Jumat, Februari 01, 2008

Makna Qurban

Memaknai Qurban
*) Oleh: Lutsfi Siswanto

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (QS: 37: 102)


Tinggal beberapa hitungan hari lagi kita akan merayakan hari besar Idul Adha. Alkisah, Idul Adha adalah hari yang menandai peristiwa ujian berat yang harus dihadapi oleh Nabi Ibrahim AS pada masa itu. Sebuah pertaruhan hidup yang sulit.
Bagaimana tidak, karena saat itu Ibrahim AS dihadapkan pada pilihan antara mengedepankan atau mengorbankan kepentingan pribadi, antara cinta pada Allah atau cinta pada anaknya, Ismail. Bagi manusia yang normal, pilihan ini tentunya akan berujung pada pergulatan batin yang tak berkesudahan. Tegakah seorang ayah menyembelih putra kesayangannya?
Alhasil, Ibrahim menjatuhkan pilihannya pada kepentingan Allah SWT. Ia pun menyembelih Ismail. Ismail pun rela disembelih, karena ia tahu bahwa cinta kepada Allah itu melebihi segala-galanya.Tatkala pisau tajam Ibrahim hampir menyentuh leher Ismail, ternyata Allah SWT berkehendak lain. Ismail pun diganti dengan seekor domba. Hal ini sebagaimana tercatat dalam QS: 37: 107: Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Menyembelih Egoisme
Apa yang dialami Nabi Ibrahim AS tentunya tidak terulang kembali karena kita sudah berada pada ruang dan waktu yang berbeda. Namun yang menjadi tugas wajib kita saat ini adalah menjalani lakon pengorbanan Ibrahim AS tersebut, yaitu pengorbanan untuk mengenyahkan berhala dan pemberhalaan kepentingan yang ada di dalam diri kita sendiri.
Kegundahan Ibrahim AS yang hendak memilih antara menyembelih Ismail atau tidak, merupakan simbol dari adanya sesuatu yang disebut ’berhala kepentingan pribadi’ di dalam diri setiap manusia yang normal. Ternyata Ibrahim AS mampu menyingkirkan kepentingan pribadi duniawi itu. Karena ada kepentingan yang lebih mulia, yaitu kepentingan Allah SWT. Jelas, hal itu pun butuh pengorbanan.
Maka pelajaran utama yang bisa kita petik dari kisah Ibrahim AS adalah semangat untuk ikhlas dalam mengorbankan kepentingan pribadi, dan menjalani hidup hanya demi menegakkan kepentingan Allah SWT. Karena kepentingan pribadi sangat mungkin menjadi berhala yang lebih kita agungkan ketimbang Allah SWT.
Kepentingan kelompok atau golongan juga merupakan wujud kepentingan pribadi. Karena itu, semuanya hendaknya mampu kita korbankan. Apalagi kalau kepentingan pribadi dan kelompok itu ternyata menyusahkan, merendahkan, dan menghina orang lain.
Untuk menuju arah itu, yaitu untuk mengedepankan kepentingan Allah SWT, setiap kita pasti dan mesti dihadapkan pada sebuah batu ujian guna memperteguh apa yang kita yakini. Seandainya sudah diuji, kita pun tidak boleh mengharapkan imbalan apa yang ada di balik ujian itu. Karena imbalan yang sering kita percayai dan sering kita bayangkan, adalah mutlak urusan Allah SWT. Saat kita menunggu-nunggu imbalan itu, berarti kita telah mengedepankan kepentingan kita untuk mendapatkan imbalan, dan kita pun mengharapkan selain Allah SWT.

Berhala Baru
Pada masa Nabi Ibrahim jelas sekali tergambar bahwa yang dimaksud dengan berhala adalah men(T)uhankan atau mendewakan (menyembah) patung yang berupa batu dan benda-benda lainnya. Namun, saat ini, berhala-berhala itu telah berubah menjadi patung raksasa baru dengan varian-varian yang lebih menarik dan berakibat pada prilaku konsumtif, hedonis (berfoya-foya), dan egoisme (tidak pernah peduli orang lain).
Selain itu, patung-patung raksasa ini sangat mudah kita jumpai tumbuh dengan seenaknya, misalnya supermarket, Mall, alat teknologi tinggi, partai politik, organisasi, hingga patung di dalam diri kita sendiri yang berupa sifat egois, merasa benar sendiri, dan lainnya. Kita pun mungkin lebih cinta pada semua patung itu. Bahkan semuanya menjelma lebih dekat dengan diri kita, yakni berupa berhala kejumudan, kebodohan, dan taqlid buta terhadap diri dan golongan hingga men(T)uhankannya.
Hal ini sering terjadi. Hingga berakibat pada kesalahpahaman yang disengaja, saling curiga, caci maki, rasisme, atau bahkan yang lebih ekstrem bermuara pada pertumpahan darah. Lihatlah negeri kita yang bernama Indonesia yang hingga kini belum bisa beranjak dari keterpurukan krisis multidemensi. Ahlak korupsi menjadi tuntunan, penggusuran orang-orang miskin menjadi hiburan, perkelahian menjadi kearifan budaya, perusakan lingkungan menjadi trend, dan manipulasi dan sogok-menyogok menjadi tradisi.
Bukankah hal itu menjadi bukti bahwa di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita masih belum bisa mengorbankan sifat iblis materialistis, kepentingan pribadi dan kelompok kita yang mau menang sendiri? Saat kita mengatakan bahwa menyembah patung itu syirik, mengapa kita lupa untuk melihat sifat egois kita yang sering kita sembah dan pentingkan?
Mengapa kita lebih ingin memperkaya diri kita hingga kita pun korupsi? Bukankah lebih baik kalau keinginan untuk korupsi itu kita sembelih saja demi kepentingan bersama? Itulah makna Idul Adha. Alangkah bijaksananya pula bila penyembelihan hewan kita iringi dengan menyembelih sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri kita. Wallahu a’lam.

*) Oleh: Lutsfi Siswanto
Penulis adalah Pegiat Gerakan Komunitas “Marakom” Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat