Jumat, Februari 01, 2008

Perlunya Agama

Tuhan, Ilmu, dan Makna Agama
*) Khoirul Anwar

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(QS: 30: 30)

Pada era industri ini, pendangkalan keyakinan manusia akan Tuhan semakin tampak nyata di depan mata. Kemajuan ilmu dan teknologi yang ditandai dengan kemampuan akal (rasionalitas), kepercayaan atas realitas faktual (empirisme), dan semangat eksperimentasi, telah melahirkan kemerdekaan manusia untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.

Dua Gejala
Setidaknya, hemat penulis, ada dua gejala besar yang bisa kita tandai dari kasus kebebasan manusia untuk lari dari Tuhan ini.
Pertama, gejala yang tampak dari mereka yang terang-terangan tidak beriman dan tidak “peduli” pada Tuhan. Realitas dunia ini mereka serap dan susun hanya sekedar untuk memenuhi kemampuan dan kepentingan mereka baik sebagai konglomerat, filosof, ilmuwan, dan lain sebagainya. Inilah titik kemunculan anggapan bahwa tugas orang yang berakal (rasional), ilmiah, kaya, dan teremansipasi, adalah untuk membunuh Tuhan.
Kedua, gejala itu tampak dari mereka yang mengaku beriman pada Tuhan. Namun, Tuhan telah mereka lupakan dan campakkan dalam lakon kehidupan sehari-hari yang mereka jalani atas dasar hawa nafsu, kepentingan, dan keinginan untuk menjadi penguasa atas manusia lainnya. Mereka pun korupsi, berambisi pribadi, menghancurkan alam, dan merusak tatanan sosial.
Dua gejala besar yang akut itu telah menjangkiti semua manusia. Termasuk orang-orang muslim yang beriman pada Allah SWT, yang shalat lima kali sehari, yang berhaji setiap tahun, yang rutin berzakat, dan yang begitu tampak saleh di depan publik.
Pertanyaannya, apakah dengan menyingkirkan Tuhan, mereka dan bahkan kita semua mampu memberikan “obat” untuk menyembuhkan penyakit kehidupan modern ini? Apakah saat nafsu dan kepentingan menjadi landasan hidup telah kita praktekkan, lantas ketakutan-ketakutan kita jadi hilang?

Ilmu: Kehilangan Arah
Kegalauan masyarakat bukannya berkurang, akan tetapi semakin parah. Berkat kemajuan buah pikir cemerlang teknologi dan sains lainnya, manusia semakin mudah untuk saling memusnahkan satu sama lain. Modus operandi kejahatan semakin rapi, kerusakan moral semakin tak terbendung, penindasan sesama manusia bertambah pinak.
Sains dan teknologi telah kehilangan arah tujuan semulanya sebagai alat untuk memakmurkan dunia. Kecanggihan teknologi hanya menjadi malapetaka bilamana para pemegangnya tak bermoral.
Hal ini menunjukkan adanya sikap manusia yang mencabut roh ketuhanan. Padahal, kemajuan teknologi tanpa didukung nilai-nilai ke-Tuhan-an tak ubahnya seperti orang buta yang dipegangi pedang dan ngawur menggunakannya.
Ilmu pengetahuan yang semula oleh Allah diturunkan agar manusia bisa menemukan jati diri dan keberadaan Tuhannya (sangkan paraning dumadi), kini malah sebaliknya. Ilmu pengetahuan yang kita miliki semakin menjauhkan diri kita dari Tuhan.
Seperti yang dikatakan TS Eliot, semakin hari ilmu pengetahuan hanya membawa kita kepada kebodohan. Sedangkan kebodohan kita, membawa kita semakin dekat kepada kematian. Anehnya, walaupun semakin dekat dengan kematian, mengapa kita malah bertambah jauh dari Tuhan.
Begitulah, jika Tuhan dijauhkan dari hidup ini. Pandangan kita hanya dijejali oleh keinginan bagaimana memuaskan hawa nafsu, ambisi, materi, dan kepentingan sesaat semata. Kita pun diperbudak oleh benda-benda mati yang seharusnya kita kendalikan.

Hanif: Agama Sebagai Sistem
Firman Allah SWT di atas menjelaskan bahwa agama merupakan kebutuhan. Kalau boleh dikatakan, agama adalah roh manusia yang bisa membuat manusia hidup dan bersemangat dalam mengarungi ganasnya kehidupan.
Sudah menjadi tabiat manusia bila ada masalah di luar kemampuannya, mereka akan mencari penolong yang dianggap memiliki kekuatan di atas segala kekuatan untuk dimintai pertolongan (QS:17:83). Pemilik kekuatan linuwih inilah yang dinamakan “Tuhan”.
Sudah menjadi fitrah bila manusia merindukan Tuhan. Ini semua tak lepas dari kejadian awal manusia yang suci, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari, dan menemukan Tuhan. Itulah ajaran yang disebut hanif.
Melalui kehanifan ini, manusia berusaha mencari kebahagiaan hakiki yang akan tercapai bila manusia mampu menemukan kesejatian (ma’rifat) Tuhan (QS:89:27-30).
Untuk itu, kita memerlukan sebuah sistem hanif yang akan menghantarkan kita tepat pada sasarannya. Sistem inilah yang kita sebut dengan agama.
Agama dipandang sebagai cara atau sarana untuk menemukan kebutuhan dambaan manusia. Walaupun, di abad modern ini, ada yang percaya bahwa agama akan segera tergantikan oleh ilmu pengetahuan.
Namun, kini setelah kemajuan besar tercapai oleh pengetahuan, manusia tetap merasakan adanya kebutuhan terhadap agama berkenaan dengan bagaimana manusia meraih kebahagiaan pribadi dan sosialnya.
Tuhan adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia. Hal ini didasari oleh sifat manusia yang ingin memenuhi kebutuhan spiritualnya tanpa batas, ingin melepaskan diri dari wujud terbatas, dan ingin mencapai inti wujud (Tuhan).
Pada diri manusia terdapat dorongan dan dambaan yang tidak akan menetap, tenang dan tentram, kecuali jika telah berhubungan dengan sumber inti wujud ini (Tuhan).
Tanpa Tuhan, politik dan moralitas akan menjadi pragmatik dan licik, jiwa-jiwa mendadak gersang, bencana pun semakin mengerikan.

Agama Sebagai Sarana
Tetapi, yang perlu dicatat saat ini adalah agar agama tetap berada dalam fitrahnya, yakni sebagai kebutuhan pokok manusia dan tidak dianggap sebagai “opium”. Maka tugas kita adalah bagaimana menerjemahkan (memaknai) agama itu sendiri dalam bentuk praktek membuat kebaikan bagi alam semesta (hamemayu hayuning bawono) dalam kehidupan sehari-hari (QS:21:107).
Hal ini penting, agar agama itu tidak kita pandang hanya sekedar ritual rutin yang bisa menyebabkan kita menganggap diri kita ini paling saleh setelah menjalankannya. Jika kita masih seperti itu, mungkin itulah agama yang disebut candu. Wajar, kalau manusia modern pun akan semakin sanksi dan pada akhirnya akan menciptakan agama (aliran-aliran) baru bahkan Tuhan baru.
Jadi, memaknai agama dengan sebenarnya adalah keharusan bagi setiap umat beragama supaya agama benar-benar menjadi suatu kebutuhan manusia yang hanif tersebut. Sehingga keberadaan agama tetap langgeng dan tak tergantikan oleh paham-paham sesat lainya.
Agama bukanlah ”berhala” yang harus disembah. Agama hanyalah sebuah sarana menuju keesaan Allah SWT. Marilah kita hitung, berapa banyak di antara kita yang lebih beriman pada agamanya daripada beriman pada Allah SWT? Wallahu a’lam.

*) Khoirul Anwar
Warga Komplek Masjid Baiturrahman Gowok Yogyakarta

1 komentar:

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat