dalam sejarah, bahwa Rasulullah SAW bersama dengan kaum muslimin saat itu menunjukkan bukti reformasi politik yang diwujudkan dalam piagam Madinah.
Sikap, sifat, dan watak Rasulullah SAW dalam berhijrah sudah seharusnya diteladani oleh pemimpin Indonesia dan kita semua. Duduk di kursi jabatan, pemerintahan, dan posisi penting lainnya bukanlah sebagai ajang berkompetisi mencari nama ataupun kekayaan, akan tetapi sebagai ajang berkompetisi untuk melayani rakyat.
Itulah hijrah yang sejati. Mudah-mudahan kita semua bisa melaksanakannya, mumpung suasana tahun baru Hijriyah ini masih hangat. Wallahu a’lam.

*) Muhammad Syamsul Hadi
Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat