Refleksi Maulid Nabi SAW 1429 H
*) Oleh: Mohammad Mufid
(QS: 8: 27-28)
Ilustrasi ini limit dengan kasus korupsi yang merajalelala di negara kita saat ini. Mulai dari struktur kenegaraan yang paling tinggi, paling suci, dan paling terhormat hingga paling kotor, rendah, dan paling hina. Mulai dari penegak hukum hingga tukang parkir di jalanan. Bahkan baru-baru ini kita dikejutkan dengan tertangkapnya oknum penegak hukum yang terlibat kasus korupsi dalam bentuk suap-menyuap. Korupsi ibarat virus atau bakteri pathogen yang terus berkembangbiak merusak kehidupan kita. Pemerintah dituntut ekstra keras untuk mendesain program Anti Virus Korupsi yang ideal untuk memberantasnya.
Beberapa di antara programnya ada dalam TAP MPR XVI tahun 1998, UU No 28 th 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 20 th 2001 tentang perubahan atau UU No 31 th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), UU No 30 th 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), PP No 71 th 2000 tentang Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta instruksi presiden RI No 5 th 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Namun, sekian banyak program itu juga belum menunjukkan hasil optimal. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2003 (Corruption Perception Index) yang diterbitkan oleh Transparency International (TI) mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 122 dengan skor 1,9 (Arya Maheka; 2006). Kriteria ini didasarkan pada skala 1-10 (skala 1 berarti negara terkorup, dan skala 10 adalah negara paling bersih dari kasus korupsi). Selanjutnya pada level Asia, menurut buku panduan Gerakan Moral Nasional Pemberantasan Korupsi (GMNPK), berdasarkan survey dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah konsultan dari Hongkong, menyebutkan bahwa pada tahun 2003 Indonesia menduduki negara terkorup di wilayah Asia.
Keprihatinan ini bertambah dengan laporan dari Corruption Perception Index (CPI) tahun 2006 yang dirilis oleh Transparency International (TI) pada 4 November 2006, yang memposisikan Indonesia pada peringkat 7 negara terkorup dari 163 negara. Posisi ini naik 1 peringkat dari tahun 2005 yang menempati posisi 6 negara terkorup dari 159 negara (Republika,4/12/06). Sudah sedemikian parahkah kondisi negara ini? Sebagai mayoritas penduduk yang taat beragama, di manakah nilai-nilai agama yang menuntun hidup kita?
Korupsi Menurut Islam
Bentuk korupsi dalam Islam tercermin dalam perilaku ghulul (penggelapan) dan risywah (suap). Ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan (QS:3:161). Menurut Imam Qotadah dan Rabi' bin Anas, ayat ini turun ketika perang Badar. Saat itu, salah satu harta rampasan perang (ghonimah) berupa permadani (qathifah) hilang begitu saja. Kondisi ini membuat sebagian para sahabat curiga kepada Nabi Muhammad SAW telah menggelapkannya, sehingga turunlah ayat tersebut (Jurnal Millah: 2006). Saat ini, yang termasuk bentuk ghulul ialah penggelapan dana publik/material untuk kepentingan pribadi, penggelapan barang bukti, dan sebagainya.
Sedangkan risywah atau suap secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna ’upah’, ’hadiah,’ atau ’pemberian’ atau ’komisi’. Secara istilah, menurut Ibnu Abidin, suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya (Abdullah bin Abdul Muhsin: 2001). Secara luas, suap bukan hanya terkait persoalan hukum, tetapi dapat terjadi di lembaga formal maupun non formal.
Berkaitan dengan sanksi, Islam memberikan ganjaran bagi para koruptor berupa sanksi di dunia maupun akhirat. Sanksi dunia terbagi menjadi tiga aspek. Pertama, sanksi hukum (pengucilan, denda, penjara, potong tangan). Kedua, sanksi sosial (tidak diterima kesaksiannya, seperti pembuktian hukum di pengadilan, kesaksian dalam itsbat awal Ramadhan/Syawwal, saksi pernikahan). Ketiga, sanksi moral (dilaknat oleh Allah SWT serta jenazahnya tidak disalatkan).
Mengenai sanksi terakhir ini, argumentasinya didasarkan pada kisah Nabi (HR. Abu Daud), bahwa beliau enggan menshalati jenazah sahabat yang wafat pada perang Khaibar, karena diketahui sahabat tersebut menggelapkan harta rampasan perang berupa perhiasan dari orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham. Hadits tersebut dijadikan dasar dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Asrama Haji Pondok Gede pada tanggal 25-28 Juli 2002 untuk menghimbau agar para ulama tidak mensalati jenazah koruptor (Moh. Masyhuri Na’im: 2006).
Namun, sanksi bagi para koruptor tidak langsung begitu saja diterapkan. Semua memerlukan verifikasi, bukti dan mekanisme proses penentuan hukuman yang disebut dengan ta’zir, dimulai dari yang terberat (hukuman mati/potong tangan) hingga yang paling ringan (pengucilan, pemecatan, dan penjara) sesuai dengan tingkatan berat ringannya tindakan dan dampak korupsi yang ditimbulkannya (Fiqh Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah: 2006).
Selanjutnya, sanksi di akhirat antara lain menghalangi pelakunya masuk surga, karena harta yang dikonsumsi termasuk suht. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW (HR. Ad-Darimi): Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari suht (harta haram). Selain itu, pelaku korupsi akan menyebabkan masuk neraka. Hukuman ini didasarkan pada hadits Nabi SAW: Setiap daging yang ditumbuhkan oleh as-suht, maka neraka lebih pantas baginya. Ditanyakan: ‘Wahai rasul, apa suht itu? Rasulullah SAW menjawab: ‘Risywah dalam hukum” (HR. Bukhari).
Demikianlah ancaman bagi para koruptor. Seandainya para koruptor dapat lolos dari jeratan hukum/pengadilan dan sanksi di dunia, yakinlah mereka tidak akan pernah bisa lolos dari pengadilan Alllah SWT di akhirat kelak.
Jihad Melawan Korupsi
Jihad secara bahasa artinya 'mencurahkan segala kemampuan' (Al Munawwir: 1984). Secara istilah, jihad ialah mencurahkan segala potensi yang dimiliki untuk menegakkan agama Allah SWT (Yunahar Ilyas: 2006). Saat ini, seharusnya istilah 'mati syahid' bukan hanya diberikan pada mereka yang berjihad melalui medan pertempuran, tetapi diperuntukkan juga bagi para pejuang yang memiliki komitmen tinggi untuk memberantas korupsi. Hal ini sangatlah penting diperhatikan, mengingat dampak korupsi yang begitu dahsyat dan melebihi kerugian di medan pertempuran secara fisik. Lebih dari itu, korupsi berimbas pada demoralisasi, dehumanisasi, kemiskinan, dan lumpuhnya sistem hukum/peradilan.
Urgensi perang melawan korupsi didasarkan atas semangat doktrin agama yang mengutuk segala bentuk korupsi. Ketika program virus anti korupsi yang didesain pemerintah, seperti lembaga/undang-undang maupun inpres dibuat lumpuh oleh ganasnya zombie korupsi, maka saat itulah momentum yang tepat untuk mengikrarkan bersama bahwa korupsi adalah common enemy (musuh bersama) yang harus diberantas bersama melalui langkah konkret berupa perang suci (holy war).
Pertanyaan kemudian, bagaimana cara berjihad melawan korupsi? Rasulullah SAW telah memberikan sinyalemen kepada kita tentang pentingnya 'jihad akbar' melawan hawa nafsu. Hal ini berawal dari pernyataan langsung ketika Nabi SAW bersama para sahabatnya yang baru pulang meraih kemenangan pada salah satu pertempuran di medan perang: kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.
Pernyataan Nabi SAW di atas, mengindikasikan bahwa hawa nafsu yang liar lebih berbahaya dibandingkan perang secara fisik. Bahkan, senjata dan alat perang yang dapat menewaskan ratusan ribu manusia dalam hitungan detik, masih dikategorikan 'jihad kecil'. Begitu beratnya berjihad mengendalikan hawa nafsu, sampai-sampai Rasulullah SAW mewasiatkan agar setiap manusia berhati-hati mengontrol hawa nafsu. Hawa nafsu yang tidak dapat dikontrol dengan baik, akan membawa sifat negatif (egois, rakus, haus akan harta, pangkat dan jabatan) yang berujung pada usaha serba instan. Itulah korupsi yang dilarang agama. Korupsi jauh lebih berbahaya daripada pertempuran di medan laga.
Program Anti Virus Korupsi
Dalam konteks perang suci atau jihad melawan korupsi melalui manajemen hawa nafsu tercermin dalam usaha konkret membentengi diri dengan sikap antikorupsi, yang terdiri dari empat aspek, yakni amanah, shiddiq, adil dan taqwa.
Pertama, Amanah berarti ‘dapat dipercaya’. Amanah seakar dengan kata iman, karena lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang maka semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya (Yunahar Ilyas, 2006). Jika iman seseorang lemah dan memegang jabatan strategis, berhati-hatilah, dia rawan terperosok pada lembah korupsi.
Kedua, Shiddiq berarti ‘benar,’ ‘sah,’ ‘tetap’ dan nyata’ (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor,2003). Sikap shiddiq meliputi benar hati, perkataan dan perbuatan. Lawan dari shiddiq ialah khianat. Khianat termasuk bibit korupsi karena terdapat unsur distorsi (pemutarbalikan fakta). Hal ini sangat jelas dilarang oleh Allah SWT sebagaimana yang diterangkan dalam QS. Al Anfal 27 di atas. Akhir-akhir ini, sikap shiddiq semakin jarang ditemukan, dengan indikasi semakin banyaknya tindak manipulasi laporan maupun mark up dana.
Ketiga, adil berarti ‘sikap tengah-tengah' (Al Munawwir, 1984). Seorang muslim harus mampu menempatkan sesuatu dengan prinsip keseimbangan (‘adl) sesuai dengan hak dan kewajiban. Implikasi dari sifat adil ini akan terlihat dalam aktifitas sehari-hari, misalnya tidak mau menghambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mau merugikan orang lain. Sikap inilah yang mampu menghindarkan dari perilaku korupsi karena korupsi pada dasarnya merupakan bentuk tindakan yang merampas hak-hak orang lain untuk kepentingan pribadi/golongan.
Keempat, Taqwa secara bahasa berarti ‘takut,’ ‘berhati-hati’ dan ‘waspada,’ sedangkan menurut istilah taqwa bermakna penjagaan diri dari sesuatu yang tidak baik (Muhammad Azhar, 2004). Taqwa berfungsi sebagai pelindung bagi seseorang agar tidak melakukan tindakan korupsi dengan melalui analisis indikator taqwa, yaitu menjalankan segala perintah Allah swt. dan menjauhi segala larangan Allah swt.
Keempat program virus anti korupsi ini harus mampu diinternalisasikan dalam setiap individu, dimulai dari hal yang sederhana. Misalnya, memegang teguh janji, menjaga barang titipan, memberikan keterangan secara transparan, tidak mencontek, guru/dosen memulai dan mengakhiri pelajaran sesuai dengan jadwal, tidak memanipulasi data laporan keuangan, memberikan uang saku kepada anak dengan adil tanpa sifat pilih kasih, tidak mengurangi barang dagangan di timbangan, dan lain sebagainya.
Selain itu, desain program anti virus korupsi tersebut perlu didukung dengan sikap zuhud dan wara’ yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Misalnya, pada suatu waktu beliau menjadi khatib jum’at dan datang terlambat. Kemudian beliau bergegas datang dan memakai jubah tambalan yang tidak kurang dari 21 tambalan, sedang di dalamnya kemeja yang masih basah karena baru dicuci. ”Maaf saya terlambat karena kemeja ini,” ucapnya kepada hadirin, ”Saya harus menunggu kering, karena saya tidak memiliki kemeja lainnya”. Di lain waktu, beliau juga terbiasa menggiring sendiri unta-unta baitul maal dari kandangnya ke padang gembala dan sebaliknya, lantaran begitu khawatir akan hilangnya harta rakyat tersebut (Zainal Arifin Thoha, 2004).
Suatu ketika, harta rampasan perang (ghonimah) yang melimpah tiba di Madinah. Hafshah, putri Umar bin Khattab dan janda Rasulullah mendekati sang ayah dan berbisik. "Aku kerabat terdekat ayah dan karenanya aku datang ke sini untuk meminta bagianku dari harta rampasan perang ini". Khalifah Umar menjawab, "Anakku, harta rampasan ini milik negara. Bagianmu ada pada harta kekayaanku, bukan pada harta rampasan perang. Tolong jangan mencoba membohongi ayah lagi". Kedua pipi Hafshah memerah menahan malu mendengar jawaban halus sang ayah. Lalu ia pun mundur teratur dari kerumunan massa. (Muhammad Azhar, 2004).
Masih banyak kisah teladan lain yang dapat dijadikan referensi dan spirit untuk mencegah tindakan korupsi. Melalui penanaman sikap tersebut, tanpa sadar kita telah berusaha memanage hawa nafsu, dan lambat laun akan berkembang sebagai antibodi yang berfungsi sebagai instrumen untuk menganalisis perilaku anti korupsi dan menolak segala bentuk korupsi dalam konteks yang lebih luas. Tentunya, desain program anti virus korupsi yang menitikberatkan pada managemen hawa nafsu adalah salah satu metode dari sekian banyak metode yang sudah ada. Artinya, harus didukung dengan perangkat lain, seperti hukum, agama, undang-undang, inpres maupun partisipasi masyarakat.
Ikhtitam
Para pembaca yang budiman, marilah bersama-sama niatkan diri untuk berjihad melawan korupsi dengan mengakses gratis program anti virus korupsi mulai sekarang juga. Semoga Allah SWT memihak kepada kita yang berjihad menegakkan agama-Nya. Dengan segala keterbatasan penulis, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat. Wallau'alam bishshowab.
Staff Pendidik Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta