Rabu, Maret 05, 2008

Pahlawan Kesiangan

Menjadi Pahlawan Tanpa Kesiangan: Refleksi Hari Pahlawan
*) Oleh: Ihab Habudin

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.”
(QS. 22: 78)

Tiga bulan pasca kemerdekaan, tepatnya tanggal 10 November 1945, di Surabaya, para pejuang bangsa kembali berperang. ‘Berani-nekad’ demi terciptanya kehidupan yang bebas dari kezaliman adalah modal mereka. Miskinnya pengalaman dan minimnya senjata bukanlah penghalang. Benak mereka hanya dihuni dua kata; merdeka atau mati. Hasilnya, penjajah berhasil diusir.
Sungguh peristiwa penting. Terlebih, sejarah mengatakan bahwa arek-arek Surabaya yang menjadi pelopor perjuangan tersebut banyak yang berasal dari kaum santri. Inilah yang harus kita lihat, bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai agama doktrinal yang hanya mengatur kesalehan individual saja, melainkan sebagai spirit pembebasan untuk melawan penjajahan. Islam tidak hanya diinsyafi untuk memenuhi spiritualitas pribadi saja, melainkan sebagai landasan untuk membela sesama (baca: rahmatan lil ‘alamin).
Jadilah keberanian berjuang dan berkorban -yang adalah jiwa pahlawan- juga merupakan bagian dari nilai substantif ajaran Islam. Ayat yang penulis kutip di atas merupakan sebagian kecil ajaran Islam yang menandaskan pentingnya perjuangan dan pengorbanan. Ada sebuah hadits semakna yang artinya berbunyi: “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika tidak mampu maka hendaklah merubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu (juga), maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Allah SWT juga berfirman dalam QS: 3: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”

Disorientasi Makna
Fakta di atas dapat kita maknai bahwa sejatinya manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki etos kepahlawanan yang terintegrasi dalam dirinya, keberanian untuk menegakkan kebaikan, dan kelurusan dalam menumpas segala bentuk kemungkaran. Itulah peran sentral manusia di muka bumi ini, yaitu; sebagai khalifah (QS: 2:38).
Namun sayang, kini kita banyak menjumpai masing-masing dari kita kering-kerontang akan etos kepahlawanan ini. Bahkan, dalam hidup berbangsa dan bernegara, kita mengalami disorientasi makna kepahlawanan. Kemampuan untuk berkorban dan keikhlasan berjuang di jalan yang benar sering diposisikan dalam tempat yang salah. Keberanian tidak tampak dalam menegakkan keadilan dan membabat habis tindak kejahatan. Malah sebaliknya, yang kerap tampak dari diri kita adalah keberanian berbuat noda dan dosa.
Banyak dari kita yang tanpa tanggung jawab mengeksploitasi alam secara besar-besaran, tanpa rasa malu mengkorupsi uang rakyat, tanpa sadar dilihat sang pencipta nyaman dengan budaya foya-foya (hedonisme) dan menumpuk harta, tanpa rasa risih melanggengkan budaya konflik dan kekerasan, dan masih banyak lagi.

Mau jadi pahlawan kesiangan?
Akibatnya kita semua seolah telah menjadi pahlawan kesiangan. Karena untuk berkorban saja masih banyak di antara kita yang menempatkannya di ruang yang salah. Kita baru mau memberi sedikit derma pada kaum papa, korban bencana, rakyat miskin dan kaum tertindas, bila di sana kepentingan pribadi dan golongan kita bisa (ter)dipenuhi. Kita baru ‘berlomba dalam kebaikan’ bila musibah dan bencana telah menerpa. Kita juga hanya bersedia mengulurkan tangan hanya sebagai bagian dari ritual saja. Seolah-olah berbuat kebaikan itu hanya dianjurkan pada saat dan waktu tertentu saja. Tentu demi kepentingan tertentu pula. Inilah yang penulis sebut sebagai etos pahlawan yang kesiangan. Ia tidak tahu kalau ia kesiangan, dan tidak sadar kalau hari sudah siang. Ah, betapa malunya menjadi hamba Tuhan yang seperti ini.
Fenomena membanjirnya bantuan untuk korban bencana dan membludaknya zakat harta hanya pada bulan Ramadlan saja menjadi bukti yang tak terelakkan. Faktanya, setelah bencana berlalu dan Ramadlan lewat siapa lagi yang berani berjuang dan berkorban membantu kaum miskin dan terpinggirkan? Sangat minimalis.
Padahal berjuang dan berkorban di jalan Allah tidak terikat ruang dan waktu. Tidak hanya setelah bencana dan musibah menerpa. Tidak hanya pada bulan Ramadlan dan hari-hari suci lainnya. Tidak terikat kepentingan pribadi dan golongan, dan tidak pula karena ingin dipuji mesti perbuatan baik itu untuk kepentingan umat.
Bukankah Rasulullah SAW mengabdikan seluruh hidupnya untuk berjuang dan berkorban? Apa yang dilakukan beliau tersebut semata-mata demi cinta kepada Allah SWT dan umatnya. Hingga menjelang wafat pun beliau masih mengingat nasib umatnya. Hal ini menandakan bahwa apa yang dilakukannya jauh dari hanya sekedar membela kepentingan pribadi dan golongan, dan tidak terbatas hanya pada waktu tertentu.
Maka, perlulah kini kita merefleksikan diri dan menerapkan apa yang menjadi tanggung jawab kita sebagai khalifah di muka bumi ini; berjuang bersungguh-sungguh (baca: berjihad) dan berkorban, apapun ideologi, ormas, partai, mazhab, bahkan agama kita. Karena kita semua adalah manusia yang bertugas memakmurkan dunia lewat medium berjuang dan berkorban. Berjuang dan berkorban haruslah tanpa pamrih dan bebas gravitasi kepentingan demi terciptanya kehidupan yang lebih manusiawi. Itulah etos kepahlawanan. Jadi, masihkah kita mau menjadi pahlawan kesiangan? Wallahu a’lam.

*) Ihab Habudin
Ketua Bidang Kajian Strategis [Kastrat] HMI MPO Cabang Yogyakarta, tinggal di Karangkajen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah kami saran dan kritik yang membangun demi kemajuan umat