Jumat, Februari 01, 2008

Islam Kenyataan

Islam, Ilmu, dan Kenyataan Umat
*) Oleh: Abdul Muizzu

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(QS: 13: 11)

Ciri-ciri seorang muslim adalah melaksanakan kewajiban yang lima (rukun Islam), yaitu Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji. Pertanyaannya adalah apakah dengan melaksanakan kelimanya lantas selesai sudah kewajiban seorang muslim? Faktanya banyak orang salat, tapi korupsi tetap jalan. Banyak pula yang naik haji, tapi banyak pula yang kelaparan dan menderita kemiskinan.
Belum lagi masalah-masalah umat yang lainnya, di antaranya; mutu pendidikan yang rendah, birokrasi yang korup, administrasi yang kacau, disiplin yang keropos, etos kerja yang rendah, fanatisme golongan yang berlebihan, apriori terhadap peradaban modern, dan sibuk dengan urusan furu’ [cabang] daripada ushuul [persoalan dasar/pokok].


Hamba yang Cerdas
Fakta itu semacam tragedi bagi kita semua. Padahal telah jamak dalam sejarah, bahwa Islam merupakan agama yang dalam beberapa dekade pernah menjadi poros peradaban dunia.
Jika Islam dahulu terbukti sebagai poros peradaban, maka dapatkah Islam difungsikan secara prima dalam sejarah kita saat ini? Lalu, bisakah umat Islam menghadapi tantangan dunia modern? Hal ini hendaknya menjadi bahan renungan kita untuk berfikir cerdas, jujur, dan terbebas dari subjektifisme golongan dan egoisme pribadi.
Menghadapi tantangan dunia modern ini, hendaknya umat Islam jangan bersikap anti peradaban modern. Sikap mengambil hal-hal yang baik dan membuang yang buruk dari peradaban modern adalah salah satu ciri hamba Allah yang cerdas. Hal ini sebagaimana yang dilakukan umat Islam dahulu yang mempelajari dan mengadaptasi ilmu pengetahuan dari Yunani, lalu mampu membuat karakteristik keilmuan yang khas.
Pada waktu itu umat Islam begitu bersemangat untuk mencari ilmu pengetahuan yang diikuti dengan penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, kreatif, dan inovatif. Maka muncullah tokoh-tokoh sekaliber Ibnu Rusydi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Imam Ghazali, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali.
Akankah saat ini akan muncul tokoh-tokoh yang kreatif dan inovatif? Apakah ilmu pengetahuan bisa jadi dasar perkembangan gerak dan cara berpikir umat Islam saat ini?

Ilmu: Mengapa Saling Menuding?
Saat ini yang terjadi mungkin agak bertolak belakang dari itu semua. Umat Islam begitu mudah menjustifikasi/menghukumi segala sesuatu tanpa memandangnya sebagai kekayaan ilmu Allah SWT. Jika pun sesuatu itu bisa dan mungkin saja salah sesalah-salahnya, itu hal yang wajar menurut saya. Karena hal itu menunjukkan kalau jagat ini masih manusiawi.
Menjadi tidak wajar kalau sesuatu yang (disebut) salah itu kita tanggapi dengan emosi, marah, dan jauh dari sikap arif dan penuh hikmah (baca: ilmu), meskipun hal itu juga masih manusiawi. Akibatnya, kosakata yang sering hinggap di telinga kita adalah: sesat, kafir, salah, haram, bid’ah, dan sebagainya.
Kondisi yang demikian akan memunculkan sektarianisme dan fanatisme yang menyebabkan kita selalu merasa bahwa yang benar adalah golongan kita sendiri. Jika begitu, seolah-olah kita ini adalah pemegang otoritas tunggal yang berhak menyalahkan ini dan membenarkan itu. Padahal, otoritas untuk membenarkan dan menyalahkan hanya Allah SWT yang memilikinya.
Sekali lagi, jika pun ada kasus di dalam tubuh umat Islam ini yang kita pandang sesat, maka marilah kita menanggapinya dengan rasa syukur kepada Allah SWT, bahwa kita ini masih bodoh dan lupa menyebarkan kebaikan dan kearifan ke seluruh jagat raya. Selain itu, kita pun harus sadar bahwa DIA menciptakan sesuatu yang belum kita pahami. Maka, berdialog dengan yang sesat itu, di atas landasan kesadaran untuk mencari ilmu, adalah upaya untuk membuktikan bahwa kita ini tidak punya hak untuk menyebut si ini sesat, bid’ah, kafir, haram, dan sebagainya.
Bukankah saat kita menyebut ini sebagai bid’ah misalnya, itu adalah ucapan dan pikiran kita? Kalau pun kita melandaskannya pada sebuah ayat atau hadits Nabi, bukankah itu pun adalah tafsir dan pemahaman kita terhadap ayat dan hadits itu? Itu artinya, bukankah tafsir dan pemahaman kita itu bisa benar, bisa salah, dan bisa juga sesat?

Melihat yang Nyata
Marilah kita buka mata kita untuk melihat realitas real umat Islam saat ini. Saat ada saudara kita seorang muslim yang betul-betul fakir, lantas tidak ada yang peduli kepadanya, janganlah kita marah-marah saat ternyata ada umat lain yang menolongnya lalu mengajaknya pindah agama. Umumnya, kita melihat kasus itu sebagai misi terselubung sebuah agama tertentu, hingga kita pun menghujatnya. Padahal persoalannya tidak di sana, akan tetapi pada diri kita sendiri yang hampir-hampir tidak peduli pada saudara kita yang fakir-miskin itu.
Salah satu penyebabnya, ini terjadi karena umat Islam atau kita belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan mengarahkan kepedulian pada sebuah masalah yang lebih konkret dan nyata. Kita lebih sibuk mengurusi masalah aliran sesat daripada mengurusi diri kita yang cenderung korup dan manipulatif.
Amat menyedihkan sekali jika di suatu saat kita menyumpahi kesesatan seseorang, namun pada saat yang sama kita tidak sadar bahwa kita sudah menghina ciptaan Allah SWT dengan menyumpahi dan menunjuk-nunjuk diri orang lain. Seolah-olah kita ini makhluk yang suci saja! Lebih parah lagi, kita pun lupa untuk peduli pada si miskin, karena energi kita habis untuk menyumpah-serapahi orang lain.
Karena itu, mari bersama-sama kita tunjukkan Islam kita ini sebagai cara hidup yang rahmatan lil ‘alamin, yang mampu membawa perubahan ke arah kebaikan dan keadilan sosial. Untuk memulainya marilah kita mulai dari diri kita sendiri dengan sungguh-sungguh. Wallahu a’lam.

*) Abdul Muizzu
Koordinator Keluarga Mahasiswa Jogjakarta – Kabaena, mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat