Jumat, Februari 01, 2008

Rila

Musibah Itu Jalan Menuju Tuhan
*) Oleh: Wantini

”Rila Lamun Ketaman Ora Getun Lamun Kelangan”
(Filosofi Jawa)

Akhir-akhir ini, negara Indonesia ini kerap diberikan musibah oleh Allah SWT di sana-sini. Siapa kira, jika ternyata kita semua harus menutup akhir tahun 2007 ini dengan airmata. Bermacam musibah datang silih berganti. Bahkan terkadang datang dalam waktu yang bersamaan.
Menghadapi Musibah
Bagaimana seharusnya menghadapi musibah? Menghadapi musibah sama artinya dengan menghadapi kehidupan ini. Karena telah tertulis di dalam sejarah, bahwa dunia ini selalu saja dimulai evolusi peradabannya dari sebuah musibah.
Contohnya, banjir bandang yang terjadi pada masa Nabi Nuh AS. Peristiwa itu adalah pertanda telah dimulainya babak baru sejarah bumi dan persebaran manusia ke dalam benua-benua.
Maka, kepiawaian kita menghadapi musibah merupakan pangkal tolak kebangkitan kita dalam menjalani kehidupan ini. Filosofi Jawa yang saya kutip di atas setidaknya membantu kita dalam menghadapi musibah yang datang menerpa.


Musibah di Mata Orang Jawa
Secara terminologi, jika ungkapan Jawa yang saya kutip di atas diartikan, masing-masing kata memiliki arti ikhlas (rila), jika (lamun), terkena (ketaman), tidak (ora), menyesal (getun), jika (lamun), dan kehilangan (kelangan).
Apabila diartikan secara utuh, ungkapan tersebut bermakna; ikhlas jika tertimpa musibah, tidak menyesal jika kehilangan. Dengan demikian, kita dianjurkan untuk hidup berserah diri dan pasrah terhadap kehendak Allah SWT.
Itulah sikap hidup orang Jawa yang mengakui bahwa hidup pasti mengalami owah gingsir (selalu berubah). Bahagia dan celaka itu pakaiannya orang hidup. Gusti mboten sare (Tuhan tidak tidur), tetapi selalu mengetahui semua yang terjadi pada siapapun juga. Itulah sikap yang mengajarkan agar kita selalu bersyukur dan tidak lupa diri sewaktu menerima kebahagiaan.
”Syukur” menunjukkan bahwa kita memang tidak punya apa-apa di dunia ini. Maka dari itu, apa yang kita sebut ’kehilangan (kelangan)’ sebenarnya tidak ada, sebagaimana ’penyesalan (getun)’ pun juga tidak ada. Karena Gusti Allah-lah Sang Pemilik apa yang kita anggap milik kita.
Boleh-boleh saja merasa kehilangan dan merasa menyesal, karena itu adalah manusiawi. Hanya saja, hendaknya kita tidak larut di dalam hilang dan sesal yang terlalu dalam dan jauh.

Jiwa yang Sumeleh
Benarkah jauh di lubuk hati kita terdapat impian untuk memiliki rumah besar, mobil mewah, dan uang yang bisa menjamin kehidupan? Benarkah kita berharap bisa sukses entah bagaimana caranya? Apakah kita diam-diam menginginkan pekerjaan lain dan tidak ikhlas terhadap profesi kita hari ini? Jelasnya, apakah kita selalu mengharapkan agar musibah tidak menghampiri kita?
Setiap orang pasti selalu berharap tidak mengalami musibah yang dapat menimbulkan penderitaan atau kesedihan diri, keluarga dan masyarakatnya. Musibah pun kerap dianggap sebagai kecelakaan.
Namun, tentu Tuhan berkehendak lain saat Dia memberikan musibah pada kita. Jelas, kehendak-Nya adalah menguji kesabaran dan keteguhan iman kita melalui musibah yang diberikan-Nya kepada kita, keluarga kita, ataupun bangsa kita.
Pada saat kita tertimpa musibah kita dianjurkan untuk tetap tabah dengan berserah diri kepada Tuhan, mampu berdiri tegak, tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan yang menyulitkan, dan tidak berputus asa. Itulah jiwa yang sumeleh (berserah diri secara ikhlas pada kehendak Tuhan).
Seperti diriwayatkan oleh at-Tirmidzi: ”Dan bersabda Nabi SAW: Sesungguhnya besarnya pahala dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi lebih mencintai kaumnya dengan mengujinya. Barang siapa ridlo (ikhlas) maka baginya keridlaan Allah dan barang siapa tak suka (mengeluh) maka baginya Allah tidak menyukainya.”

Siap Nikmat, Siap Melarat
Tentu kita semua siap untuk menghadapi kenikmatan, kebahagiaan, dan kesuksesan itu. Namun, apakah kita juga siap saat kita ternyata ”melarat”? Maka, di antara semua kemungkinan itu yang hendaknya disiapkan dalam pikiran dan mental adalah jika Allah SWT memberikan ”kemelaratan” kepada kita.
Kalau dalam hidup kita dianugrahi kemiskinan sampai maut menjemput, itu adalah rezeki yang paling mahal. Sebab orang lain belum tentu sanggup menahan deraan kemiskinan. Sementara kita mampu.
Itulah rezeki yang lebih berharga dari segalanya, yaitu saat Allah SWT memilihkan rezeki yang tidak berupa kekayaan dunia, tetapi berupa cinta dan penerimaan-Nya dan penerimaan kita atas-Nya.
Seluruh isi di dunia ini tidak memadai untuk digali sebagai tambang kebahagiaan dan ketentraman. Karena pencapaian bahagia dan tentram tidak terletak di luar diri kita, melainkan berbenih dan tumbuh kembang di dalam diri kita, di dalam hati yang selesai dan cara berpikir yang tepat terhadap kenyataan.
Orang sering merasa shocked (tertekan) ketika menerima musibah yang datangnya tiba-tiba. Ketertekanan itu boleh-boleh saja. Asal tidak larut. Karena musibah yang datang tiba-tiba itu telah ginaris (ditakdirkan) oleh Allah SWT. Hanya penyampaiannya saja yang mendadak. Itu pun karena kita tidak siap saja. Hingga kita menyebutnya; ”datang tiba-tiba”.
Hemat saya, dalam rencana Allah, semua peristiwa tidak ada yang terjadi secara mendadak. Bukan semendadak HP kita yang kita yakini ”tiba-tiba” hilang. Semua telah direncanakan. Kita tinggal menerimanya. Termasuk soal musibah yang bertubi-tubi datang di Indonesia ini.

Menganggap ”Azab”: Menuju Keimanan
Bagi saya, semua musibah haruslah kita anggap sebagai ”azab Tuhan” saja, bukan cobaan Tuhan. Karena dari anggapan itu, mudah-mudahan kita akan dapat yakin kalau diri kita ini semakin hari semakin ”kurang ajar” dan berdosa kepada Tuhan. Maka sudah seharusnya kita memperbaiki diri dan bertobat!
Janganlah musibah itu kita anggap sebagai cobaan Tuhan, meski boleh-boleh saja. Karena dari anggapan itu, bisa-bisa kita menjadi pelagak yang so’-so’an, yang yakin kalau kita ini memang orang yang imannya tinggi!
Hingga kita pun menganggap kalau kita ini adalah orang yang paling beriman, yang layak dan sedang diuji Tuhan. Padahal, sebenarnya tidak! Karena setiap kita merasa paling beriman, saat itulah kita telah menunjukkan ketidakberimanan kita.
Kalau pun memang kita ini beriman, marilah kita anggap bahwa kita ini bukan orang yang cukup baik imannya. Karena dengan begitu, kita memiliki cukup alasan untuk memperbaiki diri kita.
Salah satu jalan perbaikan iman itu adalah dengan ’bermusibah-ria’. Itulah jalan menuju Tuhan. Dan, jalan menuju Tuhan itu adalah jalan kebangkitan peradaban dan kebudayaan suatu bangsa. Maukah kita menapaki jalan itu? Wallahu a’lam.

*) Wantini
Staf Pendidik TPA Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat