Persatuan Umat Pasca Ramadlan
*) Oleh: Ahmad Romadhoni
*) Oleh: Ahmad Romadhoni
Ramadlan 1428 bagi umat Islam di Indonesia ditandai oleh perbedaan penetapan 1 Syawal 1428 H, yang telah menjadi 'makanan' tahunan bagi kita. Tentu kita yakin bahwa hal itu didasarkan pada sumber-sumber yang valid dan benar agar umat dewasa dalam menentukan pilihan yang diyakini paling benar. Ketika Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, maka kondisi seperti ini memancing kita untuk mereguk hikmah.
Berbeda Untuk Bersatu-sama
Sayangnya yang terjadi hampir tidak sebangun dengan apa yang seyogyanya. Masing-masing kita lebih memilih untuk beropini bahwa pebedaan itu diakibatkan oleh ego kolektif-organisatoris (QS:30:32). Padahal, seorang Astronom memprediksi perbedaan ini akan sering terjadi selama 20 hingga 30 tahun mendatang. Sebagai kasus, kita harus sadar bahwa perbedaan ini lebih diakibatkan oleh gejala alam. Karena itu metode penetapan awal bulan dengan menggunakan hisab maupun rukyat yang sangat bergantung pada gejala alam ini sangat mungkin menghasilkan sesuatu yang berbeda melalui metode yang sama maupun tidak.
Islam adalah agama ilmu pengetahuan. Memahami Islam butuh kedalaman ilmu tanpa taqlid (mengikuti tanpa sadar dan dasar) secara membabi buta kepada apa dan siapapun. Artinya umat harus paham secara sadar, mendasar, dan tidak diperkenankan untuk ber-islam menurut si A atau si B, organisasi A atau B. Begitupula dalam penetapan akhir Ramadlan lalu. Secara ilmiah, harusnya kita berpikir bahwa terjadinya perbedaan itu telah mewajibkan umat untuk menekuni astronomi, Ilmu falaq, fisika optik, matematika, dan bidang lain yang terkait. Bukankah saat ini, dalam bidang ilmu dan teknologi, umat Islam tertinggal jauh dibandingkan dengan umat lain?
Ironisnya beberapa kalangan di antara kita justru mencoba untuk mematikan perbedaan itu dengan alasan demi persatuan umat. Bahkan ada juga yang mengandaikan jika perbedaan dihilangkan maka muncul persatuan yang nantinya akan membuat musuh-musuh Islam menjadi takut. Bagi penulis, kondisi ini sangat memprihatinkan. Umat terkesan dienggankan untuk berbeda. Padahal kita semua paham bahwa perbedaan itu adalah rahmat, yang berarti bahwa ada hikmah di baliknya. Patut disayangkan pula bahwa seringkali konsep perbedaan ini hanya dikaitkan dengan pilihan politik di masa Pemilu. Padahal perbedaan penentuan hari raya, memiliki hikmah yang lebih besar menuju kemaslahatan umat dibandingkan dengan perbedaan pilihan saat Pemilu yang terkadang malah mendatangkan mudharat (bahaya) kepada umat.
Visi Ketauhidan dalam Persatuan
Banyak ulama maupun pejabat yang kemudian bertindak sedemikian rupa untuk mencoba mendamaikan perbedaan ini. Seakan-akan perbedaan penetapan hari raya merupakan sebuah permusuhan yang bisa membahayakan persatuan umat dan bangsa. Alih-alih mengambil hikmah dari sebuah perbedaan dengan memperdalam ilmu, justru yang terjadi malah melihat perbedaan menjadi ancaman yang harus disatukan dengan dukungan politik. Sekali lagi, perbedaan penetapan hari raya bukan ancaman bagi persatuan umat. Justru umat akan pecah tatkala visi ketauhidan ('aqidah, tauhid) yang sifatnya non-politik, sektarian, apalagi berbasis kepentingan, semakin lama semakin luntur di dalam benak kaum muslimin saat ini.
Tauhid inilah yang menjadi visi setiap nabi dan rasul yang diturunkan Allah SWT di muka bumi. Visi ketauhidan ini yang memberikan energi bagi Ibrahim AS untuk membabat habis pemahaman politeisme dan menggantikannya dengan monoteisme. Visi ini yang mampu menyatukan Bani Israil di bawah Musa AS untuk mengalahkan Fir'aun yang zalim. Visi ini pula yang menyatukan kaum anshar dan muhajirin di bawah Muhammad SAW untuk membongkar dominasi kaum kapitalis Quraisy yang menguasai, mengontrol, dan memonopoli perekonomian di Jazirah Arab saat itu. Allah SWT berfirman dalam QS:23:52: Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.
Persatuan umat akan terjadi jika visi ketauhidan muncul menjadi perekat umat. Bukan dengan menyamakan perbedaan apalagi hanya dengan menyamakan penetapan hari raya. Menyamakan perbedaan demi persatuan merupakan hal yang sia-sia karena perbedaan sendiri merupakan fitrah penciptaan alam raya ini. Maka haruslah kita sadari bahwa persatuan umat menjadi kunci utama dalam mengelola perbedaan.
Visi ketauhidan menjadi perekat utama persatuan umat ini. Visi ini merupakan platform umat dalam ber-Islam. Melalui visi ketauhidan ini pula seluruh alur kehidupan akan mengalir mengerucut menuju keridlaan-Nya. Dengan visi ini tidak akan muncul diskriminasi berdasar gender, ras, bangsa, warna kulit, status sosial, dan lain sebagainya. Visi ini pula yang akan menjadikan manusia berada pada kualitas manusia sebenarnya. Bahwa manusia bukan mesin-mesin produksi yang bisa dicetak sedemikian rupa untuk alat pemenuhan nafsu materi. Manusia juga bukanlah binatang yang tega mengambil hak manusia lain dengan jalur penjajahan, eksploitasi sumber daya alam, maupun korupsi.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah sampai di mana visi ketauhidan ini tertanam dalam benak dan hati umat? Muhammad SAW membutuhkan waktu 23 tahun untuk menanamkan visi ini kepada umat. Dengan tidak diturunkannya Nabi dan Rasul setelah Muhammad SAW maka kini menjadi tugas kita sebagai individu untuk menanamkan visi ketauhidan pada diri kita dan umat. Visi ini membatasi perilaku manusia dengan adanya kehidupan setelah mati yang mengingatkan tugas dan tanggung jawab manusia di muka bumi ini. Perbedaan bukanlah penyebab runtuhnya persatuan umat. Justru ketika umat tidak menghendaki perbedaan dan mencoba menyamakan maka di situlah titik di mana lunturnya persatuan umat.
Seorang bijak yang tinggal di pinggiran kota ini berkata; biarkan rakyat Indonesia yang bertahun-tahun didera penderitaan itu bergembira dalam dua hari raya. Mereka yang tidak beruntung dalam hal materi mungkin justru akan mendapatkan rezeki ganda dari harta orang-orang kaya. Mudah-mudahan kelak mereka pula nanti yang akan muncul menjadi ahli astronomi atau ilmu falaq. Karena mungkin mereka pula yang mampu menangkap hikmah perbedaan ini dengan sempurna. Wallahu a'lam.
*)Ahmad Romadhoni
Pegiat Ketakmiran Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta